Jika di Surabaya Tak Ada Tambal Ban
A
A
A
SURABAYA - Selasa, 24 Februari lalu ada lima urusan yang harus kami selesaikan dalam sehari. Dengan estimasi berangkat dari rumah pukul 09.00 WIB, semua urusan diharap bisa kelar sekitar pukul 16.00 WIB. Sungguh jadwal yang tidak longgar.
Jatmiko datang pukul 09.28 WIB. Kami langsung berangkat dari kawasan Jalan Kenjeran menuju Jalan Jemursari. Ketika itu cuaca Surabaya sangat cerah. Sinar matahari bisa langsung menimpa ubunubun yang terlindungi helm standar SNI. Berat tubuh kami membuat ban sepeda motor agak gembos karena kurang angin. Meski demikian, kami merasa masih cukup kuat untuk dibawa berkeliling.
Perasaan itu ternyata salah. Karena mendekati kampus C Universitas Airlangga (Unair), sepeda motor oleng. Ban langsung kehabisan angin. Kami menepi dan memeriksa ban belakang. Setelah diteliti pelan-pelan, ada lima potongan kawat dan satu paku kecil menancap. Bendabenda tajam itu sudah kami cabut semua.
Tinggal menuntun sepeda motor mencari tukang tambal ban. Kami menuju utara menyusuri Jalan Ir Soekarno (MERR IIC). Dari keterangan beberapa orang, di kampung dekat Galaxy Mall, ada tambal ban. Kami pun menuntun motor hingga ke tempat itu. ”Orangnya sakit,” ujar seorang anak kecil yang ada di warung sebelah tempat tambal ban tersebut.
Sudah ratusan meter kami berjalan, dan kata orang, di depan bekas kantor Partai Demokrat di Jalan Kertajaya Indah Timur ada tukang tambal ban. Keringat sebenarnya sudah gobyos , tapi ban bocor belum terselesaikan. Kami pun kembali menuntut sepeda motor ke lokasi yang ditunjukkan itu. Nafas mulai ngos-ngosan, apalagi matahari sudah semakin terik.
Bayang-bayang ikut mengiringi, meski tampak lebih ringan dan tanpa beban. Keringat terus menetes dan nafas semakin berat akibat kurang berolahraga. Bekas kantor Partai Demokrat terlihat, tapi tak ada penampakan tambal ban di depannya. Tepat di depan kantor itu, yang tersisa hanya gantungan ban bekas dengan tulisan ”tambal ban”. Kami saling pandang karena belum menemukan tukang tambal ban.
”Olahraga kok wis awan,” celetuk Jatmiko sambil tertawa. Kami pun berspekulasi menuju kawasan Klampis Jaya. Olahraga menuntun sepeda bocor pun dilanjutkan. Setelah melewati saki belokan, tampaklah seorang tambal ban di ujung gang Jalan Mletok. Melihatnya, kami seperti melihat oase di padang tandus.
Begitu sampai, rasanya lega setelah berjalan sekitar 1 kilometer. Waktu sudah terus bergerak, kami akan molor menyelesaikan jadwaljadwal tersebut. Tapi mau bagaimana lagi, ban bocor sudah jadi takdir. Kami beristirahat sambil menenggak teh botol dan mengisap sebatang rokok. Dengan cekatan, tukang tambal ban itu membongkar dan mencari titik kebocoran. ”Cuma satu bocornya. Karena kurang angin, sambungan ban dalamnya sobek. Pakunya tadi tidak tembus,” ujar dia.
Beruntung proses penambalan bisa lebih cepat karena hanya bocor satu titik. Usai ban ditambal, kami melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan segala urusan yang tertunda. Tak terbayangkan rasanya jika di kota ini tidak ada tambal ban. Meski hanya tukang tambal ban, keberadaannya sangat membantu para pengendara yang mengalami masalah di jalan.
Seperti yang juga terjadi pada Sabtu (7/3) pagi di depan kantor BKKBN Provinsi Jatim, Jalan Airlangga. Seorang pengendara perempuan tiba-tiba mendadak berhenti. Rodanya macet tak bisa berputar sehingga menimbulkan gesekan dengan aspal. Beruntung perempuan itu bisa mengendalikan kemudi.
Jalanan juga sedang sepi. Satu pengendara di belakangnya masih sempat mengerem sehingga tidak terjadi tabrakan. Rantai sepeda motornya lepas sehingga tercepit dan membuat roda tak bisa berputar. Perempuan itu tak bisa menarik rantainya. Beruntung tidak jauh dari situ ada seorang tambal ban. Cak Nur, namanya, yang langsung mendatangi perempuan itu untuk memberi bantuan.
Tak beberapa lama, rantai sudah kembali pada posisinya. Sedikit dikencangkan agar rantai tidak los lagi. Cak Nur, sudah lama menjadi tukang tambal ban. Selama itu pula dia kerap terkena imbas penertiban dan bisa tetap bertahan dengan cara kucing- kucingan. ”Kalau ada informasi obrakan , ya terkadang tidak buka seharian. Tapi kalau infonya ndadak, ya alat-alatnya disembunyikan,” kata pria yang bisa menyekolahkan anaknya hingga menjadi sarjana ini.
Dia mengaku rela ”bermain petak umpet” saat ada penertiban karena memang pekerjaannya menuntut buka di tepi jalan besar. Tidak mungkin jika membuka usaha tambal ban di dalam kampung. Karto, sopir lyn C, juga menuturkan, banyak orang yang akan kebingungan jika tidak ada tukang tambal di pinggir jalan. ”Memang kita sudah membawa ban serep sebagai pengganti. Tapi ban yang bocor juga harus segera ditambal. Kalau tambal ban ada di rute yang dilalui, kan enak. Kalau tidak ada tambal ban? Waduh, ya soro kalau tiap bocor harus beli ban baru,” kata Karto sambil ngakak.
Penataan Tukang Tambal Ban
”Pernah saya itu membayangkan, tukang tambal ban itu tertata rapi. Ada di jalan-jalan utama. Mereka punya tempat khusus sehingga tidak perlu kena obrakan (penertiban),” ujar Karto, sopir lyn C yang tinggal di kawasan Manyar. Ironis sebenarnya. Karena keberadaan tukang tambal ban kerap dipandang sebelah mata. Bisa jadi para orang kaya tak begitu merasakan pentingnya kehadiran tambal ban. Tapi, sopirnya, merekalah yang selalu sibuk mengurus ban mobil majikan yang bocor.
Bisa jadi majikan akan setuju dengan penertiban tambal ban karena dianggap merusak pemandangan kota atau alasan lainnya. Padahal di saat yang sama, sopirnya sibuk menambal ban agar segera bisa menjemput sang majikan. ”Untung dekat tukang tambal ban. Kalau tadi rusaknya di tempat lain, saya pasti kebingungan,” ujar perempuan yang rantai sepeda motornya sempat lepas atau los di depan Kantor BKKBN Jalan Airlangga itu.
Saat ditanya bagaimana jika di Surabaya tidak ada tukang tambal ban, perempuan itu terdiam sejenak. ”Wah, ya susah, Mas,” katanya. Dia segera bergegas karena tetap harus masuk kerja meski hari Sabtu. Memang kita sering merasa menganggap suatu hal itu tidak penting. Kita sering merasa jauh dengan suatu hal yang sebenarnya sangat kita butuhkan. Jadi, teringat kutipan Jean Baudrillard dalam buku kumpulan esainya, Galaksi Simulacra, ”Awas! Objek di cermin lebih dekat dari yang tampak”.
Zaki zubaidi
Jatmiko datang pukul 09.28 WIB. Kami langsung berangkat dari kawasan Jalan Kenjeran menuju Jalan Jemursari. Ketika itu cuaca Surabaya sangat cerah. Sinar matahari bisa langsung menimpa ubunubun yang terlindungi helm standar SNI. Berat tubuh kami membuat ban sepeda motor agak gembos karena kurang angin. Meski demikian, kami merasa masih cukup kuat untuk dibawa berkeliling.
Perasaan itu ternyata salah. Karena mendekati kampus C Universitas Airlangga (Unair), sepeda motor oleng. Ban langsung kehabisan angin. Kami menepi dan memeriksa ban belakang. Setelah diteliti pelan-pelan, ada lima potongan kawat dan satu paku kecil menancap. Bendabenda tajam itu sudah kami cabut semua.
Tinggal menuntun sepeda motor mencari tukang tambal ban. Kami menuju utara menyusuri Jalan Ir Soekarno (MERR IIC). Dari keterangan beberapa orang, di kampung dekat Galaxy Mall, ada tambal ban. Kami pun menuntun motor hingga ke tempat itu. ”Orangnya sakit,” ujar seorang anak kecil yang ada di warung sebelah tempat tambal ban tersebut.
Sudah ratusan meter kami berjalan, dan kata orang, di depan bekas kantor Partai Demokrat di Jalan Kertajaya Indah Timur ada tukang tambal ban. Keringat sebenarnya sudah gobyos , tapi ban bocor belum terselesaikan. Kami pun kembali menuntut sepeda motor ke lokasi yang ditunjukkan itu. Nafas mulai ngos-ngosan, apalagi matahari sudah semakin terik.
Bayang-bayang ikut mengiringi, meski tampak lebih ringan dan tanpa beban. Keringat terus menetes dan nafas semakin berat akibat kurang berolahraga. Bekas kantor Partai Demokrat terlihat, tapi tak ada penampakan tambal ban di depannya. Tepat di depan kantor itu, yang tersisa hanya gantungan ban bekas dengan tulisan ”tambal ban”. Kami saling pandang karena belum menemukan tukang tambal ban.
”Olahraga kok wis awan,” celetuk Jatmiko sambil tertawa. Kami pun berspekulasi menuju kawasan Klampis Jaya. Olahraga menuntun sepeda bocor pun dilanjutkan. Setelah melewati saki belokan, tampaklah seorang tambal ban di ujung gang Jalan Mletok. Melihatnya, kami seperti melihat oase di padang tandus.
Begitu sampai, rasanya lega setelah berjalan sekitar 1 kilometer. Waktu sudah terus bergerak, kami akan molor menyelesaikan jadwaljadwal tersebut. Tapi mau bagaimana lagi, ban bocor sudah jadi takdir. Kami beristirahat sambil menenggak teh botol dan mengisap sebatang rokok. Dengan cekatan, tukang tambal ban itu membongkar dan mencari titik kebocoran. ”Cuma satu bocornya. Karena kurang angin, sambungan ban dalamnya sobek. Pakunya tadi tidak tembus,” ujar dia.
Beruntung proses penambalan bisa lebih cepat karena hanya bocor satu titik. Usai ban ditambal, kami melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan segala urusan yang tertunda. Tak terbayangkan rasanya jika di kota ini tidak ada tambal ban. Meski hanya tukang tambal ban, keberadaannya sangat membantu para pengendara yang mengalami masalah di jalan.
Seperti yang juga terjadi pada Sabtu (7/3) pagi di depan kantor BKKBN Provinsi Jatim, Jalan Airlangga. Seorang pengendara perempuan tiba-tiba mendadak berhenti. Rodanya macet tak bisa berputar sehingga menimbulkan gesekan dengan aspal. Beruntung perempuan itu bisa mengendalikan kemudi.
Jalanan juga sedang sepi. Satu pengendara di belakangnya masih sempat mengerem sehingga tidak terjadi tabrakan. Rantai sepeda motornya lepas sehingga tercepit dan membuat roda tak bisa berputar. Perempuan itu tak bisa menarik rantainya. Beruntung tidak jauh dari situ ada seorang tambal ban. Cak Nur, namanya, yang langsung mendatangi perempuan itu untuk memberi bantuan.
Tak beberapa lama, rantai sudah kembali pada posisinya. Sedikit dikencangkan agar rantai tidak los lagi. Cak Nur, sudah lama menjadi tukang tambal ban. Selama itu pula dia kerap terkena imbas penertiban dan bisa tetap bertahan dengan cara kucing- kucingan. ”Kalau ada informasi obrakan , ya terkadang tidak buka seharian. Tapi kalau infonya ndadak, ya alat-alatnya disembunyikan,” kata pria yang bisa menyekolahkan anaknya hingga menjadi sarjana ini.
Dia mengaku rela ”bermain petak umpet” saat ada penertiban karena memang pekerjaannya menuntut buka di tepi jalan besar. Tidak mungkin jika membuka usaha tambal ban di dalam kampung. Karto, sopir lyn C, juga menuturkan, banyak orang yang akan kebingungan jika tidak ada tukang tambal di pinggir jalan. ”Memang kita sudah membawa ban serep sebagai pengganti. Tapi ban yang bocor juga harus segera ditambal. Kalau tambal ban ada di rute yang dilalui, kan enak. Kalau tidak ada tambal ban? Waduh, ya soro kalau tiap bocor harus beli ban baru,” kata Karto sambil ngakak.
Penataan Tukang Tambal Ban
”Pernah saya itu membayangkan, tukang tambal ban itu tertata rapi. Ada di jalan-jalan utama. Mereka punya tempat khusus sehingga tidak perlu kena obrakan (penertiban),” ujar Karto, sopir lyn C yang tinggal di kawasan Manyar. Ironis sebenarnya. Karena keberadaan tukang tambal ban kerap dipandang sebelah mata. Bisa jadi para orang kaya tak begitu merasakan pentingnya kehadiran tambal ban. Tapi, sopirnya, merekalah yang selalu sibuk mengurus ban mobil majikan yang bocor.
Bisa jadi majikan akan setuju dengan penertiban tambal ban karena dianggap merusak pemandangan kota atau alasan lainnya. Padahal di saat yang sama, sopirnya sibuk menambal ban agar segera bisa menjemput sang majikan. ”Untung dekat tukang tambal ban. Kalau tadi rusaknya di tempat lain, saya pasti kebingungan,” ujar perempuan yang rantai sepeda motornya sempat lepas atau los di depan Kantor BKKBN Jalan Airlangga itu.
Saat ditanya bagaimana jika di Surabaya tidak ada tukang tambal ban, perempuan itu terdiam sejenak. ”Wah, ya susah, Mas,” katanya. Dia segera bergegas karena tetap harus masuk kerja meski hari Sabtu. Memang kita sering merasa menganggap suatu hal itu tidak penting. Kita sering merasa jauh dengan suatu hal yang sebenarnya sangat kita butuhkan. Jadi, teringat kutipan Jean Baudrillard dalam buku kumpulan esainya, Galaksi Simulacra, ”Awas! Objek di cermin lebih dekat dari yang tampak”.
Zaki zubaidi
(bhr)