Sekolah Digiring Ciptakan Suasana Rumah

Kamis, 26 Februari 2015 - 12:08 WIB
Sekolah Digiring Ciptakan Suasana Rumah
Sekolah Digiring Ciptakan Suasana Rumah
A A A
SURABAYA - Kewajiban sekolah tidak sebatas menyampaikan materi pelajaran melalui proses belajar mengajar. Lebih dari itu, lembaga pendidikan kini saatnya digiring dan menciptakan suasana rumah, bahkan aktif membangun komunikasi dengan anak didik.

Rekomendasi ini yang disampaikan sejumlah psikolog kepada para kepala sekolah, guru bimbingan konseling (BK), maupun wali murid SMP negeri dan swasta se Surabaya, Sidoarjo, serta Gresik, yang menghadiri seminar pendidikan parenting bertema “Urgently & How To Do” digelar SMA Muhammadiyah Dua (Smamda) Surabaya di salah satu hotel di Surabaya, kemarin.

Nurul Indah Susanti, psikolog dari Media Hati dan Ananto Prayudianto dari Asosiasi Psikolog Indonesia Surabaya, memaparkan alasan sekolah menjadi rumah bagi pelajar. Dalam waktu 24 jam, 60% di antaranya anak berada di sekolah. “Ibu (kandung) adalah guru anak yang pertama. Anak merupakan peniru ulung. Anak yang tidak baik bukan karena gen, tapi lingkungan yang membentuk karakter.

Sekolah juga harus mampu membentuk karakter anak. Bagaimana menciptakan sekolah layaknya ibu bagi anak? Jadikan sekolah rumah kedua bagi anak didik,” kata Nurul mengawali ulasannya. Nurul yang juga psikolog di sejumlah perusahaan dan Smamda Surabaya ini menyebutkan, saat malam di rumah, anak jarang bertemu orang tua yang datang malam karena karier.

Saat pagi, anak sibuk persiapan ke sekolah dan orang tua bergegas kerja. “Pagi anak bertemu orang tuanya paling lama satu jam. Anak-anak bisa berada di sekolah sampai delapan jam,” kata ibu dua anak ini. Dominasi waktu anak di sekolah ini menjadi tanggung jawab tersendiri bagi guru mata pelajaran, kepala sekolah, guru BK, pegawai, maupun warga lain sekolah.

“Cara mengatur anak di sekolah bagaimana? Dalam delapan jam, efektifnya anak belajar berapa lama dan disertai berapa kali jeda agar murid tidak jenuh,” katanya. Kuncinya bukan jeda atau istirahat di sela belajar mengajar. Namun, kelihaian guru, kepala sekolah, maupun guru BK, mewujudkan suasana ramah berikut aktif membangun komunikasi dengan anak. “Guru tidak bisa berpikiran yang penting sudah beri materi dan itu (murid) bukan anakku,” kata Nurul.

Keterlibatan murid di sekolah tidak luput dari pengawasan guru. Walaupun ada guru BK dan guru pengajar, guru wali kelas harus dilibatkan komunikasi dengan murid. Guru jangan asal puas muridnya kuasai materi yang diajarkan. Harus ada keterikatan antarguru berkomunikasi dengan murid. Ini membawa nilai plus bagi anak. Saat anak tidak menemukan figur di rumahnya, dia bisa mendapatkan di sekolah.

Kepala sekolah, guru BK, dan wali kelas, juga harus aktif membangun komunikasi dengan orang tua. Sebab mereka menjadi jembatan. Ini juga untuk memahami latar belakang masalah yang dihadapi anak. “Biasanya, kelas lima anak mulai terpengaruh lingkungan. Padahal orang tua sabar, memberi kasih sayang. Tapi anak depresi dan ternyata karena diolok, di-bullytemannya di sekolah.

Oleh dokter, depresi diberi obat. Sama psikolog tidak obat, tapi diajak komunikasi dan sudah terbukti. Pemicu lingkungan sangat besar. Guru harus membangun kasih sayang, empati dengan murid,” katanya. Ananto menguatkan bahwa sekolah bisa membantu pembentukan karakter anak. “Sekolah ikut membentuk anak. Organisasi di sekolah cukup membantu membentuk anak. Anak yang aktif berorganisasi membuat orang tua tidak khawatir,” kata Ananto.

Kepala Smada Surabaya Mas’ad Fachir menyebutkan, ini upaya pihaknya mendorong sekolah lain bisa mewujudkan sekolah dengan suasana rumah. “Pesertanya guru BK, kepala sekolah, dan wali murid, dari SMP negeri dan swasta di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik,” katanya.

Soeprayitno
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6000 seconds (0.1#10.140)