Terdakwa Sengketa Gasibu Divonis 2 Tahun Penjara
A
A
A
BANDUNG - Terdakwa kasus pemalsuan bukti sengketa Gasibu, Ridha Faridha Rukmiati Siti Jubaedah, divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang diketuai Djoko Indiarto.
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut lima tahun penjara. Dalam sidang yang digelar Senin (23/3/2015), terdakwa terbukti turut serta menggunakan surat palsu atau dipalsukan.
"Mengadili, terdakwa dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara," tandas Djoko saat membacakan amar putusannya. Hal yang memberatkan terdakwa tidak menyesali perbuatannya.
Menurut Djoko, terdakwa terbukti melakukan penggunaan surat palsu dan melanggar pasal subsidair 263 ayat 2. Atas putusan tersebut terdakwa dan jaksa melakukan banding.
"Karena kedua belah pihak menyatakan banding, putusan ini berkekuatan hukum tetap," ujar Djoko
Seperti diketahui sebelumnya, kasus ini mencuat berawal dari gugatan yang dilayangkan pihak tertentu pada tahun 2006.
Padahal lahan di kawasan Gasibu Bandung dikuasai dan dimiliki oleh beberapa pihak diantaranya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, PT Bank Mandiri, PT Taspen, TNI Angkatan Laut dan sejumlah perorangan.
Hamparan tanah tersebut dahulunya berasal dari tanah negara yang berasal dari tanah hak barat. Pihak tertentu, dalam hal ini Eti Erawati cs yang mengklaim sebagai ahli waris Patinggi yang menurut mereka telah meninggal dunia pada tahun 1939, menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Dalam perjalanannya PTUN mengabulkan gugatan tersebut. Namun demikian tidak halnya dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha (PT TUN) Jakarta yang menganulir putusan sebelumnya.
Pada tingkat kasasi pun Mahkamah Agung RI menguatkan apa yang telah diputus oleh PTUN. Terhadap putusan kasasi Eti Erawati cs, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) dengan menunjuk kuasa hukum Ridha Faridha Rukmiati Siti Jubaedah. Karena bukan advokat, Ridha kemudian menunjuk advokat Edi Rohaedi, dengan seolah-olah bertindak sebagai prinsipal.
Pada saat mengajukan memori PK, Ridha melampirkan 5 lembar novum. Antara lain 2 buah surat ukur tanah untuk tanah hak barat, Putusan PN Bandung No11/1948 tanggal 16 September 1948, Penetapan Ketua PN Bandung No11/1948 jo 234/1954 jo 437/1954 tertanggal 25 Juli 1971 dan keterangan panitera Pengadilan Negeri Bandung No.16/1967.
Saat itu majelis hakim PK mengabulkan PK dari Ridha cs. Namun setelah mengetahui hasil putusan PK, pihak Pemprov Jabar tidak tinggal diam.
Apalagi setelah mencermati salinan putusan PK dan salinan bukti novum yang menjadi lampirannya, ternyata ditemukan banyak sekali kejanggalan dari mulai penulisan, ejaan, dan tidak sesuai dengan kelaziman.
Dalam perkembangannya pun Ketua PN Bandung Nurhakim, dengan tegas menyatakan bahwa ketiga novum dimaksud memang benar tidak ada di dalam arsip PN Bandung.
Hal lain yang sangat menarik adalah penyataan Prof Dr RM Soedikno Merto Kusumo yang pernah menjadi Ketua PN Bandung pada tahun 1971. Dia menyatakan tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani penetapan dimaksud.
Kemudian yang semakin menguatkan fakta yang terjadi adalah pendapat hukum dari Prof Dr Koerniatmanti Soetoprawiro yang menyatakan bahwa putusan 1948 harusnya berbahasa Belanda.
Sementara itu putusan 1948 tersebut mempergunakaan ejaan van ophuijsen, contohnya dalam penulisan huruf "OE" seharusnya ditulis "U".
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut lima tahun penjara. Dalam sidang yang digelar Senin (23/3/2015), terdakwa terbukti turut serta menggunakan surat palsu atau dipalsukan.
"Mengadili, terdakwa dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara," tandas Djoko saat membacakan amar putusannya. Hal yang memberatkan terdakwa tidak menyesali perbuatannya.
Menurut Djoko, terdakwa terbukti melakukan penggunaan surat palsu dan melanggar pasal subsidair 263 ayat 2. Atas putusan tersebut terdakwa dan jaksa melakukan banding.
"Karena kedua belah pihak menyatakan banding, putusan ini berkekuatan hukum tetap," ujar Djoko
Seperti diketahui sebelumnya, kasus ini mencuat berawal dari gugatan yang dilayangkan pihak tertentu pada tahun 2006.
Padahal lahan di kawasan Gasibu Bandung dikuasai dan dimiliki oleh beberapa pihak diantaranya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, PT Bank Mandiri, PT Taspen, TNI Angkatan Laut dan sejumlah perorangan.
Hamparan tanah tersebut dahulunya berasal dari tanah negara yang berasal dari tanah hak barat. Pihak tertentu, dalam hal ini Eti Erawati cs yang mengklaim sebagai ahli waris Patinggi yang menurut mereka telah meninggal dunia pada tahun 1939, menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Dalam perjalanannya PTUN mengabulkan gugatan tersebut. Namun demikian tidak halnya dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha (PT TUN) Jakarta yang menganulir putusan sebelumnya.
Pada tingkat kasasi pun Mahkamah Agung RI menguatkan apa yang telah diputus oleh PTUN. Terhadap putusan kasasi Eti Erawati cs, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) dengan menunjuk kuasa hukum Ridha Faridha Rukmiati Siti Jubaedah. Karena bukan advokat, Ridha kemudian menunjuk advokat Edi Rohaedi, dengan seolah-olah bertindak sebagai prinsipal.
Pada saat mengajukan memori PK, Ridha melampirkan 5 lembar novum. Antara lain 2 buah surat ukur tanah untuk tanah hak barat, Putusan PN Bandung No11/1948 tanggal 16 September 1948, Penetapan Ketua PN Bandung No11/1948 jo 234/1954 jo 437/1954 tertanggal 25 Juli 1971 dan keterangan panitera Pengadilan Negeri Bandung No.16/1967.
Saat itu majelis hakim PK mengabulkan PK dari Ridha cs. Namun setelah mengetahui hasil putusan PK, pihak Pemprov Jabar tidak tinggal diam.
Apalagi setelah mencermati salinan putusan PK dan salinan bukti novum yang menjadi lampirannya, ternyata ditemukan banyak sekali kejanggalan dari mulai penulisan, ejaan, dan tidak sesuai dengan kelaziman.
Dalam perkembangannya pun Ketua PN Bandung Nurhakim, dengan tegas menyatakan bahwa ketiga novum dimaksud memang benar tidak ada di dalam arsip PN Bandung.
Hal lain yang sangat menarik adalah penyataan Prof Dr RM Soedikno Merto Kusumo yang pernah menjadi Ketua PN Bandung pada tahun 1971. Dia menyatakan tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani penetapan dimaksud.
Kemudian yang semakin menguatkan fakta yang terjadi adalah pendapat hukum dari Prof Dr Koerniatmanti Soetoprawiro yang menyatakan bahwa putusan 1948 harusnya berbahasa Belanda.
Sementara itu putusan 1948 tersebut mempergunakaan ejaan van ophuijsen, contohnya dalam penulisan huruf "OE" seharusnya ditulis "U".
(sms)