Kisah Bung Karno, Kekuatan Gaibnya Hilang Setelah Beranjak Dewasa
Senin, 13 Juni 2022 - 17:01 WIB
Sarinah mengajarkan Bung Karno apa itu kasih sayang sesama manusia. Bagaimana yang utama adalah mencintai ibu, kemudian mencintai rakyat jelata, dan mencintai manusia pada umumnya. Di masa itu Bung Karno telah pindah ke Tulungagung, Jawa Timur setelah nenek dari pihak Raden Soekemi, memintanya untuk dirawat sementara.
Nenek Bung Karno seorang pedagang batik, yang meskipun bukan golongan berada, tapi memiliki penghasilan yang cukup. Kepindahan Bung Karno ke Tulungagung setidaknya meringankan beban hidup Raden Soekemi yang tinggal di Mojokerto.
Kakek nenek Bung Karno, yakni keluarga Hardjodikromo meyakini cucunya bocah istimewa.
Dalam autobigrafi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menyebut kakek dan neneknya pernah mengatakan dirinya memiliki kekuatan gaib. Bung Karno kecil kerap diminta bantuan mengobati orang sakit di kampung.
Entah kebetulan atau memang demikian. Setelah menerima sentuhan bocah Soekarno, si sakit berangsur-angsur sembuh. Namun seiring bertambahnya usia, kekuatan gaib yang bersifat kebatinan Bung Karno lantas menghilang. Terutama saat bakat pidato Soekarno mulai terlihat. Bung Karno beranggapan kekuatan gaib itu telah tersalur ke arah lain.
“Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan,” kata Bung Karno. Dr Ernst Utrecht, penasehat dekat Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin menyebut periode Tulungagung sebagai periode penting untuk memahami visi misi politik Bung Karno.
Perkenalan Bung Karno dengan wayang kulit berlangsung di periode Tulungagung, di mana hal itu berpengaruh besar terhadap visi politiknya saat usianya telah matang. Dalam lakon wayang kulit, Soekarno muda kerap melihat pola dasar perjuangan antara kebenaran dan kejahatan, keadilan melawan ketidakadilan.
Soekarno memandang hal itu sebagai kontradiksi berbagai kekuatan. “Lebih jauh ia menyimpulkannya sebagai munculnya kekuatan baru sebagai hasil logis terhadapa kontradiksi dengan kekuatan lama, sesuatu yang olehnya selalu disebutnya sebagai dialektika,” demikian yang tertulis dalam buku Bob Hering, “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka”.
Bung Karno kembali pindah ke Surabaya saat tiba waktunya masuk sekolah menengah. Raden Soekemi mengirimkan putranya kepada H.O.S Tjokroaminoto, sahabat lamanya.
Ia beralasan tak ingin melihat anaknya tumbuh menjadi kebarat-baratan, meskipun juga mendapat pendidikan Belanda. Bung Karno masuk ke sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur, yakni Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Nenek Bung Karno seorang pedagang batik, yang meskipun bukan golongan berada, tapi memiliki penghasilan yang cukup. Kepindahan Bung Karno ke Tulungagung setidaknya meringankan beban hidup Raden Soekemi yang tinggal di Mojokerto.
Kakek nenek Bung Karno, yakni keluarga Hardjodikromo meyakini cucunya bocah istimewa.
Dalam autobigrafi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menyebut kakek dan neneknya pernah mengatakan dirinya memiliki kekuatan gaib. Bung Karno kecil kerap diminta bantuan mengobati orang sakit di kampung.
Entah kebetulan atau memang demikian. Setelah menerima sentuhan bocah Soekarno, si sakit berangsur-angsur sembuh. Namun seiring bertambahnya usia, kekuatan gaib yang bersifat kebatinan Bung Karno lantas menghilang. Terutama saat bakat pidato Soekarno mulai terlihat. Bung Karno beranggapan kekuatan gaib itu telah tersalur ke arah lain.
“Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan,” kata Bung Karno. Dr Ernst Utrecht, penasehat dekat Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin menyebut periode Tulungagung sebagai periode penting untuk memahami visi misi politik Bung Karno.
Perkenalan Bung Karno dengan wayang kulit berlangsung di periode Tulungagung, di mana hal itu berpengaruh besar terhadap visi politiknya saat usianya telah matang. Dalam lakon wayang kulit, Soekarno muda kerap melihat pola dasar perjuangan antara kebenaran dan kejahatan, keadilan melawan ketidakadilan.
Soekarno memandang hal itu sebagai kontradiksi berbagai kekuatan. “Lebih jauh ia menyimpulkannya sebagai munculnya kekuatan baru sebagai hasil logis terhadapa kontradiksi dengan kekuatan lama, sesuatu yang olehnya selalu disebutnya sebagai dialektika,” demikian yang tertulis dalam buku Bob Hering, “Soekarno Bapak Indonesia Merdeka”.
Bung Karno kembali pindah ke Surabaya saat tiba waktunya masuk sekolah menengah. Raden Soekemi mengirimkan putranya kepada H.O.S Tjokroaminoto, sahabat lamanya.
Ia beralasan tak ingin melihat anaknya tumbuh menjadi kebarat-baratan, meskipun juga mendapat pendidikan Belanda. Bung Karno masuk ke sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur, yakni Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda