Program Andalan ER Terganjal Petani

Selasa, 24 Februari 2015 - 11:12 WIB
Program Andalan ER Terganjal Petani
Program Andalan ER Terganjal Petani
A A A
BATU - Program pertanian organik di Kota Batu masih jalan di tempat. Banyak petani enggan menerapkan pola pertanian organik yang menjadi program andalan Wali Kota Eddy Rumpoko (ER).

Padahal program ini telah dipercepat sejak 2012 silam. Pemkot Batu juga mengucurkan dana miliaran rupiah untuk membeli alat dan mengadakan berbagai kegiatan pendukung agar program ini berhasil. ”Dari hasil evaluasi sementara kami ada beberapa ganjalan untuk mewujudkan program ini.

Mulai dari keraguan petani hingga pola distribusi,” ujar ketua tim percepatan pengembangan pertanian organik, dr Endang Triningsih, kemarin. Dia mengungkapkan, petani sebenarnya mau mengembangkan pertanian organik. Tapi, syaratnya distribusi penjualan hasil pertanian organik harus jelas.

Sistem penjualannya harus ditata dengan rapi. Karena sampai saat ini konsumen belum mengetahui perbedaan antara produk pertanian organik dengan nonorganik. ”Konsumen menganggap tidak ada perbedaannya. Padahal sisi kesehatannya lebih bagus yang organik,” ujar Endang.

Endang ditugaskan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko untuk menganalisa berbagai persoalan terkait pengembangan pertanian organik yang kurang maksimal perkembangannya. ”Tugas kami sinergi dengan Dinas Pertanian. Masalah yang ada di pertanian organik kami carikan solusi bersama-sama,” katanya.

Menurut Endang, untuk mengubah budaya petani yang terlanjur suka menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab distribusi pemasarannya masih banyak kendala. Belum ada showroom secara khusus menjual produk pertanian organik. Petani beranggapan produksi pertanian-nya turun bila langsung beralih menerapkan sistem pertanian organik.

”Jadi semua sektor harus ditata ulang. Mulai dari petani, jalur distribusi pemasaran, hingga petugas penyuluh lapangan (PPL) harus terbiasa menerapkan pola pertanian organik,” ucap dia. Pernyataan Endang dibenarkan Selamet Jinurung, perangkat Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji.

Dia saat ini menanam kentang dengan sistem pertanian organik di atas lahan 200 meter persegi. Pohon kentang yang ditanam sangat subur, tapi nanti saat usia panen pada umur 120 hari umbi kentangnya kecil-kecil sehingga harga di pasaran turun. Pembeli di Pasar Batu tidak bisa membedakan antara kentang organik dengan nonorganik.

Slamet menyatakan belum memiliki sertifikat petani organik. Saat ini dia sudah mengajukan untuk mendapatkan sertifikat itu lewat Gapoktan Anjasmoro 4. ”Sejak tahun 2012 kam sudah menanam kentang organik. Perawatannya agak susah karena hanya menggunakan pupuk organik dan pupuk cair nabati. Kalau ingin menerapkan pertanian organik harus dalam satu kawasan,” katanya.

Senada dikatakan Joko Sutrisno, bagian pemasaran kentang dari UD Subur Makmur, Dusun Lemah Putih, Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji. Menurutnya, kalau menunggu hasil panen kentang organik, pengiriman kentang ke industri pengolahan kentang di Sidoarjo bisa terlambat. Belum lagi dari sisi kualitasnya. Ukuran kentang organik lebih kecil dari ukuran kentang yang ditanam menggunakan pupuk kimia.

”Kami mendukung pengembangan pertanian organik. Tapi hasilnya masih kurang banyak. Karena setiap pekan kami harus mengirimkan 20 ton ke pabrik di Sidoarjo,” ujarnya. Di Desa Sumber Brantas saat ini baru terdapat 10 hektare area pengembangan pertanian organik, yaitu ditanami kentang dan wortel. ”Untuk saat ini harga kentang dari petani Rp6500- 6.800 per kg,” kata Joko.

Maman adi saputro
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7176 seconds (0.1#10.140)