Jadi Tersangka Korupsi Dana Hibah Penerbangan, Bos Helikopter di Papua Ajukan Praperadilan
Selasa, 31 Agustus 2021 - 15:50 WIB
Alasan kedua, kata Yasin, penetapan tersangka kepada kliennya tidak sesuai Pasal 184 KUHAP. MK dalam putusannya Nomor 21 Tahun 2015 menyebutkan bahwa penyidik dapat menetapkan tersangka apabila telah memiliki dua alat bukti.
“Dalam pasal tersebut, ada saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka, surat dan petunjuk. Keterangan tersangka dan petunjjuk menjadi kewenangan hakim kalau sudah terjadi persidangan. Jadi dia hanya punya tiga kesempatan untuk membuktikan dua alat bukti yaitu saksi, ahli dan surat,” jelas Yasin.
“Sepanjang yang kita tahu dari ekspos perkara, penyidik Kejati baru memperoleh satu alat bukti yaitu 9 orang saksi. Jika mereka menyatakan punya bukti lain yaitu surat, maka itu kita bantah karena tidak pernah ada penyitaan bukti yang diajukan untuk penetapan tersangka terhadap klien kami,” sambungnya.
Terkait penghitungan kerugian negara, Yasin mengatakan, yang berhak melakukan penghitungan dan mendiclare adanya kerugian negara hanya Badan pemeriksa Keuangan atau BPK.
“Sepanjang pengetahuan kami tehadap kasus ini, yang menghitung kerugian negara yang melakukan penyidik Kejati. Kalau penyidik melakukan penghitungan sendiri, maka itu bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan terutama Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 4 Tahun 2016,” ujarnya.
Yasin mengatakan, mendukung proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, tetapi kondisi hukum yang berjalan saat ini dari Kejaksaan Agung sedang melakukan penegakan hukum secara humanis yaitu restorative justice atau keadilan restoratif yakni tidak selalu berakhir di pengadilan.
“Tetapi yang dilakukan Kejati terhadap klien kami justru bisa menimbulkan preseden buruk. Tujuan dalam pemberantasan korupsi adalah mengembalikan keuangan negara. Klien kami secara sukarela tanpa menunggu hasil audit BPK telah mengembalikan kerugian negara, semestinya ini diapresiasi, bukan ditetapkan sebagai tersangka. Restorative justice dalam perkara ini harusnya dikedepankan,” ujar Yasin.
Pihaknya berharap, hakim dengan adil melihat bukti-bukti yang ada dan bisa mengabulkan permohonan gugatan tersebut, terutama membatalkan status tersangka kliennya.
Sebelumnya, Kepala Kejati Papua, Nikolaus Kondomo mengatakan, tersangka DS merupakan pemilik perusahaan PT PGP yang menerima dana hibah subsidi penerbangan helikopter dengan rute Nabire-Kirihi dan Walani.
Meskipun pada 19 Februari 2021 lalu tersangka telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp9.666.000.000 ke Kejati Papua, namun kasus tersebut masih terus didalami. “Dan dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi, tim penyidik Kejati Papua pada tanggal 9 Agustus 2021, menetapkan DS sebagai tersangka pada kasus tersebut, berdasarkan dua alat bukti yang cukup kuat, yaitu keterangan saksi dan sejumlah dokumen,” jelas Nikolaus beberapa waktu lalu.
“Dalam pasal tersebut, ada saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka, surat dan petunjuk. Keterangan tersangka dan petunjjuk menjadi kewenangan hakim kalau sudah terjadi persidangan. Jadi dia hanya punya tiga kesempatan untuk membuktikan dua alat bukti yaitu saksi, ahli dan surat,” jelas Yasin.
“Sepanjang yang kita tahu dari ekspos perkara, penyidik Kejati baru memperoleh satu alat bukti yaitu 9 orang saksi. Jika mereka menyatakan punya bukti lain yaitu surat, maka itu kita bantah karena tidak pernah ada penyitaan bukti yang diajukan untuk penetapan tersangka terhadap klien kami,” sambungnya.
Terkait penghitungan kerugian negara, Yasin mengatakan, yang berhak melakukan penghitungan dan mendiclare adanya kerugian negara hanya Badan pemeriksa Keuangan atau BPK.
“Sepanjang pengetahuan kami tehadap kasus ini, yang menghitung kerugian negara yang melakukan penyidik Kejati. Kalau penyidik melakukan penghitungan sendiri, maka itu bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan terutama Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 4 Tahun 2016,” ujarnya.
Yasin mengatakan, mendukung proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, tetapi kondisi hukum yang berjalan saat ini dari Kejaksaan Agung sedang melakukan penegakan hukum secara humanis yaitu restorative justice atau keadilan restoratif yakni tidak selalu berakhir di pengadilan.
“Tetapi yang dilakukan Kejati terhadap klien kami justru bisa menimbulkan preseden buruk. Tujuan dalam pemberantasan korupsi adalah mengembalikan keuangan negara. Klien kami secara sukarela tanpa menunggu hasil audit BPK telah mengembalikan kerugian negara, semestinya ini diapresiasi, bukan ditetapkan sebagai tersangka. Restorative justice dalam perkara ini harusnya dikedepankan,” ujar Yasin.
Pihaknya berharap, hakim dengan adil melihat bukti-bukti yang ada dan bisa mengabulkan permohonan gugatan tersebut, terutama membatalkan status tersangka kliennya.
Sebelumnya, Kepala Kejati Papua, Nikolaus Kondomo mengatakan, tersangka DS merupakan pemilik perusahaan PT PGP yang menerima dana hibah subsidi penerbangan helikopter dengan rute Nabire-Kirihi dan Walani.
Meskipun pada 19 Februari 2021 lalu tersangka telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp9.666.000.000 ke Kejati Papua, namun kasus tersebut masih terus didalami. “Dan dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi, tim penyidik Kejati Papua pada tanggal 9 Agustus 2021, menetapkan DS sebagai tersangka pada kasus tersebut, berdasarkan dua alat bukti yang cukup kuat, yaitu keterangan saksi dan sejumlah dokumen,” jelas Nikolaus beberapa waktu lalu.
tulis komentar anda