Hanya Kosmetik, Surabaya Tidak Masuk Kategori Smart City
Rabu, 19 Agustus 2020 - 14:03 WIB
SURABAYA - Smart City (Kota Cerdas) salah satu konsep yang digembar-gemborkan kepala daerah. Baik untuk meningkatkan pamor pribadi maupun kesungguhan untuk membangun sebuah wilayah.
Seperti yang digaungkan di Surabaya , kota cerdas dipublikasikan sebagai branding kinerja Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Namun nyatanya pemikiran tersebut hanya menjadi rancangan dan rencana saja.
Terbukti dalam survei yang dirilis The IMD World Competitiveness Center’s Smart City Observatory, dari ratusan kota dunia tidak ada Kota Surabaya daftar tersebut. Tercatat hanya ada Jakarta, Makassar dan Medan yang masuk dalam kategori Smart City.
Adapun negara yang menempati rangking pertama smart city adalah Singapore, Zurich, Oslo, Geneva, Copenhagen, Auckland, Taipei City, Helsinki, Bilbao and Dusseldorf.
Konsep “Smart City” disebut menjadi solusi membenahi pembangunan sistem dan infrastruktur kota. Rancangan smart city dipercaya mampu mendongkra akselerasi ekonomi.
“Konsep kota pintar tumbuh dan berkembang di seluruh belahan dunia. Realitas ekonomi tidak dapat diabaikan: kota-kota di negara-negara miskin menghadapi kerugian membutuhkan tindakan khusus untuk memperbaiki jalan keluar untuk pembangunan yang lebih cerdas, ” kata Direktur The IMD World Competitiveness Center’s Smart City Observatory, Profesor Arturo Bris.
Wajar saja jika Surabaya tidak masuk dalam rangking Smart City Index. Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro menilai masih banyak aspek pembangunan kota yang tidak seimbang dan hanya menggunakan internet untuk pencitraan smart city.
"Saya kira masih terlalu jauh baik Surabaya maupun Bandung belum bisa memberikan solusi mendasar, contohnya seperti sistem transportasi massal," kata Bernardus. (Baca: Gubernur Khofifah Dorong Diversifikasi Pangan di Jatim).
Kemudian, pemerintah kota hanya membenahi sedikit pelayanan dengan menggunakan internet. Konsep kota pintar sebenarnya jauh lebih besar dibanding dari sekadar pelayanan berbasis IT. Konsep ini mencakup perencanaan fisik, ada desain, kebijakan pemerintah, hingga pendanaan, dan lain sebagainya. “Kota tersebut baru memulai pelayanan warga yang berbasis teknologi atau internet saja,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Manajemen Sistem Informasi Universitas Airlangga (Unair), Tuwanku Aria Auliandri mengatakan, Pemkot Surabaya perlu mengevaluasi kembali penerapan konsep Smart City. Menurutnya, untuk menjadi Smart City, Pemkot tidak cukup dengan menyediakan fasilitas digital dalam memenuhi kebutuhan, tapi juga harus ada konektivitas dan interaksi yang terhubung antar sistem.
“Di struktur pemerintahan ada dinas-dinas, di setiap dinas punya job desk. Mungkin Bu Walikota Tri Rismaharini tidak memperhatikan cukup detail setiap dinas yang berhubungan dengan stakeholder. Sehingga digital hanya sekadar ‘kosmetik’ saja,” ujar Aria.
Seperti yang digaungkan di Surabaya , kota cerdas dipublikasikan sebagai branding kinerja Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Namun nyatanya pemikiran tersebut hanya menjadi rancangan dan rencana saja.
Terbukti dalam survei yang dirilis The IMD World Competitiveness Center’s Smart City Observatory, dari ratusan kota dunia tidak ada Kota Surabaya daftar tersebut. Tercatat hanya ada Jakarta, Makassar dan Medan yang masuk dalam kategori Smart City.
Adapun negara yang menempati rangking pertama smart city adalah Singapore, Zurich, Oslo, Geneva, Copenhagen, Auckland, Taipei City, Helsinki, Bilbao and Dusseldorf.
Konsep “Smart City” disebut menjadi solusi membenahi pembangunan sistem dan infrastruktur kota. Rancangan smart city dipercaya mampu mendongkra akselerasi ekonomi.
“Konsep kota pintar tumbuh dan berkembang di seluruh belahan dunia. Realitas ekonomi tidak dapat diabaikan: kota-kota di negara-negara miskin menghadapi kerugian membutuhkan tindakan khusus untuk memperbaiki jalan keluar untuk pembangunan yang lebih cerdas, ” kata Direktur The IMD World Competitiveness Center’s Smart City Observatory, Profesor Arturo Bris.
Wajar saja jika Surabaya tidak masuk dalam rangking Smart City Index. Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro menilai masih banyak aspek pembangunan kota yang tidak seimbang dan hanya menggunakan internet untuk pencitraan smart city.
"Saya kira masih terlalu jauh baik Surabaya maupun Bandung belum bisa memberikan solusi mendasar, contohnya seperti sistem transportasi massal," kata Bernardus. (Baca: Gubernur Khofifah Dorong Diversifikasi Pangan di Jatim).
Kemudian, pemerintah kota hanya membenahi sedikit pelayanan dengan menggunakan internet. Konsep kota pintar sebenarnya jauh lebih besar dibanding dari sekadar pelayanan berbasis IT. Konsep ini mencakup perencanaan fisik, ada desain, kebijakan pemerintah, hingga pendanaan, dan lain sebagainya. “Kota tersebut baru memulai pelayanan warga yang berbasis teknologi atau internet saja,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Manajemen Sistem Informasi Universitas Airlangga (Unair), Tuwanku Aria Auliandri mengatakan, Pemkot Surabaya perlu mengevaluasi kembali penerapan konsep Smart City. Menurutnya, untuk menjadi Smart City, Pemkot tidak cukup dengan menyediakan fasilitas digital dalam memenuhi kebutuhan, tapi juga harus ada konektivitas dan interaksi yang terhubung antar sistem.
“Di struktur pemerintahan ada dinas-dinas, di setiap dinas punya job desk. Mungkin Bu Walikota Tri Rismaharini tidak memperhatikan cukup detail setiap dinas yang berhubungan dengan stakeholder. Sehingga digital hanya sekadar ‘kosmetik’ saja,” ujar Aria.
(nag)
tulis komentar anda