Asal Usul Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Lahir dari Pertikaian 2 Agama di Majapahit
Sabtu, 13 Januari 2024 - 06:07 WIB
Di dalam Kakawin Sutasoma, pada Pupuh CXLVII bait satu jelas-jelas mengatakan bahwa karyanya itu adalah sebuah boddhacarita atau cerita yang bersifat buddha.
Sementara bait yang mengandung ungkapan Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada Pupuh CXXXIX dengan bahasa Jawa kuno berbunyi:
“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bbhineki rakwa ring apan ke parwwanose'n mangkaang jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbinneka tunggal ika tan bana dharmma mangrwa”.
Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia Pupuh CXXXIX poin lima itu berbunyi dikatakan bahwa mereka yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa) merupakan dua elemen dasar, tidak tunggal terpisah itu konon karena dapat segera dibagi dua.
Padahal dalam pada itu ke-jina-an (kebuddhaan) dan kebenaran Siwa itu tunggal itu terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua.Pada bait itu terungkap dewa Siwa disamakan dengan Buddha.
Lebih tegas bahkan diingatkan bahwa ada kebenaran Siwa - Buddha yang halus dan penuh kasih.
Pertemuan dan penyatuan Siwa dan Buddha ini pun telah dimulai dengan tegas sejak zaman Singasari yakni saat raja terakhir Kertanagara setelah meninggal dibuatkan arca peringatan dalam wujud sebagai Siwa maupun Buddha.
Perumusan - perumusan yang dihasilkan di zaman Majapahit baik dalam bentuk sastra maupun arsitektur, pada dasarnya merupakan daya kreatif untuk mengatasi keanekaan agama.
Masalah keanekaragaman tersebut perlu dikelola dalam upaya bina negara di zaman Kerajaan Majapahit.
Sementara bait yang mengandung ungkapan Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada Pupuh CXXXIX dengan bahasa Jawa kuno berbunyi:
“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bbhineki rakwa ring apan ke parwwanose'n mangkaang jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbinneka tunggal ika tan bana dharmma mangrwa”.
Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia Pupuh CXXXIX poin lima itu berbunyi dikatakan bahwa mereka yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa) merupakan dua elemen dasar, tidak tunggal terpisah itu konon karena dapat segera dibagi dua.
Padahal dalam pada itu ke-jina-an (kebuddhaan) dan kebenaran Siwa itu tunggal itu terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua.Pada bait itu terungkap dewa Siwa disamakan dengan Buddha.
Lebih tegas bahkan diingatkan bahwa ada kebenaran Siwa - Buddha yang halus dan penuh kasih.
Pertemuan dan penyatuan Siwa dan Buddha ini pun telah dimulai dengan tegas sejak zaman Singasari yakni saat raja terakhir Kertanagara setelah meninggal dibuatkan arca peringatan dalam wujud sebagai Siwa maupun Buddha.
Perumusan - perumusan yang dihasilkan di zaman Majapahit baik dalam bentuk sastra maupun arsitektur, pada dasarnya merupakan daya kreatif untuk mengatasi keanekaan agama.
Masalah keanekaragaman tersebut perlu dikelola dalam upaya bina negara di zaman Kerajaan Majapahit.
(ams)
tulis komentar anda