LPPOM MUI Desak Kasus Pemalsuan Daging Diusut dan Ditindak Tegas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, sering terjadi kasus peredaran daging celeng atau daging babi secara ilegal, baik dalam bentuk oplosan maupun pemalsuan.
Daging celeng oplosan adalah daging celeng yang dicampur dengan daging sapi dan diklaim sebagai daging sapi. Adapun daging palsu adalah daging celeng atau daging babi yang dijual seolah olah sebagai daging sapi.
Kasus terbaru pemalsuan daging terjadi di wilayah Bandung, Jawa Barat. Polisi dari Polresta Bandung, Jawa Barat, berhasil mengamankan empat orang pelaku perdagangan daging babi yang diklaim sebagai daging sapi. Selama hampir setahun terakhir, para pedagang curang tersebut mengedarkan sekitar 63 ton daging palsu tersebut. (Baca juga: 7 Bulan Beroperasi, Daging Babi Sudah Beredar di Tiga Kecamatan )
Menanggapi terus berulangnya peredaran daging palsu atau daging oplosan, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyampaikan keprihatinan atas beredarnya daging babi yang dikesankan sebagai daging sapi.
"Ini praktik bisnis yang tidak hanya curang dan jahat, namun juga meresahkan masyarakat karena daging palsu tersebut beredar di kalangan konsumen muslim yang mengharamkan daging babi," kata Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (12/5/2020) malam.
Lukmanul Hakim mengatakan, kejadian peredaran daging babi yang dikemas seolah-olah daging sapi tidak bisa dilihat secara parsial, karena selalu berulang.
Menurut dia, masalah utama ini karena tingginya permintaan dan suplai serta lemahnya penegakan hukum.
“Kami minta peternak atau pengusaha untuk menghormati konsumen muslim yang menolak mengkonsumsi itu. Jangan menipu kami umat Islam karena penegakan hukum saja tidak selesai. Konsumen sudah tertipu dan mengonsumsi barang haram," kata dia.
Dia mengatakan, mengingat pemalsuan daging haram menjadi seolah-olah daging halal merupakan ranah tindak pidana, maka pemerintah, utamanya jajaran kepolisian harus mengusut tuntas kasus tersebut dan menindak tegas serta menghukum para pelaku.
Menurut Lukmanul Hakim, peredaran daging nonhalal sejatinya sudah diatur sedemikian rupa, dan jalur distribusinya juga berbeda dengan jalur distribusi daging halal. "Kalau ada daging babi beredar di pasar-pasar tanpa memenuhi aturan, itu jelas ilegal," kata Lukmanul Hakim, sambil mengingatkan agar tata niaga daging babi lebih ditingkatkan pengawasannya, mengingat kasus semacam ini sering terjadi, terutama menjelang Idul Fitri.
Di sisi lain, LPPOM MUI mengingatkan agar masyarakat konsumen tidak mudah tergiur dengan penawaran daging dengan harga murah yang tidak terjamin kehalalannya. Masyarakat disarankan membeli daging dari pedagang yang telah bekerja sama dengan rumah potong hewan yang telah memiliki sertifikat halal MUI.
Menurut Lukmanul Hakim, yang juga Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Perekonomian, setelah diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) kasus peredaran daging ilegal mestinya tidak perlu terjadi lagi. Sebab, pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas tentang produk halal.
"Tinggal implementasinya yang harus lebih dikuatkan. Untuk itu perlu koordinasi dan kerjasama antarinstansi pemerintah serta penegak hukum dalam pengawasan pelaksanaan jaminan produk halal di Indonesia," pungkas Lukmanul Hakim.
Daging celeng oplosan adalah daging celeng yang dicampur dengan daging sapi dan diklaim sebagai daging sapi. Adapun daging palsu adalah daging celeng atau daging babi yang dijual seolah olah sebagai daging sapi.
Kasus terbaru pemalsuan daging terjadi di wilayah Bandung, Jawa Barat. Polisi dari Polresta Bandung, Jawa Barat, berhasil mengamankan empat orang pelaku perdagangan daging babi yang diklaim sebagai daging sapi. Selama hampir setahun terakhir, para pedagang curang tersebut mengedarkan sekitar 63 ton daging palsu tersebut. (Baca juga: 7 Bulan Beroperasi, Daging Babi Sudah Beredar di Tiga Kecamatan )
Menanggapi terus berulangnya peredaran daging palsu atau daging oplosan, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menyampaikan keprihatinan atas beredarnya daging babi yang dikesankan sebagai daging sapi.
"Ini praktik bisnis yang tidak hanya curang dan jahat, namun juga meresahkan masyarakat karena daging palsu tersebut beredar di kalangan konsumen muslim yang mengharamkan daging babi," kata Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (12/5/2020) malam.
Lukmanul Hakim mengatakan, kejadian peredaran daging babi yang dikemas seolah-olah daging sapi tidak bisa dilihat secara parsial, karena selalu berulang.
Menurut dia, masalah utama ini karena tingginya permintaan dan suplai serta lemahnya penegakan hukum.
“Kami minta peternak atau pengusaha untuk menghormati konsumen muslim yang menolak mengkonsumsi itu. Jangan menipu kami umat Islam karena penegakan hukum saja tidak selesai. Konsumen sudah tertipu dan mengonsumsi barang haram," kata dia.
Dia mengatakan, mengingat pemalsuan daging haram menjadi seolah-olah daging halal merupakan ranah tindak pidana, maka pemerintah, utamanya jajaran kepolisian harus mengusut tuntas kasus tersebut dan menindak tegas serta menghukum para pelaku.
Menurut Lukmanul Hakim, peredaran daging nonhalal sejatinya sudah diatur sedemikian rupa, dan jalur distribusinya juga berbeda dengan jalur distribusi daging halal. "Kalau ada daging babi beredar di pasar-pasar tanpa memenuhi aturan, itu jelas ilegal," kata Lukmanul Hakim, sambil mengingatkan agar tata niaga daging babi lebih ditingkatkan pengawasannya, mengingat kasus semacam ini sering terjadi, terutama menjelang Idul Fitri.
Di sisi lain, LPPOM MUI mengingatkan agar masyarakat konsumen tidak mudah tergiur dengan penawaran daging dengan harga murah yang tidak terjamin kehalalannya. Masyarakat disarankan membeli daging dari pedagang yang telah bekerja sama dengan rumah potong hewan yang telah memiliki sertifikat halal MUI.
Menurut Lukmanul Hakim, yang juga Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Perekonomian, setelah diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) kasus peredaran daging ilegal mestinya tidak perlu terjadi lagi. Sebab, pemerintah telah memiliki payung hukum yang jelas tentang produk halal.
"Tinggal implementasinya yang harus lebih dikuatkan. Untuk itu perlu koordinasi dan kerjasama antarinstansi pemerintah serta penegak hukum dalam pengawasan pelaksanaan jaminan produk halal di Indonesia," pungkas Lukmanul Hakim.
(nth)