Status Lahan Tak Jelas, Ratusan Hektare Kebun Sawit di Kampar Riau Terbengkalai

Minggu, 25 Oktober 2020 - 08:20 WIB
loading...
Status Lahan Tak Jelas, Ratusan Hektare Kebun Sawit di Kampar Riau Terbengkalai
Salah satu kebun sawit di Riau.Foto/Dok SINDOnews
A A A
PEKANBARU - Ketua Koperasi Tani Sawit Makmur (Kopsa-M) Antony Hamzah (52) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, dibuat pusing terkait masalah cicilan yang dialaminya dan rekan-rekanya. Hal ini karena besarnya hutang yang harus dibayar ke bank.

(Baca juga: Polres Inhil Amankan Sabu 50 Kg Senilai Rp57 Miliar di Perkebunan Kelapa Sawit)

Pasalnya, saat ini kondisi buah sawit dari perkebunan mereka tidak mencukupi untuk menutupi cicilan. Persoalannya, kebun koperasi tidak terawat sehingga panen yang dihasilkan minim.

(Baca juga: Ketua KPU Balikpapan Positif COVID-19, Debat Publik Pilkada Balikpapan Langsung Dihentikan)

"Kita memang memiliki lahan sawit seluas 1.415 hektare. Namun, hanya 754 hektare saja yang menghasilkan, sisanya jadi semak belukar," keluh Antony.

Dia mengatakan, pihak koperasi harus membayar hutang Rp83 miliar kepada pihak bank. Untuk melunasinya, dilakukan secara menyicil. Hutang kepada pihak bank bukan nama pribadi, melainkan atas nama Koperasi Tani Sawit Makmur (Kopsa-M).

Dia menjelaskan, dari hasil panen tandan buah segar (TBS) di lahan 754 hektare tersebut, paling banyak sekitar 700 ton per bulan. Nilainya jika diuangkan adalah Rp875 juta, belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk upah panen, ongkos angkut, dan operasional lainnya.

"Biaya yang harus dikeluarkan pertiga bulan adalah Rp3,7 miliar. Namun sekarang kita membayar Rp5 juta dan paling banyak Rp 25 juta," imbuhnya.

Lalu siapa yang melangi hutang ke Bank? Antony mengatakan, yang membantu membayar adalah pihak PTPN V selaku bapak angkat dengan sistem KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota). "Sisanya dibayar melalui auto debet rekening PT Perkebunan Nusantara (PTPN)," tukasnya.

Dia mengatakan, melihat kondisi kebun sawit sekarang, sudah selayaknya kebun sawit milik koperasi sudah diremajakan (replanting). Ini mengingat usia pohon yang sudah tua. Namun Antony mengaku tak bisa berbuat, banyak karena perusahaan belum menyerahkan sepenuhnya lahan tersebut ke pihak koperasi. Dengan demikian, tegas Antony, pihak perusahaan masih bertanggung jawab atas operasional kebun.

Antony mengaku bahwa dirinya menjabat ketua koperasi tahun 2013. Dia menceritakan bagaimana ihwal utang Rp83 miliar muncul. Awalnya, Bank Mandiri bukanlah bank awal pembiayaan pembuatan kebun melainkan Bank Agro.

"Bank Agro membuat akad kredit sebanyak tiga kali dengan koperasi dalam tahun berbeda. Jumlah kredit tiap tahun berbeda dengan total Rp52,9 miliar.Waktu saya menjadi ketua koperasi, saya ceklah rekening koperasi, uang itu enggak pernah masuk ke koperasi, tapi justru ke rekening perusahaan," terang Antony.

Antony menjelaskan, kebun tidak akan berantakan kalau memang uangnya diterima koperasi. Di sisi lain, tambah Antony, PTPN V pada 24 April 2013 mengusulkan agar utang tadi diambil alih (take over) oleh Bank Mandiri . Kala itu, perusahaan mengaku kesulitan keuangan.

Menurut Antony, pengurus dan anggota koperasi pendahulunya yang tidak mengerti soal itu, manut saja. Sebelum take over, utang koperasi di Bank Agro dihitung ulang tapi jumlahnya justru membengkak dari Rp52,9 miliar menjadi Rp79,3 miliar.

"Bank Mandiri menyetujui pinjaman hingga Rp83 miliar tersebut. Pinjaman itu digunakan membayar utang ke Bank Agro, sisanya dipakai katanya pihak perusahaan dengan alasa untuk membiayai kebun," jelas Antony.

Pihak PTPN V yang dikonfirmasi menyatakan, bahwa sebagian kebun yang rusak itu disebabkan bukan karena tidak diurus, tetapi karena kondisi alam. "Di sana sering terjadi banjir, sehingga menyebabkan kondisi sebagian sawit mati,"kata Humas PTPV V Risky Atriyansah.

Pihak perusahaan sudah beberapa kali melakukan penyisipan tanaman. Namun, ternyata pihak koperasi malah mencari kerjasama dengan pihak lain sejak tahun 2014. "Sehingga sekarang kondisinya seperti tidak terpelihara. Pengurus Kopsa-M juga menolak pengelolaan kebun secara single manajemen," imbuhnya.

Terkait pihak perusahaan ikut menanggung cicilan koperasi, Riski mengatakan bahwa hal itu merupakan avalis. "Bayangkan mereka hanya sanggup membayar Rp5 juta cicilannya perbulan. Sedangkan pendapatan Kopsa-M telah mencapai Rp1,8 miliar per bulan," terangnya.

Terkait permasalah dengan pihak Kopsa, hal ini telah dibawa ke ranah perdata dan sampai saat ini sudah sampai ke tingkat MA (Mahkamah Agung).
(zil)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4341 seconds (0.1#10.140)