Akik Menggoda Modernitas Kota

Minggu, 10 Mei 2015 - 10:38 WIB
Akik Menggoda Modernitas Kota
Akik Menggoda Modernitas Kota
A A A
”WABAH” batu akik juga melanda Surabaya. Batu yang sangat akrab dengan klenik itu sangat mudah dijumpai, dari pinggir jalan hingga mal. Batu itu bisa berupa perhiasan dengan emban bermacam jenis logam atau masih bentuk bongkahan.

Ini tentang obrolan santai, kelakar untuk batu akik (sebagai barang dagangan), penjual juga pembelinya. Obrolan di warung terjadi lantaran di depan Masjid Assakinah BKKBN Jalan Airlangga, ada penjual akik, Jumat (8/5). Kami yang ada di warung kopi tak jauh dari penjual akik itu pun rasan-rasan.

Rupanya penjual itu berkemaskemas karena jamaah shalat Jumat dan tak ada yang membeli. Orangorang itu hanya tergoda untuk melihatnya. ”Dulu, batu seperti ini (kecubung air) itu lima puluh ribu saja sudah mahal,” Suryadi, dosen Universitas Ciputra itu menunjukkan cincin yang dibelinya dari seorang kawan akrab di Tasikmalaya. Pria asal Menganti, Gresik, itu pun hanya bisa tertawa getir dengan perilaku para pemburu batu akik.

Di kampungnya, ada seorang pengusaha batu mangan. ”Lha batu-batu ternyata diambil oleh beberapa orang. Lalu, batu itu diolah dibentuk menjadi akik. Ternyata, hasilnya bagus dan bisa laku seratus sampai dua ratus ribu. Sekarang jadinya batu-batu itu kini diolah untuk akik semua,” tutur Suryadi sambil menepuk jidatnya. Kisah ini masih belum seberapa. Kata Suryadi, yang lebih konyol lagi pencurian nisan yang terbuat dari kayu jati.

Di kampungnya ada perkuburan tua yang kebanyakan nisannya masih terbuat dari kayu (jati). Seiring dengan wabah akik, salah satu jenis yang banyak dicari adalah fosil kayu jati. ”Nah , makammakam itu memang sudah sangat tua usianya. Nisannya terbuat dari kayu jati. Bagian nisan yang terpendam itulah yang diincar banyak orang,” kata alumnus Pasca sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) ini.

Tak tanggung-tanggung, para pemburu akik anyaran ini menjebol nisan yang terbuat dari kayu jati. ”Saiki di kuburan itu jadi banyak yang hilang pathokane (nisannya). Itu (nisan) hanya diganti dengan batang pohon kamboja begitu saja,” ungkapnya. ”Lho iyo , saiki tambah nemen . Semua batu itu dijual dengan bumbu-bumbu khasiat dan cerita mistisnya,” timpal Kukuh Yudha, dosen Pascasarjana FISIP Unair.

Lulusan terbaik S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini pun heran dengan banyaknya penjual akik di kawasan Jalan Kapasari (kawasan Pasar Gembong). Suatu waktu, Kukuh sedang berburu di pasar legendaris itu karena dia memang sangat suka mengoleksi sepatu. Saat memilih sepatu, telinga Kukuh tergelitik dengan aksi promosi penjual batu akik yang masih bongkahan di sebelah penjual sepatu.

Penjual akik itu dengan serius dan meyakinkan perihal sebongkah batu. ”Aku jadi penasaran, batu apa yang dipromosikan,” tutur pria asli Surabaya ini. Saat Kukuh menoleh ternyata batu yang dimaksud adalah zeolit. Di situ para calon pembeli begitu serius mendengar paparan yang belum jelas kebenarannya.

”Lha iku lhak watu aquarium , nang omahku akeh ,” katanya sambil terpingkal-pingkal. Meski akik kini sudah mengalami pergeseran nilai sebagai batu perhiasan yang bernilai gengsi tinggi, masa lalunya (kekunoannya) tetap melekat. Klenik tetap saja dilekatkan pada akik dalam setiap biografinya.

Menyangsikan Modernitas Kota

Dalam banyak referensi disebutkan, modernitas merupakan suatu kondisi perubahan pada masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pengertian modernitas berasal dari kata modern dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau.

Jadi, modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup, yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan (Suryohadiprojo, 1994).

Adapun perilaku modernitas adalah sebuah istilah yang digunakan di dalam antropologi, arkeologi, dan sosiologi. Frase itu mengacu ke sebuah kumpulan sifat yang membedakan manusia sekarang dengan nenek moyangnya semenjak berkembangnya primata dan punahnya hominid lain. Ini adalah titik saat Homo sapiens mulai menunjukkan suatu kemampuan untuk menggunakan pemikiran simbolik yang kompleks dan menunjukkan kreativitas kultural.

Perkembangan ini sering dihubungkan dengan asal mula bahasa. Ada dua teori utama mengenai kapan perilaku manusia modern muncul. Satu teori menyebut bahwa perilaku modernitas terjadi secara tiba-tiba sekitar 50 kya (50.000 tahun lalu) saat prasejarah, kemungkinannya disebabkan oleh mutasi genetis yang besar atau sebagai akibat dari reorganisasi pada otak secara biologis sehingga mengakibatkan munculnya bahasa alami pada manusia modern.

Pendukung dari teori ini mengacu pada kejadian tersebut sebagai great leap forward (loncatan besar ke depan) atau upper paleolithic revolution (revolusi paleolitik atas). Teori kedua berbunyi, tidak pernah ada satu pun revolusi teknologi atau kognitif. Pendukung dari pandangan ini berkeyakinan perilaku manusia modern adalah hasil dari akumulasi bertahap dari pengetahuan, keterampilan, dan kultur yang terjadi selama ratusan atau ribuan tahun selama evolusi manusia.

Pendukung dari teori ini termasuk Stephen Oppenheimer dalam bukunya Out of Eden , dan John Skoyles dan Dorion Sagan dalam Up from Dragons: The Evolution of Human Intelligence . Nah , tak perlu ada simpulan dalam tulisan ini. Nikmati saja (semoga), seperti (sebagian) masyarakat kita yang masih suka dengan gurihnya rekayasa pengetahuan.

Zaki zubaidi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5431 seconds (0.1#10.140)