Tambang Batu Gantikan Sawah

Jum'at, 13 Februari 2015 - 12:05 WIB
Tambang Batu Gantikan...
Tambang Batu Gantikan Sawah
A A A
MALANG - Telinga Marmi masih bisa mendengar dengus keras napasnya saat berlarian bersama ibu dan anaknya, 13 Februari 2014, tepat setahun lalu.

Malam itu, wanita 34 tahun asal Dusun Jombok Krajan, Desa Jombok, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang tersebut bingung dan panik. Suaminya belum pulang dari Pasar Batu menjual hasil panen. Di dalam rumah tanpa ditemani suami di bawah guyuran hujan vulkanik membuatnya ketakutan setengah mati. Marmi memang baru kali ini merasakan langsung dampak letusan gunung teraktif di Pulau Jawa itu.

Ditengah ketakutan, Marmi memutuskan keluar rumah, melintasi jalan dusun sejauh dua kilometer yang sudah dipenuhi kerikil, pasir, dan abu vulkanik setebal setengah meter, menuju Jalan Raya Ngantang-Batu. “Rasanya melihat dunia sudah mau kiamat. Langit gelap, hujan pasir dan debu,” ujar Marmi mengingat peristiwa letusan Gunung Kelud pada Kamis (13/2) sekitar pukul 22.50 WIB.

Kini Marmi bisa kembali tersenyum semringah di rumahnya sendiri. Warung sederhana yang menjajakan jajanan anakanak dan kebutuhan warga sekitar menjadi mata pencahariannya. Dua ekor sapi perah miliknya terpaksa dijual karena dia tak mampu merawatnya lagi. “Saat itu kami semua mengungsi di Gedung Ganesha Kota Batu. Selama empat hari, sapi kami tinggal begitu saja di kandang. Saat kami pulang, sapinya sudah sakit- sakitan. Kami pun terpaksa menjualnya meskidenganharga sangat murah,” ujarnya.

Uang hasil penjualan sapi habis untuk memperbaiki rumah yang rusak akibat letusan. Marmi sangat ingin kembali memelihara sapi perah namun belum mampu membelinya. Harga sapi perah sekarang antara Rp16 juta-Rp18 juta per ekor. Padahal sapi miliknya dulu hanya terjual Rp12 juta per ekor meski sedang hamil.

Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Malang, Sujono menyebutkan, produksi susu di Ngantang sempat anjlok setelah Gunung Kelud meletus, dari 60.000 liter menjadi 30.000 liter per hari. Namun, kini produksi mulai berangsur normal sekitar 55.000 liter per hari. “Kami berikan bantuan berbagai jenis pakan dan makanan tambahan kepada masyarakat agar produksi segera pulih kembali. Kami juga memberikan bantuan kandang serta bibit sapi perah,” tuturnya.

Di sektor pertanian dari total 165.689 hektare lahan yang terdampak, hanya tersisa 5% belum bisa berproduksi. “Lahan- lahan yang belum mampu berproduksi kembali, lebih karena ada persoalan kerusakan saluran irigasi dan lahannya habis terkena banjir lahar dingin,” kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malang, Tomie Herwanto.

Salah satu lahan pertanian yang belum bisa berproduksi berada di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, karena rusak berat setelah berubah menjadi aliran Sungai Sambong atau sungai lahar Gunung Kelud. Hingga kini, areal persawahan di desa ini masih dipenuhi batu dan pasir yang meluncur dari puncak Kelud.

Kondisi ini membuat banyak petani di desa itu beralih profesi menjadi penambang pasir dan batu di Sungai Sambong, salah satunya Suwarno, 40, warga Dusun Munjung, Desa Pandansari. Setiap hari, bapak dua anak ini menambang pasir dan batu mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB.

Kalau pasir dan batunya laku, dalam sehari Suwarno bisa mengantongi uang Rp60.000-Rp80.000, hasil yang sangat jauh dibanding saat menjadi petani. “Kalau menunggu bisa digunakannya lahan sawah masih sangat lama, karena terkubur pasir dan batu. Banjir juga masih sering terjadi,” ungkap Suwarno.

Secara umum, hampir seluruh rumah warga di daerah terdampak letusan Kelud sudah kembali pulih. Jalan-jalan desa yang sebelumnya tertutup pasir juga sudah normal. Begitu juga sekolah dan sejumlah fasilitas umum lain.

Yuswantoro
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1285 seconds (0.1#10.140)