'Menolak' Zona Nyaman, Tiga Dekade Berkawan dengan Alam Liar

Selasa, 01 Desember 2020 - 20:31 WIB
loading...
Menolak Zona Nyaman, Tiga Dekade Berkawan dengan Alam Liar
Mochamad Indrawan, ahli biologi konservasi yang hampir tiga dekade melakukan riset dan pengabdian masyarakat di pulau-pulau terpencil di Sulawesi Tengah. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Hidup mapan di perkotaan menjadi impian banyak orang. Namun, pilihan itu pun sebetulnya sudah terlalu mainstream. Generasi muda masa kini mungkin bisa menyontoh Dr Mochamad Indrawan, ahli biologi konservasi dengan segudang pengalaman hidup yang menyatu dengan alam.

Peneliti dengan kekhususan bidang biologi konservasi ini hampir tiga dekade melakukan riset dan pengabdian masyarakat di pulau-pulau terpencil di Sulawesi Tengah , menemukan daerah burung endemik, serta spesies 100 tahun yang dianggap punah yaitu gagak Banggai. (Baca juga: 10 Ikhtiar Konservasi Habitat Paling Sukses di Dunia)

Sosok doktor bersahaja itu betah berbulan-bulan berada di hutan mengamati hewan dan tumbuhan, dan menjadikan langit bertabur bintang sebagai atap kantornya. Baginya, pengabdian kepada lingkungan hidup dan manusia merupakan kebahagiaan tersendiri. (Baca juga: Viral Pengantin Laki-Laki Gandeng 2 Perempuan Cantik Sekaligus, Ini Kisahnya)

Dalam acara Bincang Santai Tanpa Jalan Pintas yang digelar Tambora Muda, jaringan peneliti dan konservasionis muda Indonesia, dia menyebut hidup di alam liar, tidur di atas batu besar di hutan beratapkan langit menjadi pengalaman sangat berharga yang tidak bisa didapatkan dimanapun.

“Saya selalu teringat bagaimana malam hari tidur di atas batu itu, lalu paginya terbangun dengan rusa yang berkerumun di samping saya seakan bertanya, mengapa kamu tidur seorang diri di sini? Ini pengalaman hebat yang tidak bisa dibeli di kota,” ujar pria yang akrab disapa Didi, dikutip Selasa (1/12/2020).

Menurut lulusan S3 bidang Biologi Konservasi dari Universitas Indonesia itu, para field biologist melihat kehidupan itu berbeda mengalami persepektif berbeda dengan masyarakat yang tinggal di kota.

“Kita yang tinggal di kota ini terlalu banyak artifisial, terlalu perduli hal yang materialistis padahal anugerah yang lebih besar diberikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa,” ucap pria kelahiran Surabaya, 8 Agustus 1962.

Selain dikenal sebagai peneliti kehidupan liar tiga tahun di alam bebas (Taman Nasional Baluran dan Alas Purwo), Didi juga menjadi co-founder dan presiden pertama IdOU (Indonesian Ornithologists’ Union), menjadi dosen dan peneliti tamu di 4 universitas terkemuka di Asia Pasifik, serta mitra bestari IPCC dan IPBES.

Pada saat bersamaan selama belasan tahun terakhir menggali kearifan alam dan budaya lokal di Pulau Peling sembari mendampingi masyarakat adat menangkap kesepatan pembangunan berkelanjutan.

Didi lantas menceritakan salah satu penelitiannya di taman nasional selama tiga tahun. Hidup di alam liar, kata dia, berarti mulai melupakan keluarga dan bertahan hidup dalam situasi yang tidak terduga termasuk harus siap bertemu ular, banteng dan anjing liar.

“Melakukan studi konservasi satwa liar khususnya studi ekologi perilaku memakan banyak waktu karena perlu memahami perilaku dan ekologi terlebih dahulu. Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan metode penghitungan untuk memperkirakan jumlah merak hijau Jawa,” tutur peraih nominasi Rolex Award for Enterprise (2007) dan penerima Kalpataru tahun 2018 untuk kategori Pembina.

Sosok yang juga fellow di Asian Public Intellectual (API) ini juga menyatakan, ketimbang bicara zona nyaman, lebih baik berupaya menjadikan diri lebih bermanfaat bagi orang lain. “Kita istiqomah meskipun hidup saya roller coaster,” ucap Didi. Dia juga berpandangan bahwa kesempurnaan hidup akan tercapai manakala kita berupaya memberikan yang terbaik kepada sekeliling.

Pengamat pembangunan berkelanjutan Suseno Sukoyono mengenal Didi selama hampir 20 tahun sebagai sosok yang tidak betah berada di zona nyaman.

“Di awal-awal itu tidak umum, biasanya sekolah lulus pilih kerja di kantor tapi Pak Didi ini senang kantornya langit dengan bintang-bintang di hutan. Kemudian dia juga terus belajar, setelah belajar melepas yang diyakini tapi ikhlas, lalu belajar lagi. Ini perlu dicontoh orang muda,” tandasnya.

Bagi Suseno, apa yang dilakukan Didi di hutan dengan sejumlah penemuan spesies burung di Pulau Togian, Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, dan segala keterlibatannya dalam konservasi alam, benar-benar menarik perhatian. Termasuk juga buku “Biologi Konservasi” yang ditulis bersama Richard Primack dan Jatna Supriatna, serta Buku “Civic Engagement in Asia”.

“Dia orang yang sangat adaptif dalam perubahan, seperti air menyesuaikan tapi tetap air. Kemudian menggunakan pembelajaran itu untuk mencapai hasil yang terbaik,” jelasnya.

Sementara itu, Director of Global Networking and Engagement Chulalongkorn University Michiko Yoshida mengatakan, Didi adalah salah satu anggota API yang dipilih oleh seleksi komite yang ketat, public intelektual dari beberapa negara, bukan melalui jalan pintas.

“Pak Didi punya akademik yang bagus tapi itu tidak cukup untuk dipilih sebagai anggota API, tapi dia belajar berinteraksi dengan masyarakat dan alam di desa di semua level masyarakat, menjadi pendengar yang baik dan terbuka untuk berbagai budaya dan ide, menghormati yang lain dan rendah hati. Jika tidak rendah hati, kita tidak bisa melihat berlian di lautan. Tanpa karakter tersebut Didi tidak public intellectual,” tuturnya.

Didi, ungkap Michiko, melakukan semuanya dengan sepenuh hati. Memiliki karakter seperti ini butuh berdekade-dekade untuk menjadi public intelectual.

Dia juga menyinggung bahwa anak muda adalah pendorong masa depan dan mereka yang akan menciptakan dunia lebih baik. Michiko menyebut generasi muda di era digital dan dinamis saat ini punya banyak kesempatan seiring meningkatnya konektivitas.

"Anak muda punya kesempatan yang tidak tersedia di generasi saya. Jangan sampai menjadi hambatan. Interaksi langsung dengan masyarakat ini membutuhkan waktu lama, tidak ada jalan pintas. Ini sebuah keindahan individu, sebagai warga negara, dan sebagai warga negara global untuk pembangunan berkelanjutan,” paparnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2546 seconds (0.1#10.140)