Belajar dan Bermain Peta Tanpa Beban

Sabtu, 28 Maret 2015 - 11:42 WIB
Belajar dan Bermain...
Belajar dan Bermain Peta Tanpa Beban
A A A
PALEMBANG - Berada di lingkungan masyarakat perkebunan yang didominasi petani karet, membuat aktivitas Sekolah Dasar (SD) Negeri 130 di Desa Lugur, Kecamatan Lubay Ulu, Kabupaten Muaraenim dimulai pada pukul 08.00 WIB.

Kondisi itu, lebih siang dari sekolah pada umumnya. Namun, di sekolah yang baru dua tahun menjadi sekolah induk itu, aktivitasnya juga mengemas berbagai kegiatan alam dari kebun karet. Pagi itu, sekolah yang sudah dua tahun terakhir kedatangan guru dari Program Indonesia Mengajarmemilikikegiatan membacapeta. Pelajaranini, diperuntukkanbagi kelas 3 dan 4.

Namun, karena terdapat guru yang tidak hadir, pembelajaran peta diikuti oleh siswa dari empat tingkat kelas yang berbeda, mulai dari kelas 1, kelas 2, 3 dan 4. Meski cukup padat, anak-anak masih juga antusias belajar. Sebelum belajar, guru Indonesia Mengajar, Casim Al Adzin mempersilakan anakanak untuk bergantian melihat peta. Memang, karena berbeda tingkatan kelas, maka ada siswa yang cepat mengeja tulisan di peta, tapi ada juga yang hanya memerhatikan bentuk peta, atau hanya memegang petanya.

Peta yang dipelajari kali ini, peta Negara Indonesia. Pertama, Pak Casim, panggilan akrab sang guru memberikan kesempatan bagi seluruh anakanak untuk bergantian memerhatikan peta yang sudah ditempel di papan tulis. Ekspresi mereka beragam. Mulai hanya begong, diam, berusaha mengeja, hingga membaca beberapa kata di peta dengan benar. “Saya anggap ini metode interaktif. Anak-anak harus mengawali belajar dengan cara mengenal. Responsnya bedabeda, tergantung kemampuan sang anak,” ujarnya.

Lalu, Casim pun menjelaskan beberapa pengetahuan tentang pulau di Indonesia, misalnya jumlah pulau, mana pulau-pulau besar, kota-kota besar, bernyanyi tentang pulau di Indonesia, hingga mengenalkan arah mata angin. Memasuki tahap ini, ia pun tidak memaksa siswanya langsung memahami dan mengetahui setumpuk ilmu pengetahuan tadi. Barulah, metode belajar inti dimulai yakni dengan bermain,”Aku Dimana”.

Sejumlah anak meski berbeda tingkatan dibagi dalam beberapa kelompok, mereka diberikan sejumlah nama-nama kota yang sudah diterangkan sebelumnya. Sebelum anak-anak mencari di peta itu, setiap anak diberi “klu” atau ciri-ciri dari lokasi yang dicari. Misalnya, mencari Kota Jakarta, dengan memberikan informasi jika kota itu berada di Pulau Jawa. “Karena dikemas dengan permainan inilah, anak-anak tahu jika Jakarta, Solo, Surabaya dan lainnya ada di Pulau Jawa.

Mereka pun ditantang mencari di mana lokasi sekolah mereka di peta,” terang pak Casim. Meski metode ini rasa cukup santai, belajar mengenai peta belum usai, anak-anak kembali diacak dan kembali berlogika tentang peta. Mereka masing-masing diberi satu kertas khusus untuk ditulis kota mana yang mereka ingin kunjungi beserta alasannya. Di sesi ini, memang tidak seluruh siswa akhirnya langsung merespons.

Mereka yang berada di kelas lebih tinggi, memang lebih cepat menulis dibandingkan adikadik kelasnya. Candra misalnya, anak kelas IV ini dengan cepat memilih Kota Palembang sebagai tujuan kota yang ia ingin kunjungi. Alasannya cukup sederhana, ia hanya ingin membeli baju baru di sebuah pasar besar di Kota Palembang. Karena, kata Casim, sekolah dan Desa Lugur memang berada jauh dari perkotaan, apalagi dari Kota Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumsel.

Untuk menuju sekolah itu pun, harus menembus jalan poros dari jalan utama Pramu Menang sepanjang lebih kurang 9 Km, itu pun banyak jalan yang rusak parah. Karena lokasi yang jauh inilah, sebagian besar masyarakatnya memenuhi kebutuhandenganberangkatke kota, ataupasarkalanganyang hadirsetiapduapekansekali. “Bagi Candra, anak usia 10 tahun yang sudah pernah ke Palembang, ia mendeskriptifkan Kota Palembang merupakan kota yang serba ada, bisa beli mainan, bisa beli pakaian dan ada banyak gedung besar. Tidak seperti di desanya,” kata pak Casim yang menjelaskan alasan sang muridnya, yang memilih Kota Palembang untuk dituliskan di kertas tersebut.

Sebagian anak lain, kata Casim, berbeda alasan. Mereka cenderung ingin ke Pulau Jawa karena sudah mendengarkan cerita para orang tuanya di rumah. Memang, sebagian besar masyarakat di kawasan ini merupakan warga datangan dari Pulau Jawa. Mereka ada yang datang dari perkembangan program transmigrasi, atau hanya ikut merantau bersama saudara dan keluarga lainnya.

“Ada siswa saya, ingin ke Solo, Jawa karena neneknya masih di Solo,” kata Pak Casim yang pernah juga mendalami ilmu keguruan karena pernah menjadi dosen di Jakarta. Dikatakan Pak Casim, metode belajar seperti ini yang memang lebih melekat pada anak-anak, apalagi usia kelas 1 hingga 4 tahun. Para siswa yang terbiasa tinggal di kawasan perkebunan juga sering digelar perkemahan hingga ditutup “ritual” berenang di aliran Sungai Komering.

“Belajar bukan membuat siswa terbebani. Karena belajar sebenarnya bisa dilaksanakan di mana saja. Saat kemah, kemarin pun, kami mengenalkan metode budidaya sayuran dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam bagi anak kelas tinggi, dan hanya belajar mengajar bagi siswa yang masih kelas I dan II,” ujarnya.

Sementara, salah satu guru sekolah lainnya, Dedi mengatakan, kehadiran para guru dalam Indonesia Mengajar sudah membawa banyak perubahan di sekolah. Mampu, mengubah metode mengajar guru yang selama ini lebih monoton di kelas, termasuk membiasakan anakanak untuk bersemangat ke sekolah.

Kondisi rentang lokasi sekolah yang cukup jauh, membuat anak-anak harus menempuh waktu yang lama menuju sekolahnya. “Itu kenapa sekolah punya kebijakan memulai aktivitas belajar di pukul 08.00 WIB. Karena, anak-anak sebelum berangkat sekolah, juga ada yang masih harus membantu orang tua yang sudah sedari subuh berada di kebun untuk mengumpulkan getah karet. Meski demikian, anak-anak tetap semangat sekolah,” terang guru kelahiran Desa Lugur itu.

Tasmalinda
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4326 seconds (0.1#10.140)