'Menolak' Zona Nyaman, Tiga Dekade Berkawan dengan Alam Liar
Selasa, 01 Desember 2020 - 20:31 WIB
Didi lantas menceritakan salah satu penelitiannya di taman nasional selama tiga tahun. Hidup di alam liar, kata dia, berarti mulai melupakan keluarga dan bertahan hidup dalam situasi yang tidak terduga termasuk harus siap bertemu ular, banteng dan anjing liar.
“Melakukan studi konservasi satwa liar khususnya studi ekologi perilaku memakan banyak waktu karena perlu memahami perilaku dan ekologi terlebih dahulu. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan metode penghitungan untuk memperkirakan jumlah merak hijau Jawa,” tutur peraih nominasi Rolex Award for Enterprise (2007) dan penerima Kalpataru tahun 2018 untuk kategori Pembina.
Sosok yang juga fellow di Asian Public Intellectual (API) ini juga menyatakan, ketimbang bicara zona nyaman, lebih baik berupaya menjadikan diri lebih bermanfaat bagi orang lain. “Kita istiqomah meskipun hidup saya roller coaster,” ucap Didi. Dia juga berpandangan bahwa kesempurnaan hidup akan tercapai manakala kita berupaya memberikan yang terbaik kepada sekeliling.
Pengamat pembangunan berkelanjutan Suseno Sukoyono mengenal Didi selama hampir 20 tahun sebagai sosok yang tidak betah berada di zona nyaman.
“Di awal-awal itu tidak umum, biasanya sekolah lulus pilih kerja di kantor tapi Pak Didi ini senang kantornya langit dengan bintang-bintang di hutan. Kemudian dia juga terus belajar, setelah belajar melepas yang diyakini tapi ikhlas, lalu belajar lagi. Ini perlu dicontoh orang muda,” tandasnya.
Bagi Suseno, apa yang dilakukan Didi di hutan dengan sejumlah penemuan spesies burung di Pulau Togian, Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, dan segala keterlibatannya dalam konservasi alam, benar-benar menarik perhatian. Termasuk juga buku “Biologi Konservasi” yang ditulis bersama Richard Primack dan Jatna Supriatna, serta Buku “Civic Engagement in Asia”.
“Dia orang yang sangat adaptif dalam perubahan, seperti air menyesuaikan tapi tetap air. Kemudian menggunakan pembelajaran itu untuk mencapai hasil yang terbaik,” jelasnya.
Sementara itu, Director of Global Networking and Engagement Chulalongkorn University Michiko Yoshida mengatakan, Didi adalah salah satu anggota API yang dipilih oleh seleksi komite yang ketat, public intelektual dari beberapa negara, bukan melalui jalan pintas.
“Pak Didi punya akademik yang bagus tapi itu tidak cukup untuk dipilih sebagai anggota API, tapi dia belajar berinteraksi dengan masyarakat dan alam di desa di semua level masyarakat, menjadi pendengar yang baik dan terbuka untuk berbagai budaya dan ide, menghormati yang lain dan rendah hati. Jika tidak rendah hati, kita tidak bisa melihat berlian di lautan. Tanpa karakter tersebut Didi tidak public intellectual,” tuturnya.
Didi, ungkap Michiko, melakukan semuanya dengan sepenuh hati. Memiliki karakter seperti ini butuh berdekade-dekade untuk menjadi public intelectual.
“Melakukan studi konservasi satwa liar khususnya studi ekologi perilaku memakan banyak waktu karena perlu memahami perilaku dan ekologi terlebih dahulu. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan metode penghitungan untuk memperkirakan jumlah merak hijau Jawa,” tutur peraih nominasi Rolex Award for Enterprise (2007) dan penerima Kalpataru tahun 2018 untuk kategori Pembina.
Sosok yang juga fellow di Asian Public Intellectual (API) ini juga menyatakan, ketimbang bicara zona nyaman, lebih baik berupaya menjadikan diri lebih bermanfaat bagi orang lain. “Kita istiqomah meskipun hidup saya roller coaster,” ucap Didi. Dia juga berpandangan bahwa kesempurnaan hidup akan tercapai manakala kita berupaya memberikan yang terbaik kepada sekeliling.
Pengamat pembangunan berkelanjutan Suseno Sukoyono mengenal Didi selama hampir 20 tahun sebagai sosok yang tidak betah berada di zona nyaman.
“Di awal-awal itu tidak umum, biasanya sekolah lulus pilih kerja di kantor tapi Pak Didi ini senang kantornya langit dengan bintang-bintang di hutan. Kemudian dia juga terus belajar, setelah belajar melepas yang diyakini tapi ikhlas, lalu belajar lagi. Ini perlu dicontoh orang muda,” tandasnya.
Bagi Suseno, apa yang dilakukan Didi di hutan dengan sejumlah penemuan spesies burung di Pulau Togian, Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, dan segala keterlibatannya dalam konservasi alam, benar-benar menarik perhatian. Termasuk juga buku “Biologi Konservasi” yang ditulis bersama Richard Primack dan Jatna Supriatna, serta Buku “Civic Engagement in Asia”.
“Dia orang yang sangat adaptif dalam perubahan, seperti air menyesuaikan tapi tetap air. Kemudian menggunakan pembelajaran itu untuk mencapai hasil yang terbaik,” jelasnya.
Sementara itu, Director of Global Networking and Engagement Chulalongkorn University Michiko Yoshida mengatakan, Didi adalah salah satu anggota API yang dipilih oleh seleksi komite yang ketat, public intelektual dari beberapa negara, bukan melalui jalan pintas.
“Pak Didi punya akademik yang bagus tapi itu tidak cukup untuk dipilih sebagai anggota API, tapi dia belajar berinteraksi dengan masyarakat dan alam di desa di semua level masyarakat, menjadi pendengar yang baik dan terbuka untuk berbagai budaya dan ide, menghormati yang lain dan rendah hati. Jika tidak rendah hati, kita tidak bisa melihat berlian di lautan. Tanpa karakter tersebut Didi tidak public intellectual,” tuturnya.
Didi, ungkap Michiko, melakukan semuanya dengan sepenuh hati. Memiliki karakter seperti ini butuh berdekade-dekade untuk menjadi public intelectual.
tulis komentar anda