Picu Polemik di Pilkada 2024, Pemerintah Diminta Atasi Tapal Batas Muba dan Muratara
Kamis, 28 November 2024 - 13:23 WIB
MUBA - Polemik tapal batas wilayah masih menjadi persoalan di sejumlah daerah. Salah satu contoh terjadi di Dusun 003 Desa Sako Suban. Wilayah ini diperselisihkan oleh Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan.
Pada Pilkada Serentak 2024, Desa Sako Suban, SD Negeri Sako Suban dijadikan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk Pilkada Kabupaten Muba. Namun, berdasarkan Permendagri No. 76 Tahun 2014, wilayah ini diklaim sebagai bagian dari Kabupaten Muratara. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih administratif yang berdampak pada aspek legal, sosial, dan politik.
Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Muba, Suganda menjelaskan secara administratif SDN Sako Suban tercatat masuk ke wilayah Muba. “Kalau secara administrasi wilayah, ini memang masuk ke Muba. Tapi terkait penentuan TPS itu menjadi wewenang KPU,” jelas Suganda, Kamis (28/11/2024).
Sementara itu, seorang guru SD di Desa Sako Suban, Yeni Lastari, menunjukkan surat undangan pemungutan suara untuk Pilkada Kabupaten Muba, meski berdasarkan Permendagri No. 76/2014, wilayah ini termasuk Kabupaten Muratara. Hal serupa dialami oleh Jon Kenedi, Kepala Dusun 003 Desa Sako Suban, yang mengaku memiliki identitas sebagai warga Kabupaten Muba. Tumpang tindih administratif ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan aktivis.
Aktivis HAM sekaligus pendiri LSM Lokataru Haris Azhar mengatakan, persoalan ini menunjukkan belum optimalnya penataan administrasi di tingkat lokal.
“Kondisi ini menandakan perlunya sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan kebingungan masyarakat dalam pengurusan administrasi, seperti KTP dan dokumen penting lainnya,” ungkap Haris, Kamis (28/11/2024).
Haris juga mengingatkan konflik agraria di wilayah Sumatera, termasuk Sumatera Selatan, masih menjadi persoalan yang sering terjadi. Menurutnya, sengketa terkait tapal batas bisa berdampak luas, mulai dari hak atas tanah hingga lingkungan hidup.
“Ketidakseimbangan penyelesaian sengketa lahan dapat berdampak pada akses masyarakat terhadap pekerjaan dan hak-hak sipil lainnya. Jika tidak segera ditangani, dampaknya akan sangat merugikan warga,” tambahnya.
Melihat permasalahan ini, pemerintah daerah dan pusat, serta KPU, diminta lebih proaktif dalam menyelesaikan polemik tapal batas ini. Penegasan ulang mengenai wilayah administratif diharapkan dapat menghindari potensi konflik berkepanjangan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Polemik di Dusun 003 Desa Sako Suban menjadi contoh nyata bahwa persoalan tapal batas memerlukan perhatian serius demi menjaga stabilitas sosial dan memberikan perlindungan bagi hak-hak warga.
Pada Pilkada Serentak 2024, Desa Sako Suban, SD Negeri Sako Suban dijadikan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk Pilkada Kabupaten Muba. Namun, berdasarkan Permendagri No. 76 Tahun 2014, wilayah ini diklaim sebagai bagian dari Kabupaten Muratara. Kondisi ini menimbulkan tumpang tindih administratif yang berdampak pada aspek legal, sosial, dan politik.
Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Muba, Suganda menjelaskan secara administratif SDN Sako Suban tercatat masuk ke wilayah Muba. “Kalau secara administrasi wilayah, ini memang masuk ke Muba. Tapi terkait penentuan TPS itu menjadi wewenang KPU,” jelas Suganda, Kamis (28/11/2024).
Sementara itu, seorang guru SD di Desa Sako Suban, Yeni Lastari, menunjukkan surat undangan pemungutan suara untuk Pilkada Kabupaten Muba, meski berdasarkan Permendagri No. 76/2014, wilayah ini termasuk Kabupaten Muratara. Hal serupa dialami oleh Jon Kenedi, Kepala Dusun 003 Desa Sako Suban, yang mengaku memiliki identitas sebagai warga Kabupaten Muba. Tumpang tindih administratif ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan aktivis.
Aktivis HAM sekaligus pendiri LSM Lokataru Haris Azhar mengatakan, persoalan ini menunjukkan belum optimalnya penataan administrasi di tingkat lokal.
“Kondisi ini menandakan perlunya sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan kebingungan masyarakat dalam pengurusan administrasi, seperti KTP dan dokumen penting lainnya,” ungkap Haris, Kamis (28/11/2024).
Haris juga mengingatkan konflik agraria di wilayah Sumatera, termasuk Sumatera Selatan, masih menjadi persoalan yang sering terjadi. Menurutnya, sengketa terkait tapal batas bisa berdampak luas, mulai dari hak atas tanah hingga lingkungan hidup.
“Ketidakseimbangan penyelesaian sengketa lahan dapat berdampak pada akses masyarakat terhadap pekerjaan dan hak-hak sipil lainnya. Jika tidak segera ditangani, dampaknya akan sangat merugikan warga,” tambahnya.
Melihat permasalahan ini, pemerintah daerah dan pusat, serta KPU, diminta lebih proaktif dalam menyelesaikan polemik tapal batas ini. Penegasan ulang mengenai wilayah administratif diharapkan dapat menghindari potensi konflik berkepanjangan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Polemik di Dusun 003 Desa Sako Suban menjadi contoh nyata bahwa persoalan tapal batas memerlukan perhatian serius demi menjaga stabilitas sosial dan memberikan perlindungan bagi hak-hak warga.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda