Mahasiswa Anggap Omnibus Law lebih Kejam dari Aturan Zaman Belanda
Selasa, 06 Oktober 2020 - 15:21 WIB
MAKASSAR - Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar berunjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR RI di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo, Selasa (6/10/2020).
Ratusan mahasiswa tergabung dalam massa aksi yang mengatasnamakan diri Front Perjuangan Rakyat (FPR) datang sekira pukul 13.00 Wita, membentangkan spanduk dan bendera aliansi, serta organisasi kampus masing-masing.
Juru Bicara FPR Sulsel, Angga menyampaikan pihaknya menggugat pada wakil rakyat yang dinilai terburu-buru mengesahkan Omnibus Law , tanpa mendengar suara dari beberapa pihak.
Menurut dia ada pertimbangan penting yang harus dibahas lebih jauh dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut. Angga berpendapat aturan sangat merugikan pekerja, buruh, petani, nelayan dan warga kecil pada umumnya.
"Karena di UU itu PHK semakin dipermudah. Kedua penghilangan atau pengubahan upah minimum kota menjadi upah provinsi. Itu akan semakin memberangus para buruh," ucapnya disela-sela aksi.
Angga menilai UU Cipta Kerja yang disahkan para legislator pusat, lebih kejam dibandingkan dengan undang-undang Agraria di zaman kolonial Belanda. Pasalnya perusahaan atau investor akan diberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 90 tahun.
"Sedangkan, undang-undang agraria zaman kolonial Belanda hanya 25 hingga 30 tahun. Karena itulah undang-undang ini lebih kejam dari zaman kolonial Belanda," tegas mahasiswa Universitas Negeri Makassar ini.
Hal yang sama diutarakan Ikhsan Hidaya, pelibatan sejumlah pihak seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh buruh tidak dilakukan oleh anggota DPR RI. Wakil rakyat dianggap ceroboh dalam menentukan nasib rakyat.
Ratusan mahasiswa tergabung dalam massa aksi yang mengatasnamakan diri Front Perjuangan Rakyat (FPR) datang sekira pukul 13.00 Wita, membentangkan spanduk dan bendera aliansi, serta organisasi kampus masing-masing.
Juru Bicara FPR Sulsel, Angga menyampaikan pihaknya menggugat pada wakil rakyat yang dinilai terburu-buru mengesahkan Omnibus Law , tanpa mendengar suara dari beberapa pihak.
Menurut dia ada pertimbangan penting yang harus dibahas lebih jauh dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut. Angga berpendapat aturan sangat merugikan pekerja, buruh, petani, nelayan dan warga kecil pada umumnya.
"Karena di UU itu PHK semakin dipermudah. Kedua penghilangan atau pengubahan upah minimum kota menjadi upah provinsi. Itu akan semakin memberangus para buruh," ucapnya disela-sela aksi.
Angga menilai UU Cipta Kerja yang disahkan para legislator pusat, lebih kejam dibandingkan dengan undang-undang Agraria di zaman kolonial Belanda. Pasalnya perusahaan atau investor akan diberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 90 tahun.
"Sedangkan, undang-undang agraria zaman kolonial Belanda hanya 25 hingga 30 tahun. Karena itulah undang-undang ini lebih kejam dari zaman kolonial Belanda," tegas mahasiswa Universitas Negeri Makassar ini.
Hal yang sama diutarakan Ikhsan Hidaya, pelibatan sejumlah pihak seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh buruh tidak dilakukan oleh anggota DPR RI. Wakil rakyat dianggap ceroboh dalam menentukan nasib rakyat.
tulis komentar anda