Aturan Perkawinan di Kerajaan Majapahit, Suami Sakit Selama 3 Tahun Perempuan Boleh Kawin Lagi

Jum'at, 09 September 2022 - 07:31 WIB
Foto ilustrasi SINDOnews
- Kerajaan Majapahit mengatur betul dinamika kehidupan di masyarakat saat itu. Salah satu yang diatur yakni perceraian dan perkawinan yang memiliki peraturan perundang-undangan Kutara Manawa.

Menariknya di masa Kerajaan Majapahit, suami yang menderita sakit tapi tidak sembuh selama tiga tahun, maka istrinya boleh kawin lagi. Hal ini pun tertuang pada "Tafsir Sejarah Negarakretagama" dari Prof. Slamet Muljana, sebagaimana dari Kakawin Negarakretagama Kutara Manawa Pasal 193-195 yang menyatakan suami yang menderita penyakit gula, merana, ayan, impoten, banci, hingga istrinya tidak suka, suami itu disuruh berobat dan istrinya menunggu selama tiga tahun.

Selama tiga tahun itu pula sang suami tidak kunjung sembuh, maka istrinya tak boleh disalahkan jika nantinya sang istri kawin lagi. Pada hal ini tukon atau sama dengan mahar tidak perlu dikembalikan lagi. Sikap istri ini bisa diibaratkan dengan orang yang menunggu dalam bertunas atau yang disebut anunggy pang asemi.



Bahkan ketika suami pergi berlayar hingga 10 tahun maksimalnya. Jika merantau ke desa lain untuk mencari uang, maka itu dibatasi maksimal empat tahun. Begitu pun ketika pergi belajar batasnya enam tahun.

Jika suami meninggalkan istrinya tidak untuk belajar, tidak untuk mencari uang untuk menambah kekayaan bersama, maka istrinya boleh menunggu sampai empat tahun lalu. Selanjutnya, istrinya boleh kawin lagi dengan laki-laki lain.

Demikianlah ajaran kitab undang-undang Manawa, sedangkan kitab undang-undang Kutara mengatur batas waktu menunggu itu hanya tiga tahun. Selebihnya istrinya boleh kawin lagi dengan laki-laki lain. Suaminya tidak berhak untuk menyalahkannya. Dalam hal ini perceraian itu disebut pinisah ing hyang, atau istilahnya diceraikan oleh dewa.

Sedangkan secara keseluruhan perceraian di peraturan Kerajaan Majapahit diatur pada Pasal 191 Kutara Manawa, dimana perceraian menghendaki empat macam bukti, pertama adanya saksi, memecah mata uang, memberikan air untuk cuci muka, dan memberikan butir beras. Itulah tanda bukti perceraian yang disebut siddha atadin.

Sebelum ada empat tanda itu yang dipenuhi, maka perkawinan belum terpisah. Jika seorang istri tanpa bukti perceraian di atas kawin dengan laki-laki lain, ia dikenakan denda empat puluh ribu.

Demikianlah empat tanda bukti perceraian itu merupakan syarat mutlak untuk pengesahannya. Adanya saksi tidak memerlukan penjelasan. Pemecahan mata uang dimaksud sebagai lambang pecahnya perkawinan.

Sementara pemberian butir beras berarti pihak perempuan harus mencari penghidupannya sendiri, tidak lagi bergantung kepada suaminya. Pemberian air untuk cuci muka bermakna bahwa istri melihat dan mengetahui apa yang terjadi. Setelah melakukan upacara itu, kedua belah pihak tidak saling terikat. Mereka bebas untuk kawin lagi tanpa mengalami tuntutan.

Sebaliknya pihak istri juga mempunyai hak untuk menceraikan suaminya karena tidak cinta lagi kepada suaminya. Syarat yang harus terpenuhi oleh pihak istri ialah mengembalikan uang tukon dua kali lipat.

Dengan pengembalian uang tukon dua lipat itu, perkawinan dengan sendirinya batal. Perceraian yang disebut amadal sanggama, menolak untuk bercampur, atau amancal turon, menolak untuk tidur bersama. Setelah pengembalian tukon dua lipat, pihak perempuan bebas kawin lagi tanpa menjalani upacara siddha atadin.
(don)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content