Mencari Format Ideal Selesaikan Sengketa Pilkada

Minggu, 26 April 2015 - 10:05 WIB
Mencari Format Ideal Selesaikan Sengketa Pilkada
Mencari Format Ideal Selesaikan Sengketa Pilkada
A A A
JEMBER - Pemerintah sedang mematangkan lembaga peradilan khusus untuk menangani sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).

Namun sebagian masyarakat masih menginginkan agar sengketa pilkada diselesaikan Mahkamah Konstitusi (MK). ”Sementara ini lembaga yang mengadili sengketa pemilu kepala daerah adalah Mahkamah Kosntitusi (MK). Seminar ini akan mencarikan format yang terbaik dan terbaru serta ideal untuk penyelesaian perselesihan hasil pilkada,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional ”Format Ideal Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Dalam Rangka Menegakkan Daulat Rakyat” yang digelar Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember kemarin.

Yasona berharap hasil seminar ini bisa menjadi bahakn masukan bagi pemerintah dalam menangani sengketa pilkada, terlebih pilkada serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. ”Seminar itu diharapkan menjadi acuan ke depan untuk pemerintah dan DPR dalam mencari format penyelesaian hasil perselisihan pemilihan kepala daerah,” katanya.

Wacana mengenai lembaga peradilan khusus sengketa pilkada ini mengemuka setelah MK melalui putusan Nomor 97/PUU- XI/2013menganulirPasal236 C Undang-Undang (UU) Nomor 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan putusan tersebut, MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada.

Anggota KPU Pusat, Ida Budhiati memaparkan, desain penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilu), termasuk pilkada, hendaknya disesuaikan dengan desain pemilu yang akan datang. Dalam perspektif KPU, penyelenggaraan pemilu idealnya ada jeda antara pemilu nasional dengan pemilu lokal. Dengan begitu, tersedia cukup ruang bagi penyelenggara, peserta, dan pemilih untuk melakukan evaluasi dan konsolidasi. Demikian juga penyelesaian sengketa oleh lembaga peradilan lebih teraturdan berkeadilan.

”Dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi para pencari keadilan pemilu, dapat digagas pembentukan Pengadilan Pemilu tingkat nasional dan daerah. Pengadilan ini akan menangani seluruh jenis sengketa Pemilu kecuali perselisihan hasil Pemilu yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi,” kata Ida Budhiati. Dia menjelaskan, desain Pengadilan Pemilu adalah badan Peradilan Pemilu yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Peserta Pemilu yang mencari keadilan Pemilu.

Pemeriksaan sidang Pengadilan Pemilu dilakukan hakim pemilu yang dibentuk secara ad hoc, berjumlah lima orang dengan masa jabatan lima tahun, yang direkrut secara terbuka. Sementara Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono lebih mendukung sengketa hasil pilkada ditangani MK. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat bisa menghindarkan sengketa yang berlarut-larut dan lebih menjamin stabilitas situasi politik dan keamanan.

”Akan sangat rawan jika untuk menyelesaikan perselisihan Pilkada yang nuansa politiknya sangat kuat diserahkan hakim ad hoc yang belum teruji integritas dan independensinya,” terang Bayu. Menurut dia, pengalaman selama ini menunjukkan semua pihak yang berpekara di MK bisa menerima putusan terkait sengketa pemilu maupun pilkada. Meski sempat tercederai dengan kasus Akil Mochtar, hal itu tidak melunturkan penilaian terhadap lembaga MK yang profesional dan akuntabel dalam menangani sengketa pemilu dan pilkada.

”Para pembentuk UU perlu membuka mata terhadap beberapa fakta hukum dan fakta empiris tersebut untuk menganulir ide pembentukan badan peradilan khusus yang tidak sesuai dengan maksud UUD 1945, justru berpotensi menambah pembiayaan negara. Pembentuk UU perlu merevisi UU Pemda, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Mahkamah Konstitusi untuk menegaskan kembali wewenang MK untuk memutus perselisihan hasil pilkada,” terangnya.

P juliatmoko
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0871 seconds (0.1#10.140)