Denny Dikawal 40 Pengacara

Kamis, 26 Maret 2015 - 12:16 WIB
Denny Dikawal 40 Pengacara
Denny Dikawal 40 Pengacara
A A A
SLEMAN - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana siap memenuhi panggilan Bareskrim Polri pada besok, Jumat (27/3).

Denny mengaku didukung 40 pengacara yang akan mendampinginya dalam menghadapi proses hukum sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek payment gateway di kementerian yang pernah dipimpinnya tersebut. Puluhan pengacara itu di antaranya kuasa hukum dari Bambang Widjojanto, kuasa hukum yang pernah menangani kasus Candra Hamzah-Bibit Samad Rianto, teman-teman Denny dari LSM hingga dari Pusat Kajian dan Bantuan Hukum UGM.

“Saya sudah melakukan pertemuan dan koordinasi dengan kuasa hukum untuk masalah ini,” kata Denny di Sleman, kemarin. Denny juga mengaku mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Karena keluarganya sudah mengetahui apa konsekuensi dirinya dalam melakukan perjuangan terhadap pemberantasan korupsi untuk menjadikan Indonesia bersih. Termasuk apa yang dilakukan di Kemenkumham adalah upaya perbaikan pelayanan publik, mengurangi calo, dan menghilangkan pungli, khususnya dalam pembuatan paspor.

“Karena itu saya meminta kepada masyarakat untuk mau menyampaikan pengalaman mereka dalam pembuatan paspor setelah sistem tersebut berjalan. Khususnya membandingkan antara pembuatan dengan sistem manual dan payment gateway,” papar guru besar Fakultas Hukum UGM ini. Lebih jauh, Denny mengatakan Menkumham Yasonna H Laoly pernah menganggap payment gateway sebagai pelayanan pembayaran yang patut dilanjutkan karena dianggap contoh program pembayaran yang baik.

Menurutnya, Menkumham Yassona saat awal menjabat pernah meninjau langsung kondisi pengoperasian mesin payment gateway di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. “Beliau melihat mesinnya, kemudian beliau menanyakan kenapa ini berhenti? Kenapa tidak diteruskan,” ungkap Denny. Selain itu, Denny mengklaim manfaat alat pembayaran paspor secara online yang digagasnya itu juga telah mendapat pengakuan dari masyarakat yang pernah mengurus paspor.

“Banyak yang bilang calonnya berkurang, punglinya juga berkurang. Ya alhamdulillah karena itulah niat kami untuk memperbaiki pelayanan publik khususnya untuk pembuatan paspor,” jelasnya. Seperti diketahui, Bareskrim telah menetapkan Denny sebagai tersangka kasus payment gateway tahun 2014 pada Selasa (24/3). Polisi juga telah melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Denny pada Jumat, (27/3).

Mantan Staf Khusus Bidang Hukum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu tersebut dikenai Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 199 jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp32 miliar dari pengadaan proyek tersebut.

Penyelidikan Polri bermula dari laporan BPK pada Desember 2014. Kemudian pada 10 Februari 2015, Bareskrim Polri menerima laporan Andi Syamsul Bahri atas dugaan keterlibatan Denny dalam kasus korupsi ketika masih menjabat sebagai wamenkumham. Polri juga sudah memeriksa belasan saksi dalam penyidikan, termasuk di antaranya mantan Menkumham Amir Syamsuddin. Polri juga menemukan adanya dugaan pungutan tidak sah sebesar Rp605 juta dari sistem itu.

Menjadi Aktor Utama
Sementara Polri menyebut Denny merupakan aktor utama dalam kasus payment gateway. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Charliyan mengungkapkan, peran Denny dalam proyek payment gateway sangat sentral. Denny yang menyuruh jajarannya melaksanakan proyek tersebut sekaligus memfasilitasi para pemenang tender (vendor) sehingga proyek tersebut terlaksana.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari pelapor, dari awal rencana proyek pembuatan payment gateway yang digagas Denny memang sudah menuai kontroversi, terutama di kalangan internal Kemenkumham. Sebagian staf di jajaran instansi tersebut tak sepakat dengan gagasan Denny. Penolakan sejumlah staf itu bukan tanpa alasan.

Sebab sebelum ada program payment gateway digagas, sudah ada sistem pembayaran paspor elektronik yang hampir serupa, yaitu sistem informasi PNBP online (simponi). Simponi bahkan dianggap prosesnya lebih mudah dan tanpa dipungut biaya. Menurut dia, payment gateway diduga menyalahi aturan karena biaya pembuatan paspor masuk ke rekening vendor terlebih dahulu sebelum disetorkan ke bendahara negara. Proses pembayaran lewat vendor itulah yang dinilai berpotensi korupsi.

Seharusnya, menurut Anton, pembayaran pembuatan paspor itu langsung masuk ke bendahara negara tanpa lewat perantara. Dalam proyek tersebut, Denny diduga menguntungkan dua vendor, yaitu PT Nusa Inti Arta (Doku) dan PT Vnet Telekomunikasi Indonesia (Vnet). “Pengusutan proyek payment gateway muncul dari riak-riak kekecewaan mereka, bukan keinginan Polri. Kalau ada laporan masak kami tolak?”. Adapun kuasa hukum Denny Indrayana, Heru Widodo membantah Denny sebagai aktor utama dalam sistem payment gateway.

Menurutnya, posisi Denny hanya sebagai pengarah, bukan pemimpin proyek. “Ada tim pelaksananya, ada ketua timnya sendiri, Denny dalam level memberikan ide bagaimana membuat sistem pelayanan yang lebih baik, kemudian melakukan studi banding di berbagai tempat yang telah menggunakan sistem tersebut,” katanya. Heru tetap bersikukuh tidak ada kerugian negara dalam sistem payment gateway.

Uang Rp32,4 miliar yang diklaim Bareskrim sebagai kerugian negara menurutnya salah kaprah karena uang tersebut tetap masuk ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Lagipula, uang tersebut tidak mengendap di rekening vendor sebagaimana diberitakan, tetapi langsung disetorkan ke kas negara. Masalah mekanisme alur pembayaran yang melalui perantara vendor sebelum masuk kas negara, menurut Heru, itu hanya persoalan teknis.

“Itu hanya masalah inovasi sistem yang belum terkover oleh negara. Yang jelas tidak ada kerugian negara dan tidak ada yang diuntungkan. Simponi itu masih manual, payment gateway elektronik. Sistem itu juga sesuai dengan saran PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengurangi transaksi manual,” ujarnya. Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) FEB UGM Rimawan Pradiptyo mempertanyakan unsur pidana dalam kasus pengoperasian payment gateway yang menjerat Denny Indrayana.

“Apalagi itu telah terbukti lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemudahan,” katanya. Menurut dia, retribusi sebesar Rp5.000 yang saat ini dipersoalkan secara hukum, sesungguhnya merupakan konsekuensi logis yang wajar jika ditanggung masyarakat sebagai pengguna jasa alat pembayaran itu. Sebab layanan itu menggunakan jasa bank. “Di luar negeri suatu hal yang sama juga terjadi saat membayar pajak secara online. Karena kan harus ada investasi, kalau tidak ada lalu siapa yang bayar,” bebernya.

Priyo setiawan/ khoirul muzakki/ mula akmal/ okezone/sindonews/ant
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.8932 seconds (0.1#10.140)