Melihat Kaum Difabel Kediri Menjalani Aktivitas Ekonomi New Normal
Kamis, 18 Juni 2020 - 17:01 WIB
KEDIRI - Keterbatasan pendengaran tidak menghalangi Maskurun Yuyun (47), warga Kota Kediri untuk mengambil peran di tengah situasi serba sulit akibat pandemi Covid-19. Skill Yuyun menjahit berhasil memberi kesempatan orang lain, terutama sesama kaum difabel, untuk terus berkarya.
Pandemi yang berlanjut dengan new normal, menjadikan masker model transparan buatan Yuyun banyak diminati. "Saya buat masker transparan untuk para tuna rungu. Alhamdulillah, pesanan lebih dari 2.000 masker kami kerjakan," tutur Yuyun berbagi cerita. (baca juga: Sekdaprov Jatim Bantah Data Kasus Covid-19 Surabaya Tidak Valid )
Yuyun seorang tuna rungu. Saat ia masih berusia tiga tahun dan sebuah kecelakaan hebat menderanya. Paska insiden itu, indra pendengarannya lenyap sampai sekarang. "Saya mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan luka di kaki dan syaraf hingga hilang pendengaran," ungkap Yuyun menceritakan ikhwal dirinya menjadi seorang difabel.
Bersekolah di jalur reguler, termasuk di SMKK Negeri Kediri, mengantarkan Yuyun mengenal ketrampilan menjahit. Skill membuat pola desain, konveksi dan semacamnya, ia kuasai dengan baik. Tidak cukup itu. Ia perdalam lagi dengan mengikuti sekolah khusus menjahit di Surabaya. "Saya bersekolah di sekolah reguler," tambah Yuyun. (baca juga: 'Zona Hitam' Berkesenian di Kota Pahlawan Mati Sebelum Pandemi )
Selepas dari pendidikan yang ditekuni, Yuyun langsung bekerja di sebuah industri konveksi. Beruntung, perusahaan itu menerima orang dengan keterbatasan seperti dirinya. Di sana Yuyun banyak menimba ilmu dan pengalaman. Sayang, usaha konveksi tersebut pada akhirnya gulung tikar.
"Untuk seorang difabel, bekerja di tempat lain tentu tidak mudah," kata Yuyun mengenang masa sulit itu. Karena tak punya pilihan lain, Yuyun memutuskan berdiri sendiri. Saat itu tahun 2007. Yuyun berproduksi sendiri. Menjahit sendiri. Membuat pola pakaian sendiri, termasuk membuat label nama usaha konveksinya sendiri, yakni Abidah Collection.
Selain berproduksi dengan berbasis pesanan karena usaha retail tidak mudah, Yuyun juga membuka kursus menjahit untuk umum. "Pendirian kursus biar para difabel bisa belajar. Karena tidak semua tempat kursus mau menerima difabel," terang Yuyun. Dari pembelajaran menjahit yang Yuyun mentori sendiri, banyak difabel yang memiliki skill menjahit.
Ada yang membuat usaha sendiri. Berdiri sendiri. Kemudian tidak sedikit yang tetap bergabung dengan usaha Yuyun. "Anggota kami juga beberapa kali diundang Pemkot Kediri untuk pelatihan UMKM. Dan itu sangat membantu," terang Yuyun yang juga Ketua Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). (baca juga: Langgar Gipo Surabaya Diusulkan Menjadi Cagar Budaya )
Kemudian, di tengah perjalanan usaha yang sudah berumur 20 tahun itu, bencana pandemi Covid-19 datang. Pesanan busana yang menjadi fokus utama usaha Abidah Collection terus berkurang, dan pada akhirnya berhenti. Seperti pemilik usaha lain, Yuyun juga sempat kalut. Namun hal itu tidak berlangsung lama.
Pandemi yang berlanjut dengan new normal, menjadikan masker model transparan buatan Yuyun banyak diminati. "Saya buat masker transparan untuk para tuna rungu. Alhamdulillah, pesanan lebih dari 2.000 masker kami kerjakan," tutur Yuyun berbagi cerita. (baca juga: Sekdaprov Jatim Bantah Data Kasus Covid-19 Surabaya Tidak Valid )
Yuyun seorang tuna rungu. Saat ia masih berusia tiga tahun dan sebuah kecelakaan hebat menderanya. Paska insiden itu, indra pendengarannya lenyap sampai sekarang. "Saya mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan luka di kaki dan syaraf hingga hilang pendengaran," ungkap Yuyun menceritakan ikhwal dirinya menjadi seorang difabel.
Bersekolah di jalur reguler, termasuk di SMKK Negeri Kediri, mengantarkan Yuyun mengenal ketrampilan menjahit. Skill membuat pola desain, konveksi dan semacamnya, ia kuasai dengan baik. Tidak cukup itu. Ia perdalam lagi dengan mengikuti sekolah khusus menjahit di Surabaya. "Saya bersekolah di sekolah reguler," tambah Yuyun. (baca juga: 'Zona Hitam' Berkesenian di Kota Pahlawan Mati Sebelum Pandemi )
Selepas dari pendidikan yang ditekuni, Yuyun langsung bekerja di sebuah industri konveksi. Beruntung, perusahaan itu menerima orang dengan keterbatasan seperti dirinya. Di sana Yuyun banyak menimba ilmu dan pengalaman. Sayang, usaha konveksi tersebut pada akhirnya gulung tikar.
"Untuk seorang difabel, bekerja di tempat lain tentu tidak mudah," kata Yuyun mengenang masa sulit itu. Karena tak punya pilihan lain, Yuyun memutuskan berdiri sendiri. Saat itu tahun 2007. Yuyun berproduksi sendiri. Menjahit sendiri. Membuat pola pakaian sendiri, termasuk membuat label nama usaha konveksinya sendiri, yakni Abidah Collection.
Selain berproduksi dengan berbasis pesanan karena usaha retail tidak mudah, Yuyun juga membuka kursus menjahit untuk umum. "Pendirian kursus biar para difabel bisa belajar. Karena tidak semua tempat kursus mau menerima difabel," terang Yuyun. Dari pembelajaran menjahit yang Yuyun mentori sendiri, banyak difabel yang memiliki skill menjahit.
Ada yang membuat usaha sendiri. Berdiri sendiri. Kemudian tidak sedikit yang tetap bergabung dengan usaha Yuyun. "Anggota kami juga beberapa kali diundang Pemkot Kediri untuk pelatihan UMKM. Dan itu sangat membantu," terang Yuyun yang juga Ketua Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). (baca juga: Langgar Gipo Surabaya Diusulkan Menjadi Cagar Budaya )
Kemudian, di tengah perjalanan usaha yang sudah berumur 20 tahun itu, bencana pandemi Covid-19 datang. Pesanan busana yang menjadi fokus utama usaha Abidah Collection terus berkurang, dan pada akhirnya berhenti. Seperti pemilik usaha lain, Yuyun juga sempat kalut. Namun hal itu tidak berlangsung lama.
tulis komentar anda