Waspada! Teknologi Informasi Jadi Sarana Kejahatan Seksual

Senin, 10 Mei 2021 - 11:42 WIB
Ilustrasi. Foto: SINDOnews
MAKASSAR - Teknologi informasi dan komunikasi yang disalahgunakan perlu diwaspadai. Sebab, seringkali digunakan sebagai sarana melakukan kejahatan seksual . Bahkan telah menjadi modus baru.

Demikian temuan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) , Antonius PS Wibowo dan tim selama berkunjung ke Sulsel sekaligus melakukan perlindungan kepada korban kejahatan pada 3-8 Mei 2021.

Baca Juga: media sosialkejahatan seksual .



Tak jarang, kejahatan seksual itu didokumentasikan dalam bentuk video dan/atau foto. Dokumen tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai alat untuk mengancam-memeras korban di kemudian hari, agar korban menuruti ajakan pelaku untuk kembali berbuat asusila. Dokumen itu akan disebar oleh pelaku jika korban menolaknya. Modus ini sesungguhnya mirip dengan grooming.

Selama tahun 2020, terdapat banyak terlindung LPSK di Sulsel terkait kejahatan seksual. Pada Januari-April 2021, jumlahnya mencapai 19 terlindung. Mayoritas korban adalah anak. Jumlah ini dianggap lebih kecil dari kejadian riil. Sebab, tidak semua korban meminta perlindungan ke LPSK . Berdasarkan Statistik Kriminal 2020 (BPS), jumlah kejadian kejahatan kesusilaan di wilayah polda tahun 2019, tiga besar terdiri dari Jawa Barat, Sulsel, dan Sumbar.

Baca Juga: kejahatan seksualteknologi informasi , sehingga mereka bisa lebih bijaksana dalam menggunakannya.

“Pendidikan literasi digital kepada orang tua, layak dijadikan program prioritas untuk menekan kejahatan seksual dengan modus baru. Ketika orang tua sudah melek literasi digital, semakin mampu melakukan pendampingan kepada anaknya,” jelas Antonius dalam keterangan resmi, Senin (10/5).

Selain menemukan modus baru kejahatan seksual , Antonius juga menemukan keberagaman pada berbagai putusan pengadilan terhadap pelaku kejahatan seksual. Pada suatu perkara kejahatan seksual terhadap anak dengan pelaku banyak orang (gang rape), pengadilan menghukum pelaku dengan penjara antara 2,5 hingga 5 tahun, dan denda Rp800 juta hingga Rp1 miliar, subsider 1-3 bulan kurungan. Pada perkara di pengadilan lainnya, pelaku tunggal dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider satu tahun kurungan serta membayar restitusi sebesar Rp33 juta subsider 6 bulan kurungan.

Baca juga:Polisi Ciduk Kakek Pencabul Bocah di Pademangan, Keluarga: Nyawa Dibayar Nyawa

Antonius menyebut perlunya segera dibuat pedoman pemidanaan bagi para hakim, khususnya pedoman menjatuhkan kurungan pengganti denda, agar tidak terjadi keragaman yang mencolok. Pedoman juga diperlukan untuk memberikan panduan kepada hakim dalam memutuskan restitusi (ganti kerugian dari pelaku kepada korban).

“Pekerjaan rumah yang masih banyak adalah di bidang penyusunan hukum acara restitusi. Melalui pedoman tersebut, diharapkan hak-hak korban atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat kejahatan yang dialaminya dapat diwujudkan, bahkan ditingkatkan realisasinya,” tukas Antonius.
(luq)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content