BPIP Gelar Diskusi di Ambon, Nilai-nilai Universal Agama Penting untuk Tegakkan Moralitas dan Etika
Kamis, 26 September 2024 - 13:54 WIB
”Termasuk politisasi agama dan politik identitas, menguatnya stereotif negatif dan prejudice, oligarki, ekstremisme keagamaan, rendahnya amanah dan tanggung jawab dalam pemerintahan hingga menyebabkan erosi kepercayaan publik dan lain sebagainya,” ucapnya.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengatakan, orientasi budaya shame culture, sistem kekerabatan keluarga luas. Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta.
”Orang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakat kita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkapnya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir menyoroti digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru atau netizen yang kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.
”Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika,” katanya.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani menambahkan, paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. “Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yang sepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujarnya.
Atas dasar itu, maka pentingnya memasukkan nilai-nilai agama yang universal ke dalam Undang-Undang Etik sehingga nilai-nilai agama tidak hanya sebagai nilai moral yang abstrak, tetapi juga keputusan tertulis. ”Perlunya pembentukan Mahkamah Etik guna mengefektifkan sanksi etika-moral,” ucapnya.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengatakan, orientasi budaya shame culture, sistem kekerabatan keluarga luas. Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta.
”Orang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakat kita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkapnya.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir menyoroti digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru atau netizen yang kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.
”Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika,” katanya.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani menambahkan, paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. “Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yang sepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujarnya.
Atas dasar itu, maka pentingnya memasukkan nilai-nilai agama yang universal ke dalam Undang-Undang Etik sehingga nilai-nilai agama tidak hanya sebagai nilai moral yang abstrak, tetapi juga keputusan tertulis. ”Perlunya pembentukan Mahkamah Etik guna mengefektifkan sanksi etika-moral,” ucapnya.
(shf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda