Status Lahan Tak Jelas, Ratusan Hektare Kebun Sawit di Kampar Riau Terbengkalai
Minggu, 25 Oktober 2020 - 08:20 WIB
Dia mengatakan, melihat kondisi kebun sawit sekarang, sudah selayaknya kebun sawit milik koperasi sudah diremajakan (replanting). Ini mengingat usia pohon yang sudah tua. Namun Antony mengaku tak bisa berbuat, banyak karena perusahaan belum menyerahkan sepenuhnya lahan tersebut ke pihak koperasi. Dengan demikian, tegas Antony, pihak perusahaan masih bertanggung jawab atas operasional kebun.
Antony mengaku bahwa dirinya menjabat ketua koperasi tahun 2013. Dia menceritakan bagaimana ihwal utang Rp83 miliar muncul. Awalnya, Bank Mandiri bukanlah bank awal pembiayaan pembuatan kebun melainkan Bank Agro.
"Bank Agro membuat akad kredit sebanyak tiga kali dengan koperasi dalam tahun berbeda. Jumlah kredit tiap tahun berbeda dengan total Rp52,9 miliar.Waktu saya menjadi ketua koperasi, saya ceklah rekening koperasi, uang itu enggak pernah masuk ke koperasi, tapi justru ke rekening perusahaan," terang Antony.
Antony menjelaskan, kebun tidak akan berantakan kalau memang uangnya diterima koperasi. Di sisi lain, tambah Antony, PTPN V pada 24 April 2013 mengusulkan agar utang tadi diambil alih (take over) oleh Bank Mandiri . Kala itu, perusahaan mengaku kesulitan keuangan.
Menurut Antony, pengurus dan anggota koperasi pendahulunya yang tidak mengerti soal itu, manut saja. Sebelum take over, utang koperasi di Bank Agro dihitung ulang tapi jumlahnya justru membengkak dari Rp52,9 miliar menjadi Rp79,3 miliar.
"Bank Mandiri menyetujui pinjaman hingga Rp83 miliar tersebut. Pinjaman itu digunakan membayar utang ke Bank Agro, sisanya dipakai katanya pihak perusahaan dengan alasa untuk membiayai kebun," jelas Antony.
Pihak PTPN V yang dikonfirmasi menyatakan, bahwa sebagian kebun yang rusak itu disebabkan bukan karena tidak diurus, tetapi karena kondisi alam. "Di sana sering terjadi banjir, sehingga menyebabkan kondisi sebagian sawit mati,"kata Humas PTPV V Risky Atriyansah.
Pihak perusahaan sudah beberapa kali melakukan penyisipan tanaman. Namun, ternyata pihak koperasi malah mencari kerjasama dengan pihak lain sejak tahun 2014. "Sehingga sekarang kondisinya seperti tidak terpelihara. Pengurus Kopsa-M juga menolak pengelolaan kebun secara single manajemen," imbuhnya.
Terkait pihak perusahaan ikut menanggung cicilan koperasi, Riski mengatakan bahwa hal itu merupakan avalis. "Bayangkan mereka hanya sanggup membayar Rp5 juta cicilannya perbulan. Sedangkan pendapatan Kopsa-M telah mencapai Rp1,8 miliar per bulan," terangnya.
Terkait permasalah dengan pihak Kopsa, hal ini telah dibawa ke ranah perdata dan sampai saat ini sudah sampai ke tingkat MA (Mahkamah Agung).
Antony mengaku bahwa dirinya menjabat ketua koperasi tahun 2013. Dia menceritakan bagaimana ihwal utang Rp83 miliar muncul. Awalnya, Bank Mandiri bukanlah bank awal pembiayaan pembuatan kebun melainkan Bank Agro.
"Bank Agro membuat akad kredit sebanyak tiga kali dengan koperasi dalam tahun berbeda. Jumlah kredit tiap tahun berbeda dengan total Rp52,9 miliar.Waktu saya menjadi ketua koperasi, saya ceklah rekening koperasi, uang itu enggak pernah masuk ke koperasi, tapi justru ke rekening perusahaan," terang Antony.
Antony menjelaskan, kebun tidak akan berantakan kalau memang uangnya diterima koperasi. Di sisi lain, tambah Antony, PTPN V pada 24 April 2013 mengusulkan agar utang tadi diambil alih (take over) oleh Bank Mandiri . Kala itu, perusahaan mengaku kesulitan keuangan.
Menurut Antony, pengurus dan anggota koperasi pendahulunya yang tidak mengerti soal itu, manut saja. Sebelum take over, utang koperasi di Bank Agro dihitung ulang tapi jumlahnya justru membengkak dari Rp52,9 miliar menjadi Rp79,3 miliar.
"Bank Mandiri menyetujui pinjaman hingga Rp83 miliar tersebut. Pinjaman itu digunakan membayar utang ke Bank Agro, sisanya dipakai katanya pihak perusahaan dengan alasa untuk membiayai kebun," jelas Antony.
Pihak PTPN V yang dikonfirmasi menyatakan, bahwa sebagian kebun yang rusak itu disebabkan bukan karena tidak diurus, tetapi karena kondisi alam. "Di sana sering terjadi banjir, sehingga menyebabkan kondisi sebagian sawit mati,"kata Humas PTPV V Risky Atriyansah.
Pihak perusahaan sudah beberapa kali melakukan penyisipan tanaman. Namun, ternyata pihak koperasi malah mencari kerjasama dengan pihak lain sejak tahun 2014. "Sehingga sekarang kondisinya seperti tidak terpelihara. Pengurus Kopsa-M juga menolak pengelolaan kebun secara single manajemen," imbuhnya.
Terkait pihak perusahaan ikut menanggung cicilan koperasi, Riski mengatakan bahwa hal itu merupakan avalis. "Bayangkan mereka hanya sanggup membayar Rp5 juta cicilannya perbulan. Sedangkan pendapatan Kopsa-M telah mencapai Rp1,8 miliar per bulan," terangnya.
Terkait permasalah dengan pihak Kopsa, hal ini telah dibawa ke ranah perdata dan sampai saat ini sudah sampai ke tingkat MA (Mahkamah Agung).
tulis komentar anda