Hiu Paus Akhirnya Mati di Kanal Paiton
A
A
A
PROBOLINGGO - Tragis. Satwa langka hiu paus spesies rhincodon typus yang terjebak di kanal air pembangkit listrik Jawa Bali, PLTU Paiton, Probolinggo akhirnya tewas.
Sulitnya lokasi membuat proses evakuasi yang berjalan lamban sehingga satwa yang dilindungi ini mati dengan luka-luka sayat di tubuh. Ditemukan dua luka sayatan masing-masing sepanjang 29 sentimeter (cm) dengan kedalaman sekitar 27 cm di antara insang dan perut, serta benjolan di dekat mulut. Luka tersebut didapat hiu paus tersebut dari benda tajam.
Selain itu, di sekitar luka sayatan paus sepanjang 6,3 meter dan berbobot 6 ton yang terjebak di dalam kanal intake sejak 2 Februari 2015 itu tersebut juga ditemukan jamur. Hiu paus ini diperkirakan mati pada Selasa (10/2) dini hari. Tim evakuasi baru mengetahui sekitar 8 jam kemudian yang disertai aroma menyengat.
“Hasil pemeriksaan post mortem , hiu paus ini mengalami stres tinggi karena terjebak cukup lama. Luka itu disebabkan benda tajam yang belum diketahui dan mengakibatkan infeksi dan menurunnya daya imunitas,” kata drh Dwi Suprapti, tim dokter dari WWF Indonesia dalam keterangan pers di PLTU Paiton, kemarin.
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan menegaskan kematian hiu paus tersebut bukan karena unsur kesengajaan. Kematian hiu itu murni karena kecelakaan dan sulitnya proses evakuasi.
“Ini adalah peristiwa yang rutin terjadi di kawasan pesisir, tetapi baru pertama terjadi pada objek vital dan strategis. Kami memiliki SOP penyelamatan hanya pada kawasan pesisir. Namun, SOP pada objek vital dan berbahaya diperlukan strategi dan teknik khusus,” tandas Agus.
Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan sejak Jumat (6/2), salah satunya memanfaatkan pasang surut air laut. Upaya ini nyaris membuahkan hasil ketika hiu sudah bergerak pada mulut kanal di dekat laut. Namun karena dorongan arus laut yang kuat, hiu tersebut kembali masuk ke posisi semula.
“Kecepatan daya sedot air laut pada kanal intake mencapai 12,6 kilometer/jam sehingga cukup sulit mengevakuasi melalui air yang di dalamnya terdapat jaringan tegangan ekstra tinggi. Kami juga sudah menstimulasikan evakuasi melalui jalan darat menggunakan jaring,” papar Agus, Menurut Dr Sukandar, tim dari Universitas Brawijaya Malang, jaring khusus sebenarnya sudah dipesan untuk mengangkat hiu paus malang tersebut.
“Skenario evakuasi jalan darat ini diperkirakan memakan waktu 45 menit. Hiu paus diangkat dengan jaring menggunakan crane , kemudian dimasukkan ke dalam truk berisi air. Jaring itu batal kami buat karena hiu paus sudah mati,” ungkapnya. Atas peristiwa ini, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Paiton akan mendesain ulang screen pengaman pada kanal intak yang mulanya hanya untuk menghambat masuknya sampah.
“Selama 22 tahun tidak pernah terjadi. Kami akan mendesain ulang dan memperbaiki screen agar peristiwa ini tidak terulang,” kata General Manajer PT PJB Paiton Rachmanoe Hindarto.
Arie Yoenianto
Sulitnya lokasi membuat proses evakuasi yang berjalan lamban sehingga satwa yang dilindungi ini mati dengan luka-luka sayat di tubuh. Ditemukan dua luka sayatan masing-masing sepanjang 29 sentimeter (cm) dengan kedalaman sekitar 27 cm di antara insang dan perut, serta benjolan di dekat mulut. Luka tersebut didapat hiu paus tersebut dari benda tajam.
Selain itu, di sekitar luka sayatan paus sepanjang 6,3 meter dan berbobot 6 ton yang terjebak di dalam kanal intake sejak 2 Februari 2015 itu tersebut juga ditemukan jamur. Hiu paus ini diperkirakan mati pada Selasa (10/2) dini hari. Tim evakuasi baru mengetahui sekitar 8 jam kemudian yang disertai aroma menyengat.
“Hasil pemeriksaan post mortem , hiu paus ini mengalami stres tinggi karena terjebak cukup lama. Luka itu disebabkan benda tajam yang belum diketahui dan mengakibatkan infeksi dan menurunnya daya imunitas,” kata drh Dwi Suprapti, tim dokter dari WWF Indonesia dalam keterangan pers di PLTU Paiton, kemarin.
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan menegaskan kematian hiu paus tersebut bukan karena unsur kesengajaan. Kematian hiu itu murni karena kecelakaan dan sulitnya proses evakuasi.
“Ini adalah peristiwa yang rutin terjadi di kawasan pesisir, tetapi baru pertama terjadi pada objek vital dan strategis. Kami memiliki SOP penyelamatan hanya pada kawasan pesisir. Namun, SOP pada objek vital dan berbahaya diperlukan strategi dan teknik khusus,” tandas Agus.
Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan sejak Jumat (6/2), salah satunya memanfaatkan pasang surut air laut. Upaya ini nyaris membuahkan hasil ketika hiu sudah bergerak pada mulut kanal di dekat laut. Namun karena dorongan arus laut yang kuat, hiu tersebut kembali masuk ke posisi semula.
“Kecepatan daya sedot air laut pada kanal intake mencapai 12,6 kilometer/jam sehingga cukup sulit mengevakuasi melalui air yang di dalamnya terdapat jaringan tegangan ekstra tinggi. Kami juga sudah menstimulasikan evakuasi melalui jalan darat menggunakan jaring,” papar Agus, Menurut Dr Sukandar, tim dari Universitas Brawijaya Malang, jaring khusus sebenarnya sudah dipesan untuk mengangkat hiu paus malang tersebut.
“Skenario evakuasi jalan darat ini diperkirakan memakan waktu 45 menit. Hiu paus diangkat dengan jaring menggunakan crane , kemudian dimasukkan ke dalam truk berisi air. Jaring itu batal kami buat karena hiu paus sudah mati,” ungkapnya. Atas peristiwa ini, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Paiton akan mendesain ulang screen pengaman pada kanal intak yang mulanya hanya untuk menghambat masuknya sampah.
“Selama 22 tahun tidak pernah terjadi. Kami akan mendesain ulang dan memperbaiki screen agar peristiwa ini tidak terulang,” kata General Manajer PT PJB Paiton Rachmanoe Hindarto.
Arie Yoenianto
(ftr)