WTS Pilih Praktik Slintutan
A
A
A
PONOROGO - Penghuni Lokalisasi Kedung Banteng, Ponorogo, mengaku belum siap jika tempat mereka menggantungkan hidup ditutup. Para wanita tunasusila (WTS) lebih memilih beroperasi diam-diam alias slintutan .
“Kalau ditanya, ya pasti tidak siap. Kalau anak asuh (sebutan untuk para WTS), paling ya keluar dari kompleks tapi kerja lagi di warung remang. Warung remang jumlahnya lebih banyak daripada rumah-rumah di kompleks ini,” ungkap Ketua Kompleks Lokalisasi Kedung Banteng Nyoto, kemarin.
Menurutnya, dana untuk modal usaha atau bantuan yang akan diberikan kepada para WTS maupun warga terdampak penutupan, belum bisa mengentaskan mereka dari kondisi yang saat ini memaksa mereka untuk melakukan kegiatan prostitusi. Para WTS belum memiliki keterampilan atau keahlian yang memungkinkan untuk keluar dari dunia pelacuran. Para tuan rumah alias mucikari dan WTS merasa pesimistis uang yang diserahkan akan mampu mengubah kehidupan mereka.
Terutama dari sisi keuangan dan perekonomiannya. “Dari sisi besaran uang, pesangon itu terlalu kecil. Ujungujungnya, anak-anak itu ya kembali lagi pada kerjaan yang lama. Bahkan mereka sudah berseloroh, kompleks (pelacuran) tidak hanya Kedung Banteng, begitu katanya,” ujar Nyoto. Namun Nyoto menyatakan, sejauh ini para penghuni tidak akan menolak rencana penutupan ini.
“Tidak akan melawan. Kami manut (menurut) saja kehendak pemerintah. Toh , di luar juga masih bisa kok kalau mau buka usaha seperti ini,” katanya. Para WTS, lanjut Nyoto, juga tidak ada yang menolak rencana penutupan. Mereka sudah sangat kooperatif. Permintaan Pemkab Ponorogo untuk mengumpulkan nomor rekening bank juga sudah dipenuhi.
Menurut informasi yang diterimanya, rekening bank para WTS itulah yang akan diisi uang pesangon senilai Rp3 juta dan uang jatah hidup senilai Rp1,8 juta. Pemerintah akan mentransfer dana-dana tersebut pada waktu yang telah ditentukan nantinya. W, 37, salah satu WTS di lokalisasitersebutmengaku, saat iniia masih belum memiliki sikap terkait rencana penutupan yang sudah hampir pasti terlaksana tersebut. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa bertahan hidup.
“Nggak tahu harus ngapain . Mau buka warung, modal dari pesangon terlalu kecil. Palingpaling larinya ya ke situ-situ juga (pelacuran). Nggak tahu ke kompleks mana, warung yang mana. Anak saya tiga, suami sudah meninggal, siapa yang mau cari duit buat mereka,” ujarnya. Dikatakannya, saat ini kondisi lokalisasi juga semakin lesu.
Jumlah tamu semakin berkurang. Ia menengarai, kabar penutupan lokalisasi di berbagai daerah bisa jadi membuat calon tamu enggan datang ke Lokalisasi Kedung Banteng. Pendapatan para WTS pun turun 50% hingga 60% jika dibandingkan satu tahun lalu.
“Mungkin karena kabarnya mau ditutup, jadi orang emoh (enggan) ke sini. Dikira sudah tutup mungkin. Mungkin juga memang lagi paceklik, cari duit susah, jadi nggak main ke sini. Apalagi memang kalau musim hujan, mau ke sini (Lokalisasi Kedung Banteng) orang agak malas. Jalannya becek,” ujarnya.
Dili eyato
“Kalau ditanya, ya pasti tidak siap. Kalau anak asuh (sebutan untuk para WTS), paling ya keluar dari kompleks tapi kerja lagi di warung remang. Warung remang jumlahnya lebih banyak daripada rumah-rumah di kompleks ini,” ungkap Ketua Kompleks Lokalisasi Kedung Banteng Nyoto, kemarin.
Menurutnya, dana untuk modal usaha atau bantuan yang akan diberikan kepada para WTS maupun warga terdampak penutupan, belum bisa mengentaskan mereka dari kondisi yang saat ini memaksa mereka untuk melakukan kegiatan prostitusi. Para WTS belum memiliki keterampilan atau keahlian yang memungkinkan untuk keluar dari dunia pelacuran. Para tuan rumah alias mucikari dan WTS merasa pesimistis uang yang diserahkan akan mampu mengubah kehidupan mereka.
Terutama dari sisi keuangan dan perekonomiannya. “Dari sisi besaran uang, pesangon itu terlalu kecil. Ujungujungnya, anak-anak itu ya kembali lagi pada kerjaan yang lama. Bahkan mereka sudah berseloroh, kompleks (pelacuran) tidak hanya Kedung Banteng, begitu katanya,” ujar Nyoto. Namun Nyoto menyatakan, sejauh ini para penghuni tidak akan menolak rencana penutupan ini.
“Tidak akan melawan. Kami manut (menurut) saja kehendak pemerintah. Toh , di luar juga masih bisa kok kalau mau buka usaha seperti ini,” katanya. Para WTS, lanjut Nyoto, juga tidak ada yang menolak rencana penutupan. Mereka sudah sangat kooperatif. Permintaan Pemkab Ponorogo untuk mengumpulkan nomor rekening bank juga sudah dipenuhi.
Menurut informasi yang diterimanya, rekening bank para WTS itulah yang akan diisi uang pesangon senilai Rp3 juta dan uang jatah hidup senilai Rp1,8 juta. Pemerintah akan mentransfer dana-dana tersebut pada waktu yang telah ditentukan nantinya. W, 37, salah satu WTS di lokalisasitersebutmengaku, saat iniia masih belum memiliki sikap terkait rencana penutupan yang sudah hampir pasti terlaksana tersebut. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk bisa bertahan hidup.
“Nggak tahu harus ngapain . Mau buka warung, modal dari pesangon terlalu kecil. Palingpaling larinya ya ke situ-situ juga (pelacuran). Nggak tahu ke kompleks mana, warung yang mana. Anak saya tiga, suami sudah meninggal, siapa yang mau cari duit buat mereka,” ujarnya. Dikatakannya, saat ini kondisi lokalisasi juga semakin lesu.
Jumlah tamu semakin berkurang. Ia menengarai, kabar penutupan lokalisasi di berbagai daerah bisa jadi membuat calon tamu enggan datang ke Lokalisasi Kedung Banteng. Pendapatan para WTS pun turun 50% hingga 60% jika dibandingkan satu tahun lalu.
“Mungkin karena kabarnya mau ditutup, jadi orang emoh (enggan) ke sini. Dikira sudah tutup mungkin. Mungkin juga memang lagi paceklik, cari duit susah, jadi nggak main ke sini. Apalagi memang kalau musim hujan, mau ke sini (Lokalisasi Kedung Banteng) orang agak malas. Jalannya becek,” ujarnya.
Dili eyato
(ars)