Kisah Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Penginjil Pribumi yang Menggegerkan Penguasa Kolonial

Jum'at, 17 Juni 2022 - 05:05 WIB
Menurut buku ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’ karya Jan S Aritonang, beberapa zending termasuk Jansz menilai Tunggul Wulung memahami Alkitab secara esoteris (rahasia) dan mistis. Kisah-kisah dalam Injil tak berhubungan dengan realitas, melainkan hanya ucapan-ucapan mistik yang kudu dijelaskan lagi. Tampak aspek sinkretisme menonjol dalam ajaran Kristen ala Ibrahim Tunggul Wulung.



Di mata para zending, Tunggul Wulung tak lebih dari sekadar guru agama biasa yang merangkap dukun tersohor pada masanya. Terlebih perawakan Tunggul Wulung mendukung auranya sebagai seorang guru atau kiai. Dia digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar, hidung mancung menjulang, dan wajah yang menimbulkan rasa hormat bagi siapa pun yang memandang.

Perjumpaan Tunggul Wulung dengan para penginjil Barat lainnya seperti Bruckner di Semarang, Hoezoo dan F.L. Anthing jelas tampaknya tidak mengubah sinkretisme Jawa dan Kristen yang dia praktikkan. Dibaptis dan Mengabarkan Kristus Versi lain datang dari Jellesma, misionaris pertama yang datang ke Jawa pada 1848 dan melayani orang-orang Kristen Jawa di Mojowarno. Betapapun rekan misionaris lainnya menilai Tunggul Wulung dengan kacamata Kristen ala Barat, Jellesma justru paham tentang kekhasan Kristen Jawa bisa melihat Tunggul Wulung dengan cara berbeda.

Lagipula, Jellesma sudah punya kesan baik akan Tunggul Wulung sejak ia mengaku mendapat wahyu berupa Sepuluh Perintah di bawah tikar tidurnya. Apalagi Tunggul Wulung telah menemui Jellesma, Coolen, dan Penginjil Barat bernama Emde. Sejak itu, Tunggul Wulung berkelana ke berbagai tempat sambil mengajarkan Injil. Laporan Komite Jawa (Java Comite) mencatat soal semangat Tunggul Wulung ini.

“Walaupun usianya sudah 60 tahun, dengan semangat dan ketekunan yang meluap-luap demi bangsanya, ia berjalan kaki dari kota ke kota, dari desa ke desa, untuk mengabarkan Injil, tanpa menerima bantuan keuangan sedikitpun dari siapa pun.”

Selama dua puluh tahun berikutnya, Ibrahim Tunggul Wulung berkelana ke banyak tempat di Pulau Jawa mengajarkan agama Kristen. Meski Tunggul Wulung senang bertemu dengan para misionaris Belanda, namun ia tak setuju dengan sistem perwalian zending yang menempatkan penginjil bumiputera di bawah asuhan penginjil Barat.

Saat berada di Bondo, Tunggul Wulung ditemui oleh Radin Abas, seorang santri yang tengah keluar berkelana mencari ilmu dan jati diri. Belakangan Radin Abas masuk Kristen dengan nama Kiai Sadrach, yang kelak diingat sebagai figur intelektual Kristen Jawa dengan latar belakang pengetahuan agama dan kebudayaan Jawa.

Seiring usianya yang kian senja, sejak 1875 Ibrahim Tunggul Wulung tinggal di sekitar Gunung Muria sampai tutup usia pada 1885. Ketika ia mati, jumlah pengikut Kristen di desa tersebut mencapai 1.058 orang. Pasca kematiannya, tak semua jemaat mengikuti warisan pemikiran Ibrahim Tunggul Wulun.

SUMBER:
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content