Ikatan Ahli Perencanaan Nilai RUU Cipta Kerja Butuh Koreksi
Selasa, 18 Agustus 2020 - 20:33 WIB
BANDUNG - Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang kini tengah dibahas DPR RI membutuhkan koreksi, terutama yang berkaitan dengan perizinan.
Ketua Umum IAP Indonesia, Hendricus Andy Simarmata mengatakan, perbaikan yang menyangkut perizinan dalam RUU Cipta Kerja dibutuhkan agar penerapan RUU Cipta Kerja berjalan maksimal sekaligus menekan potensi konflik di tengah masyarakat.
Menurut Hendricus, kehadiran RUU Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan kemudahan berusaha dan memperbaiki ekosistem investasi, sehingga bermuara pada penambahan lapangan kerja. (Baca: Lewat Tim Khusus Buruh-DPR RUU Cipta Kerja, Kepentingan Buruh Terakomodasi )
Inefesiensi proses dan panjangnya birokrasi perizinan sebagai salah satu faktor penghambat kegiatan investasi. Oleh karenanya, pihaknya mendorong perbaikan menyeluruh terhadap sistem perizinan yang dinilainya masih belum ringkas, independen, dan ramah terhadap investasi.
IAP, lanjut Hendricus, menyoroti tiga faktor utama di bagian hulu perizinan yang harus diperbaiki, yakni sistem tata ruang dan perencanaan sektor yang masih berdiri sendiri, pengelolaan dampak investasi yang tidak efektif dan efisien, serta ketiadaan komite independen untuk menyelesaikan perbedaan atau konflik perizinan.
"Oleh karena itu, IAP mengusulkan lima masukan dalam perbaikan RUU Cipta Kerja," tegasnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (18/8/2020). (Baca: Artis Promosikan Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah Dinilai Tak Etis )
Dia juga menekankan, konsep pembangunan berkelanjutan harus menjadi azas penyelenggaraan RUU Cipta Kerja. Oleh karena itu, tujuan peningkatan ekosistem Investasi bukan hanya untuk memudahkan investasi ekonomi, tetapi memastikan investasi sosial dan investasi lingkungan hidup bekerja secara simultan untuk kepentingan umum.
Selanjutnya, upaya penyederhanaan perizinan harus dimulai dari perbaikan sistem tata ruang dari hulu sampai prosedur perizinan yang berada di hilir. Di hulu, rencana tata ruang harus dijadikan tempat konsolidasi berbagai rencana sektor yang memanfaatkan ruang dengan pertimbangan keberlanjutan pembangunan (One Map-One Data-One Plan).
Konsolidasi rencana tersebut termasuk me-reset ulang waktu berbagai jenis perencanaan (RTRW, RPPLH, RPB, RUE, PPRK, RIPPAR, dan lain-lain) baik pusat maupun daerah mengikuti waktu dimulainya rencana pembangunan jangka menengah/panjang untuk memudahkan integrasi pemrograman, efisiensi dan efektifitas pembiayaan pembangunan serta kepastian berinvestasi.
Ketua Umum IAP Indonesia, Hendricus Andy Simarmata mengatakan, perbaikan yang menyangkut perizinan dalam RUU Cipta Kerja dibutuhkan agar penerapan RUU Cipta Kerja berjalan maksimal sekaligus menekan potensi konflik di tengah masyarakat.
Menurut Hendricus, kehadiran RUU Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan kemudahan berusaha dan memperbaiki ekosistem investasi, sehingga bermuara pada penambahan lapangan kerja. (Baca: Lewat Tim Khusus Buruh-DPR RUU Cipta Kerja, Kepentingan Buruh Terakomodasi )
Inefesiensi proses dan panjangnya birokrasi perizinan sebagai salah satu faktor penghambat kegiatan investasi. Oleh karenanya, pihaknya mendorong perbaikan menyeluruh terhadap sistem perizinan yang dinilainya masih belum ringkas, independen, dan ramah terhadap investasi.
IAP, lanjut Hendricus, menyoroti tiga faktor utama di bagian hulu perizinan yang harus diperbaiki, yakni sistem tata ruang dan perencanaan sektor yang masih berdiri sendiri, pengelolaan dampak investasi yang tidak efektif dan efisien, serta ketiadaan komite independen untuk menyelesaikan perbedaan atau konflik perizinan.
"Oleh karena itu, IAP mengusulkan lima masukan dalam perbaikan RUU Cipta Kerja," tegasnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (18/8/2020). (Baca: Artis Promosikan Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah Dinilai Tak Etis )
Dia juga menekankan, konsep pembangunan berkelanjutan harus menjadi azas penyelenggaraan RUU Cipta Kerja. Oleh karena itu, tujuan peningkatan ekosistem Investasi bukan hanya untuk memudahkan investasi ekonomi, tetapi memastikan investasi sosial dan investasi lingkungan hidup bekerja secara simultan untuk kepentingan umum.
Selanjutnya, upaya penyederhanaan perizinan harus dimulai dari perbaikan sistem tata ruang dari hulu sampai prosedur perizinan yang berada di hilir. Di hulu, rencana tata ruang harus dijadikan tempat konsolidasi berbagai rencana sektor yang memanfaatkan ruang dengan pertimbangan keberlanjutan pembangunan (One Map-One Data-One Plan).
Konsolidasi rencana tersebut termasuk me-reset ulang waktu berbagai jenis perencanaan (RTRW, RPPLH, RPB, RUE, PPRK, RIPPAR, dan lain-lain) baik pusat maupun daerah mengikuti waktu dimulainya rencana pembangunan jangka menengah/panjang untuk memudahkan integrasi pemrograman, efisiensi dan efektifitas pembiayaan pembangunan serta kepastian berinvestasi.
tulis komentar anda