Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Asa Anak Petani Desa Ujung Selatan Pulau Jawa
Sabtu, 29 Oktober 2022 - 23:05 WIB
Dalam satu musim tanam, mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp500.000 untuk mengairi sawahnya seluas 2.000 meter persegi. Priyatno menjelaskan, dengan adanya solar home system sumbangan Pertamina Foundation ini, petani kini sangat diuntungkan secara waktu, materi dan tenaga.
“Jadi Pertamina memberi dana kepada Politeknik Negeri Cilacap untuk membuat tekhnologi baru yang terbarukan dalam hal ini Pembangkit LIstrik tenaga Surya. Alat ini dengan waktu satu setengah jam bisa menghasilkan 2.000 liter air sehari dan bisa mengairi sawah kami," jelas Priyatno saat ditemui di sawahnya.
Berarti, mereka membutuhkan waktu hanya 8 hari untuk mengairi sawah karena dengan kekuatan volume air 2.000 liter. Sehingga kegiatan pengairan sudah tercukupi selama 8 hari untuk bercocok tanam.
"Ini artinya ada sisa waktu 28 hari untuk bisa yang kegiatan bertani kami untuk mengurus perkebunan dan sawah yang lain. Selain itu, keuntungan lain adalah, biasanya kami mengeluarkan biaya Rp500.000, kini sudah tidak lagi. Dulu kalau kita memasang pompa dari sungai kami memakan waktu 1 jam. Dengan adanya PLTS, kami hemat waktu 1 jam karena sekarang kita tinggal klik pencet saklar, air langsung mengalir,” lanjutnya.
Sejak adanya pembangkit listrik tenaga surya, petani yang tergabung dalam Gapoktan Margo Sugih ini tidak lagi mengeluarkan biaya pembelian BBM. Saat itu mereka harus mengisi pompa penyedot air menggunakan BBM tak bersubsidi karena harus membeli ke kota menggunakan jeriken.
Kini petani anggota Gapoktan juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan air dari rumah pompa berteknologi tenaga surya ini karena biaya perawatannya sudah ditanggung uang kas kelompok tani.
“Secara ekonomi kami hemat dan bisa menyisihkan uang untuk tambahan biaya sekolah anak. Tanah kami ini juga akan lebih baik kalau ditanami jenis tanaman holtikultura karena jenis tanah ini tadah hujan. Dengan adanya PLTS, saat ini kami bisa selingi dengan tanaman cabai, terong, kobis, kangkung dan lain-lain, Dalam satu bulan kami bisa menghasilkan uang tambahan kurang lebih Rp1 juta rupiah,” tambah Priyanto.
Perancangan teknologi untuk pengairan sawah tadah hujan di Desa Kalijaran itu tidak lepas dari ide dan pemikiran akademisi Perguruan Negeri Cilacap, Afrizal Abdi Musyafiq. Menurut dosen muda ini mengatakan, ide tersebut berawal dari sulitnya petani setempat mengiri sawahnya yang berjenis tadah hujan.
“Jadi Pertamina memberi dana kepada Politeknik Negeri Cilacap untuk membuat tekhnologi baru yang terbarukan dalam hal ini Pembangkit LIstrik tenaga Surya. Alat ini dengan waktu satu setengah jam bisa menghasilkan 2.000 liter air sehari dan bisa mengairi sawah kami," jelas Priyatno saat ditemui di sawahnya.
Berarti, mereka membutuhkan waktu hanya 8 hari untuk mengairi sawah karena dengan kekuatan volume air 2.000 liter. Sehingga kegiatan pengairan sudah tercukupi selama 8 hari untuk bercocok tanam.
"Ini artinya ada sisa waktu 28 hari untuk bisa yang kegiatan bertani kami untuk mengurus perkebunan dan sawah yang lain. Selain itu, keuntungan lain adalah, biasanya kami mengeluarkan biaya Rp500.000, kini sudah tidak lagi. Dulu kalau kita memasang pompa dari sungai kami memakan waktu 1 jam. Dengan adanya PLTS, kami hemat waktu 1 jam karena sekarang kita tinggal klik pencet saklar, air langsung mengalir,” lanjutnya.
Sejak adanya pembangkit listrik tenaga surya, petani yang tergabung dalam Gapoktan Margo Sugih ini tidak lagi mengeluarkan biaya pembelian BBM. Saat itu mereka harus mengisi pompa penyedot air menggunakan BBM tak bersubsidi karena harus membeli ke kota menggunakan jeriken.
Kini petani anggota Gapoktan juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan air dari rumah pompa berteknologi tenaga surya ini karena biaya perawatannya sudah ditanggung uang kas kelompok tani.
“Secara ekonomi kami hemat dan bisa menyisihkan uang untuk tambahan biaya sekolah anak. Tanah kami ini juga akan lebih baik kalau ditanami jenis tanaman holtikultura karena jenis tanah ini tadah hujan. Dengan adanya PLTS, saat ini kami bisa selingi dengan tanaman cabai, terong, kobis, kangkung dan lain-lain, Dalam satu bulan kami bisa menghasilkan uang tambahan kurang lebih Rp1 juta rupiah,” tambah Priyanto.
Perancangan teknologi untuk pengairan sawah tadah hujan di Desa Kalijaran itu tidak lepas dari ide dan pemikiran akademisi Perguruan Negeri Cilacap, Afrizal Abdi Musyafiq. Menurut dosen muda ini mengatakan, ide tersebut berawal dari sulitnya petani setempat mengiri sawahnya yang berjenis tadah hujan.
tulis komentar anda