Khawatir Pandemi Berkepanjangan, Muncul Usulan Pilkada Serentak Digelar 2021
Kamis, 23 April 2020 - 18:27 WIB
BANDUNG BARAT - Pandemi virus Corona (COVID-19) yang belum bisa dipastikan kapan berakhir berdampak pada pelaksanaan Pilkada Serentak tahun ini. Kendati telah diundur dari rencana semula menjadi 9 Desember 2020, sejumlah praktisi tetap meminta agar Pilkada Serentak benar-benar sudah dikaji secara matang dengan memprioritaskan keselamatan masyarakat.
Praktisi dan Analis Pemilihan Denden Deni Hendri menyebutkan, di tengah pandemi COVID-19 dibutuhkan perppu penundaan pemilihan sebagai payung hukum untuk membatalkan jadwal pelaksanaan pemilihan yang telah termaktub dalam UU Nomor 10/2016 yaitu September 2020.
Akan tetapi perppu tersebut dihadapkan pada pilihan apakah berfungsi semacam dekrit presiden yang isi pokoknya hanya menunda atau membatalkan suatu hal.
"Atau justru tantangannya perppu ini diterbitkan untuk menciptakan desain dan konsep baru pemilu dan pemilihan. Hal mana konsep dan desain baru pemilihan telah tertuang dalam RUU Pemilu yang saat ini digodok DPR," ucapnya seusai menjadi pembicara dalam webkusi soal kebijakan politik dan kepemiluan kepada SINDOnews, Kamis (23/4/2020).
Dia menyebutkan, RUU Pemilu memperkenalkan konsep dan desain baru, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal dengan menggabungkan pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kab/kota bersama pilkada sesuai dengan alternatif keempat putusan MK 55/PUU-XVII/2019.
RUU Pemilu juga menyajian tiga opsi, yakni pemilu nasional digelar tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2022, kemudian pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2026, atau pemilu nasional dan pemilu lokal tetap pada tahun 2024.
"Jadi jika melihat dinamika pandemi COVID-19 dan pembahasan RUU Pemilu, maka saya berpandangan Pilkada Serentak 2020 sebaiknya ditunda menjadi September 2021. Pertimbangannya melihat instrument hukum Perppu yang subsatansinya mengadopsi opsi kedua RUU pemilu," tuturnya. (Baca : Selama Pandemi Corona Sudah Lima Akademisi IPB University Meninggal Dunia)
Direktur Netgrid Ferry Kurnia Rizkyansyah menilai, pandemi Corona bisa cepat atau sebaliknya berlarut-larut. Oleh sebab itu Pilkada Serentak di 270 daerah mau tidak mau harus mempertimbangkan kondisi kekinian dari wabah ini.
Sebab, bagaimana pun pemilu merupakan hajat partisipasi publik dalam demokrasi yang harus free and fair, sehingga perlu kepastian prosedur seperti regulasi penyelenggaraan.
"Pilkada Serentak 2020 sebaiknya mundur ke 2021 karena terlalu berisiko dalam partisipasi publik dan anggaran. Selain itu kita harus liat sisi politis, ada beberapa pejabat publik/petahana yang memanfaatkan COVID-19 untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya," kata mantan komisioner KPU ini.
Diskusi online ini juga menghadirkan beberapa pakar yang memahami seluk beluk kebijakan politik dan kepemiluan, seperti pengamat politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi, serta Direktur Politik dan Strategi Polsight Indra Kusumah.
Para pembicara secara umum menilai risiko pandemi COVID-19 harus dihindari, termasuk pada wilayah politik. Wabah ini merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional karena menimbulkan cukup banyak korban jiwa dan kerugian yang besar kepada negara.
Praktisi dan Analis Pemilihan Denden Deni Hendri menyebutkan, di tengah pandemi COVID-19 dibutuhkan perppu penundaan pemilihan sebagai payung hukum untuk membatalkan jadwal pelaksanaan pemilihan yang telah termaktub dalam UU Nomor 10/2016 yaitu September 2020.
Akan tetapi perppu tersebut dihadapkan pada pilihan apakah berfungsi semacam dekrit presiden yang isi pokoknya hanya menunda atau membatalkan suatu hal.
"Atau justru tantangannya perppu ini diterbitkan untuk menciptakan desain dan konsep baru pemilu dan pemilihan. Hal mana konsep dan desain baru pemilihan telah tertuang dalam RUU Pemilu yang saat ini digodok DPR," ucapnya seusai menjadi pembicara dalam webkusi soal kebijakan politik dan kepemiluan kepada SINDOnews, Kamis (23/4/2020).
Dia menyebutkan, RUU Pemilu memperkenalkan konsep dan desain baru, yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal dengan menggabungkan pemilihan DPRD provinsi dan DPRD kab/kota bersama pilkada sesuai dengan alternatif keempat putusan MK 55/PUU-XVII/2019.
RUU Pemilu juga menyajian tiga opsi, yakni pemilu nasional digelar tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2022, kemudian pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2026, atau pemilu nasional dan pemilu lokal tetap pada tahun 2024.
"Jadi jika melihat dinamika pandemi COVID-19 dan pembahasan RUU Pemilu, maka saya berpandangan Pilkada Serentak 2020 sebaiknya ditunda menjadi September 2021. Pertimbangannya melihat instrument hukum Perppu yang subsatansinya mengadopsi opsi kedua RUU pemilu," tuturnya. (Baca : Selama Pandemi Corona Sudah Lima Akademisi IPB University Meninggal Dunia)
Direktur Netgrid Ferry Kurnia Rizkyansyah menilai, pandemi Corona bisa cepat atau sebaliknya berlarut-larut. Oleh sebab itu Pilkada Serentak di 270 daerah mau tidak mau harus mempertimbangkan kondisi kekinian dari wabah ini.
Sebab, bagaimana pun pemilu merupakan hajat partisipasi publik dalam demokrasi yang harus free and fair, sehingga perlu kepastian prosedur seperti regulasi penyelenggaraan.
"Pilkada Serentak 2020 sebaiknya mundur ke 2021 karena terlalu berisiko dalam partisipasi publik dan anggaran. Selain itu kita harus liat sisi politis, ada beberapa pejabat publik/petahana yang memanfaatkan COVID-19 untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya," kata mantan komisioner KPU ini.
Diskusi online ini juga menghadirkan beberapa pakar yang memahami seluk beluk kebijakan politik dan kepemiluan, seperti pengamat politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi, serta Direktur Politik dan Strategi Polsight Indra Kusumah.
Para pembicara secara umum menilai risiko pandemi COVID-19 harus dihindari, termasuk pada wilayah politik. Wabah ini merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional karena menimbulkan cukup banyak korban jiwa dan kerugian yang besar kepada negara.
(muh)
tulis komentar anda