Kisah Supriyadi, Shodanco Pentolan PETA Berani Berenang di Pantai Selatan dengan Celana Hijau

Senin, 14 Februari 2022 - 10:00 WIB
Pada tahun 1945, ketidakpercayaan Shodanco Supriyadi terhadap Jepang semakin menguat. Pagi hari 14 Feberuari 1945. Shodanco Supriyadi yang masih berusia 21 tahun, memimpin 360 prajurit untuk keluar barak.

Bersama pasukan serta dukungan hampir seluruh perwira di batalyon PETA, Supriyadi menyerang Hotel Sakura Blitar yang menjadi markas perwira Jepang. Baku tembak dan lemparan mortir tidak terelakkan.

Mereka membunuh empat orang Jepang dan tujuh orang etnis Tionghoa yang dianggap pro Jepang.

“Seluruh anggota batalyon PETA di Blitar ikut ambil bagian dalam pemberontakan bersenjata dan untuk pertama kalinya suatu kesatuan Indonesia mengarahkan senjata kepada pembinanya”.

Sayang, pemberontakan yang sudah disiapkan berbulan-bulan itu, masih penuh kekurangan. Bantuan kekuatan dari batalyon PETA lain tidak sesuai harapan.

Pemberontakan Supriyadi di Blitar dalam sekejap berhasil dipadamkan. Karena situasi yang tidak menguntungkan, Supriyadi bersama pasukannya menyingkir ke luar kota.

Tiga rombongan menuju ke arah utara dan satu rombongan ke selatan. Pada 17 Februari 1945 atau tiga hari paska pemberontakan, unit-unit batalyon yang terlibat pemberontakan kembali ke Blitar.

Salah satunya adalah Muradi. Mereka bersedia kembali ke Blitar setelah Jepang memberi jaminan tidak akan membawa ke pengadilan militer. Namun janji tinggal janji.

Khawatir pemberontakan tersebar luas, Jepang melucuti batalyon dan menahan kurang lebih 55 orang perwira beserta anak buahnya. Jepang mengirim mereka ke Jakarta untuk disidangkan di Pengadilan Militer.

Semua dinyatakan terbukti bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya di Ancol Jakarta. Sejak itu nasib Shodanco Supriyadi tidak diketahui rimbanya.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More