Mendapatkan Perlakuan Diskriminatif, PRT Turun ke Jalan
A
A
A
SEMARANG - Sebanyak 70% dari 3 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Kota Semarang, Jawa Tengah kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif. Bahkan tak jarang dari mereka yang tidak mendapatkan hak-haknya.
"Mulai pemberian gaji yang tidak layak, pemotongan gaji sepihak, tidak ada hari libur mingguan, cuti tahunan, jaminan kesehatan, kebebasan berserikat, serta tidak adanya perjanjian tertulis. Sehingga mereka (PRT) dapat diberhentikan sewaktu-waktu. Bahkan tidak sedikit pula mereka yang mendapatkan kekerasan baik fisik maupun psikis," tutur Ketua Serikat PRT Merdeka Kota Semarang, Nur Kasanah di lokasi Car Free Day (CFD) Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Minggu (22/3/2015).
Hal itu kerap terjadi, kata dia, karena saat ini belum ada payung hukum yang menaungi PRT di Indonesia. Sehingga jika terjadi hal yang tidak diinginkan yang dialami PRT, mereka tidak memiliki akses untuk melaporkan.
"Banyak kasus kekerasan yang dialami PRT hanya berhenti di kepolisian. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang menaungi nasib kami ini. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 juta tidak tercantum dengan rinci mengenai perlindungan terhadap para PRT," paparnya.
Untuk itu, lanjut Nur, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengesahkan RUU PRT dan Konvensi ILO Nomor 189 Situasi Kerja Layak PRT.
"Kami juga mendesak kepada Gubernur Jateng dan DPRD Jateng ikut mengawal dan mendesak agar DPR RI segera memasukan RUU ini dalam Prolegnas tahun ini, agar dapat segera disahkan," pungkasnya.
Dalam aksi itu, puluhan ibu-ibu PRT menggelar doa bersama. Mereka menabur bunga sebagai bentuk keprihatinannya akan nasib yang dialaminya selama ini.
"Sebelum kegiatan ini kami juga telah melakukan giat berupa aksi mogok makan bersama 14.000 relawan. Tujuannya hanya satu, kami ingin agar nasib kami diperhatikan dan kami diberikan perlindugan hukum," kata Zaenab, salah seorang PRT yang ikut aksi.
"Mulai pemberian gaji yang tidak layak, pemotongan gaji sepihak, tidak ada hari libur mingguan, cuti tahunan, jaminan kesehatan, kebebasan berserikat, serta tidak adanya perjanjian tertulis. Sehingga mereka (PRT) dapat diberhentikan sewaktu-waktu. Bahkan tidak sedikit pula mereka yang mendapatkan kekerasan baik fisik maupun psikis," tutur Ketua Serikat PRT Merdeka Kota Semarang, Nur Kasanah di lokasi Car Free Day (CFD) Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Minggu (22/3/2015).
Hal itu kerap terjadi, kata dia, karena saat ini belum ada payung hukum yang menaungi PRT di Indonesia. Sehingga jika terjadi hal yang tidak diinginkan yang dialami PRT, mereka tidak memiliki akses untuk melaporkan.
"Banyak kasus kekerasan yang dialami PRT hanya berhenti di kepolisian. Sebab, memang tidak ada aturan baku yang menaungi nasib kami ini. Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 juta tidak tercantum dengan rinci mengenai perlindungan terhadap para PRT," paparnya.
Untuk itu, lanjut Nur, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengesahkan RUU PRT dan Konvensi ILO Nomor 189 Situasi Kerja Layak PRT.
"Kami juga mendesak kepada Gubernur Jateng dan DPRD Jateng ikut mengawal dan mendesak agar DPR RI segera memasukan RUU ini dalam Prolegnas tahun ini, agar dapat segera disahkan," pungkasnya.
Dalam aksi itu, puluhan ibu-ibu PRT menggelar doa bersama. Mereka menabur bunga sebagai bentuk keprihatinannya akan nasib yang dialaminya selama ini.
"Sebelum kegiatan ini kami juga telah melakukan giat berupa aksi mogok makan bersama 14.000 relawan. Tujuannya hanya satu, kami ingin agar nasib kami diperhatikan dan kami diberikan perlindugan hukum," kata Zaenab, salah seorang PRT yang ikut aksi.
(mhd)