Bekas Benteng Penjajah di Gang Sempit

Senin, 30 Maret 2015 - 10:00 WIB
Bekas Benteng Penjajah di Gang Sempit
Bekas Benteng Penjajah di Gang Sempit
A A A
Suhu panas dari terik mentari, berubah jadi sejuk saat kami memasuki ke rumah Denny Syahputra di Gang Famili, Jalan Gatot Subroto, Medan. Bukan karena kipas angin atau pendingin ruangan yang dipasang, tapi karena rumah ini bukan rumah biasa.

Rumah Denny adalah bekas benteng milik penjajah. Sekitar pukul 13.30 WIB, Kamis (26/3), suhu di Kota Medan mencapai 35 derajat celsius. Tapi, saat masuk ke bangunan tersebut, suhu panas itu tak terasa lagi. Dalam bangunan benteng itu, udara memang dingin. Sebab, dinding benteng itu memiliki ketebalan hingga mencapai 1,2 meter begitu juga dengan bagian atas (atapnya).

Selain itu, ketebalan dinding bangunan menyebabkan sinyal jaringan telepon yang digunakan, padam. Benteng pertahanan yang berada di Kelurahan Sei Sikambing C-2, Kecamatan Medan Helvetia masih terlihat kokoh. Bangunan tersebut diperkirakan dibangun di masa penjajahan kolonial. Kini, bangunan tua itu sudah ditempati keluarga Denny Syahputra, 41, bersama empat anak dan istrinya.

Ketika KORAN SINDO MEDAN mengunjungi bangunan tersebut, terlihat kondisi luar bangunan memang tak lagi menarik dibandingkan bangunan rumah di sekitarnya. Dengan fungsinya sebagai benteng, bangunan berukuran 12x6 meter (m) dengan tinggi sekitar 6 m itu masih sangat kokoh. Menurut Denny, bangunan tersebut awalnya berlantaikan tanah.

Tapi oleh orang tuanya, lantai tersebut disemen. “Mungkin supaya lebih layak sebagai tempat tinggal. Tempat ini adalah peninggalan orang tua kami yang juga didapat dari orang tuanya (nenek). Jadi, sudah turun temurun di sini,” bebernya. Dia mengatakan, berdasarkan cerita orang tuanya benteng pertahanan tersebut juga memiliki terowongan yang menuju ke bangunan yang kini sudah menjadi areal Yayasan Panca Budi atau Universitas Panca Budi.

Denny mengatakan, dirinya tidak tahu persis sejarah benteng tersebut. Namun, saat ayahnya masih hidup, sang ayah selalu memberikan pesan kepada anak-anaknya agar tidak melakukan pembongkaran lantai yang sudah disemen. “Ketika ditanya alasan kenapa tidak boleh dibongkar, ayah kami tidak pernah memberikan alasan. Saya yakin ada sejarahnya, tapi karena permintaan orang tua, tentu tidak perlu kami pertanyakan lagi.

Alhamdulillah , sampai sekarang kami masih enak tinggal di sini. Di dalam sini dingin di siang hari, tapi kalau malam agak panas karena ventilasinya memang minim,” tukasnya. Sebagai gambaran, bangunan tersebut memiliki atap datar di sisi utara dan selatan serta berbentuk elips di tengahnya. Bangunan itu memiliki dua pintu.

Di depan kedua pintu itu terdapat tembok batu setinggi 3 m dan panjang 2 m berbentuk trapesium. Tapi sekarang, tembok batu tersebut hanya terdapat depan pintu di bagian timur. “Sementara tembok di satu lagi sudah dihancurkan karena waktu itu akan difungsikan warga sebagai jalan lorong. Sekitar beberapa tahun lalu,” ucapnya. Dia pun mengisahkan, ada hal yang tidak biasa saat pembongkaran tembok itu dilakukan.

Di mana pembongkaran tembok itu membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni hampir satu bulan. Hal ini bisa dikatakan disebabkan konstruksi bangunan yang kuat. “Karena baru diketok sekitar 20 cm sangat mudah. Tapi, pembongkaran selanjutnya sangat sulit karena di dalamnya itu keras. Apalagi yang mengerjakan pembongkaran itu kemudian langsung sakit. Makanya agak lama,” tandas Denny.

Sejarawan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Damanik memperkirakan bangunan benteng itu dibangun sekitar 1990-an, yakni pada masa penjajahan Belanda. Sebab, baru semen dikenal di Sumatera Utara pada 1862. Sedangkan Belanda masuk ke kawasan Medan, khususnya di Helvetia untuk pengembangan perkebunan sekitar 1871.

“Saya menduga benteng itu dibangun masih zaman Belanda. Kemudian bisa jadi juga tempat tersebut masih dipergunakan Jepang untuk latihan,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN, baru-baru ini. Keberadaan benteng itu diperkirakan untuk melindungi suatu kawasan atau markas yang dipergunakan tentara atau polisi pada saat itu.

Sejauh ini, dia belum pernah mendapatkan informasi bahwa benteng tersebut tersambung dengan terowongan yang tembus ke bangunan yang kini menjadi Universitas Panca Budi. Kalau memang ada informasi seperti itu, saya pikir hal tersebut layak untuk ditelusuri. Karena ini adalah bagian dari sejarah besar perkembangan Kota Medan.

Erond menambahkan, di kawasan Helvetia pertama kali dibangun sekolah kedinasan tentara atau pendidikan kemiliteran Gyugun (tentara suka rela) sekitar 1942-1943. Lokasi sekolah tersebut saat ini berada di sekitar Komplek Zeni Tempur (Zipur) Kodam I Bukit Barisan (BB). “Salah satu lulusan dari sekolah dinas tentara di sana adalah Letnan Jenderal (TNI) Djamin Ginting,” pungkasnya.

Peneliti Balai Arkeologi Medan, Jufrida, dalam hasil penelitian yang dipublikasikan di laman www.balarmedan.wordpress.com , menuliskan, bahwa pada bangunan benteng tersebut dahulu juga dilengkapi dengan terowongan yang menuju ke luar bangunan. Kemudian, mengingat bentuk bangunan serta komponen bangunan yang melengkapinya diperkirakan dahulu bangunan tersebut difungsikan sebagai markas pasukan.

Komponen bangunan lain, seperti lubang-lubang pengintaian dan pintu di bagian timur posisinya menghadap ke arah Sungai Sei Sikambing. Kemudian posisi bangunannya tidak jauh dari Sungai Sei Sikambing memungkinkan dahulu difungsikan untuk memantau lalu lintas yang berlangsung di sungai tersebut. “Pemanfaatan sungai sebagai jalur lalu lintas juga dimungkinkan mengingat kondisi sungai tersebut cukup lebar sekitar 15 meter dan dapat dilalui oleh perahu,” tulisnya.

Irwan siregar/fakhrur rozi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5333 seconds (0.1#10.140)