87,5% Ruang Publik Yogya Dikuasai Iklan

Minggu, 22 Maret 2015 - 09:33 WIB
87,5% Ruang Publik Yogya...
87,5% Ruang Publik Yogya Dikuasai Iklan
A A A
YOGYAKARTA - Iklan luar ruang di Kota Yogyakarta sudah sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, dari ruang publik yang ada di Ibu Kota DIY ini, 87,5% dikuasai iklan luar ruang.

Jadi, hampir sudah tidak ada ruang-ruang publik yang bebas dari iklan luar ruang ini. Tidak hanya menjadikan pemandangan kota menjadi semrawut. Status Jogja Istimewapun layak dipertanyakan. Ketua Badan Periklanan Daerah P3I DIY Fransisca Anita Herawati mengungkapkan, di Kota Yogyakarta dalam kurun Januari–Oktober 2013 saja sudah terpasang 1.329 unit iklan luar ruang.

“Kepadatan iklan di Kota Yogyakarta mencapai 87,5%. Itu yang membuat publik menjadi tidak nyaman,” ungkapnya kemarin. Tak mengherankan jika Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pun terangterangan meminta kepada bupati dan wali kota untuk menertibkan sampah visual ini. Dia prihatin dengan maraknya reklame, khususnya di Kota Yogyakarta, yang sudah ibarat jamur di musim hujan. Sultan menegaskan, reklame mengganggu pemandangan mata.

“Saya imbau seluruh aparatur daerah untuk bersama- sama menertibkan lalu lintas juga ruang beriklan yang dapat mengganggu pandangan mata,” seru Gubernur. Raja Keraton Yogyakarta itu juga meminta kepada pemkab/ pemkot untuk mengetatkan peraturan daerah yang mengatur kegiatan periklanan. Sebab reklame iklan di hampir seluruh wilayah DIY sudah tidak lagi tertata rapi dan membuat kesemrawutan, bahkan banyak yang menyebutnya dengan istilah “sampah visual”.

Selain itu, Sultan juga menegaskan, penertiban papan-papan reklame yang banyak ditanam di kiri dan kanan jalan di seluruh wilayah Yogyakarta adalah langkah yang sangat penting dalam menyikapi Keistimewaan Yogyakarta. “Kawasan strategis di Yogyakarta sebenarnya tidak diperuntukkan untuk beriklan,” katanya.

Menurut Sultan, wajah Yogyakarta yang penuh dengan papan-papan reklame tersebut akan menjadikan penilaian yang kurang baik. “Terlebih karena reklame itulah yang langsung dilihat dan menjadi wajah Yogyakarta,” keluhnya. Pria bernama lahir Herjuno Darpito ini pun akan mengambil langkah dengan membentuk pamong budaya tingkat kampung.

Pembentukan lembaga ini nantinya diperbantukan di tingkat kecamatan. Mereka akan diberi pelatihan serta dapat menindak reklame yang selama ini menjadi tanggung jawab Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tidak hanya Pemda DIY yang meminta kabupaten/kota di wilayahnya untuk menertibkan sampah visual. Keraton Yogyakarta juga demikian.

Tujuannya agar perwajahan Keraton Yogyakarta lebih terlihat dari luar, tidak tertutup oleh sampah visual. Penghageng Keraton Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto meminta agar sumbu garis imajiner Keraton tetap bersih dari reklamereklame liar. “Seharusnya dari Keraton ke selatan sampai Tugu Pal Putih bebas dan bersih dari baliho, reklame, dan spanduk,” desaknya.

Garis imajiner Keraton Yogyakarta yang dimaksud tidak lain adalah sepanjang Jalan Trikora– Jalan Malioboro/Jalan Ahmad Yani–Jalan Mangkubumi. Ketiga ruas jalan tersebut sudah diganti nama masingmasing Jalan Pangurakan– Jalan Margo Mulyo–Jalan Margo Utomo. Sementara itu, dosen desain komunikasi visual pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta Sumbo Tinarbuka menilai, iklan luar di Kota Yogyakarta sudah sangat mengkhawatirkan.

Bahkan, dia menilai periklanan luar di Yogyakarta sudah masuk kategori bencana nasional. Menurut dia, keberadaan iklan luar ruang yang tidak terkendali menjajah ruang publik yang seharusnya bebas reklame. “Menyempitnya ruang publik akibat sampah visual merupakan bencana nasional,” ungkap Sumbo. Dosen pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM, Larenta Adhisakti, berpendapat, iklan luar ruang di DIY, khususnya Kota Yogyakarta, sudah masuk kategori gawat darurat.

Selain pemasangan yang tidak pada tempatnya, juga pertumbuhannya sangat cepat dan liar. “Yogyakarta sudah gawat daruratiklan,” cetusnya. Adhisakti mengungkapkan, banyak pemasangan yang tidak pada tempatnya, seperti di pohon. Jembatan pun tidak luput dari pemasangan reklame. Wajah kota pun sudah tidak terlihat lagi karena tertutup papan iklan ukuran jumbo. “Kawasan budaya harus bebas iklan,” desaknya.

Ridwan anshori
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0803 seconds (0.1#10.140)