Muslihat PKI Mendulang Suara di Jatim dan Aksi Jihad Ansor NU
Sabtu, 25 September 2021 - 05:00 WIB
Mentang-mentang meraup dukungan suara besar di Pemilu 1955. Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah karsidenan Kediri menerapkan aksi sepihak dengan membabi buta. Pada pertengahan tahun 1964. Massa PKI melakukan drop-dropan atas tanah milik negara seluas 9.000 hektar di Nongkorejo, Kencong, Botorejo, Puncu, Kebonrejo, dan Siman.
Dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI", Abdul Rohim mantan sekertaris GP Ansor Kepung mengatakan, aksi sepihak PKI berjalan lancar karena didukung sejumlah oknum aparat. Benturan horizontal tak terelakkan setelah tanah milik Haji Samur di Nongkorejo, Kediri turut dipatoki. Oleh orang-orang PKI, tanaman dicabuti. Mereka ganti dengan tanaman sesuai keinginan.
Baca juga: Cerita Pagi Strategi Brigjen Suryo Sumpeno Menumpas Pasukan Antek PKI di Jawa Tengah
Dalam posisi terjepit Haji Samur meminta bantuan GP Ansor NU . "Atas inisiatif pengurus Ansor, maka di tanah Haji Samur itu ditancapi bendera NU. Kalau PKI mencabut bendera itu berarti mereka sudah menyatakan perang dengan Ansor," kata Abdul Rohim dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI".
Di Karsidenan Kediri, PKI mendapat dukungan 457.000 suara. Jumlah konstituen PKI menyalip jumlah pemilih PNI yang mendapat 455.000 suara, NU sebanyak 366.000 suara dan Masyumi 155.000 suara. Digerakkannya sayap partai, seperti Pemuda Rakyat, BTI, SOBSI, Lekra untuk aktif turun ke bawah (turba) menjadi kunci. Gerakan turba tersebut ditopang dengan gencarnya agitasi dan propaganda (Agitprop) di media massa.
Dalam "Politik Surat Kabar, Berebut Wacana Antara Harian Rakjat Dengan Abadi 1952-1955" disebutkan, Njoto memiliki andil besar. Njoto berhasil menempatkan rakyat sebagai episentrum. Njoto merupakan Sekjen CC PKI yang juga Pimred Harian Rakyat. Pada tahun 1953, Njoto dan PKI berhasil mengakuisisi Harian Rakyat (Berdiri tahun 1951) yang sebelumnya dimiliki Siauw Giok Tjan, seorang jurnalis senior Sunday Courier.
Lelaki kelahiran Jember yang kelak pada peristiwa 30 September 1965 tidak jelas rimbanya tersebut, meletakkan pondasi baru betapa pentingnya relasi massa rakyat dengan pers. "Dia menyebut pewarta, karyawan, dan buruh percetakan Harian Rakyat sebagai kawan," tulis Muhammad Zulfikar dalam "Politik Surat Kabar, Berebut Wacana Antara Harian Rakjat Dengan Abadi 1952-1955".
Aktivitas politik PKI terpusat pada gerakan proletariat kota, perkebunan, kelompok pemuda, veteran, kelompok pemberontak serta gerombolan bandit tertentu. Paska peristiwa Madiun 1948, PKI yang secara organisasi luluh lantak, tidak ambil pusing dengan politik perebutan jabatan kepala daerah maupun jabatan pemerintah lainnya.
"Selain itu, PKI mulai kembali melakukan kegiatan di kalangan petani, yang terhenti setelah pemberontakan Madiun dipadamkan tulis Herbert Feith dalam "Pemilihan Umum 1955 di Indonesia". Di desa-desa wilayah Jawa Timur, khususnya karsidenan Kediri. Melalui para kader Pemuda Rakyat dan BTI, isu reforma agraria, tanah untuk rakyat, santer dihembuskan.
Dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI", Abdul Rohim mantan sekertaris GP Ansor Kepung mengatakan, aksi sepihak PKI berjalan lancar karena didukung sejumlah oknum aparat. Benturan horizontal tak terelakkan setelah tanah milik Haji Samur di Nongkorejo, Kediri turut dipatoki. Oleh orang-orang PKI, tanaman dicabuti. Mereka ganti dengan tanaman sesuai keinginan.
Baca juga: Cerita Pagi Strategi Brigjen Suryo Sumpeno Menumpas Pasukan Antek PKI di Jawa Tengah
Dalam posisi terjepit Haji Samur meminta bantuan GP Ansor NU . "Atas inisiatif pengurus Ansor, maka di tanah Haji Samur itu ditancapi bendera NU. Kalau PKI mencabut bendera itu berarti mereka sudah menyatakan perang dengan Ansor," kata Abdul Rohim dalam "Banser Berjihad Menumpas PKI".
Di Karsidenan Kediri, PKI mendapat dukungan 457.000 suara. Jumlah konstituen PKI menyalip jumlah pemilih PNI yang mendapat 455.000 suara, NU sebanyak 366.000 suara dan Masyumi 155.000 suara. Digerakkannya sayap partai, seperti Pemuda Rakyat, BTI, SOBSI, Lekra untuk aktif turun ke bawah (turba) menjadi kunci. Gerakan turba tersebut ditopang dengan gencarnya agitasi dan propaganda (Agitprop) di media massa.
Dalam "Politik Surat Kabar, Berebut Wacana Antara Harian Rakjat Dengan Abadi 1952-1955" disebutkan, Njoto memiliki andil besar. Njoto berhasil menempatkan rakyat sebagai episentrum. Njoto merupakan Sekjen CC PKI yang juga Pimred Harian Rakyat. Pada tahun 1953, Njoto dan PKI berhasil mengakuisisi Harian Rakyat (Berdiri tahun 1951) yang sebelumnya dimiliki Siauw Giok Tjan, seorang jurnalis senior Sunday Courier.
Lelaki kelahiran Jember yang kelak pada peristiwa 30 September 1965 tidak jelas rimbanya tersebut, meletakkan pondasi baru betapa pentingnya relasi massa rakyat dengan pers. "Dia menyebut pewarta, karyawan, dan buruh percetakan Harian Rakyat sebagai kawan," tulis Muhammad Zulfikar dalam "Politik Surat Kabar, Berebut Wacana Antara Harian Rakjat Dengan Abadi 1952-1955".
Aktivitas politik PKI terpusat pada gerakan proletariat kota, perkebunan, kelompok pemuda, veteran, kelompok pemberontak serta gerombolan bandit tertentu. Paska peristiwa Madiun 1948, PKI yang secara organisasi luluh lantak, tidak ambil pusing dengan politik perebutan jabatan kepala daerah maupun jabatan pemerintah lainnya.
"Selain itu, PKI mulai kembali melakukan kegiatan di kalangan petani, yang terhenti setelah pemberontakan Madiun dipadamkan tulis Herbert Feith dalam "Pemilihan Umum 1955 di Indonesia". Di desa-desa wilayah Jawa Timur, khususnya karsidenan Kediri. Melalui para kader Pemuda Rakyat dan BTI, isu reforma agraria, tanah untuk rakyat, santer dihembuskan.
tulis komentar anda