SKPD Surabaya Masuk Zona Merah
A
A
A
SURABAYA - Layanan publik di Kota Surabaya kembali menjadi sorotan. Pada seminar ”Kebijakan Publik” di Hotel Ibis, kemarin, terungkap banyak pelayanan publik di Kota Pahlawan yang bermasalah.
Indikasinya banyak satuan kerja perangkat daerah (SKPD) masuk zona merah. Misalnya, buruk dalam pelayanan dan rawan pungutan liar (pungli). Berdasarkan hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Jawa Timur, beberapa layanan seperti pengurusan perizinan dan pendataan penduduk di kecamatan masih lama dan berbelit- belit. Bahkan, tak jarang ada pula yang melakukan praktik pungli.
Satu satunya di Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Selain layanan publik, ORI juga menyoroti banyaknya minimarket tak berizin di Surabaya. Bahkan, ORI menduga sebagian besar minimarket itu berdiri ilegal. Ketua ORI Jatim Agus Widyarta mengungkapkan, berdasarkan temuannya pada 2014 lalu, Pemkot Surabaya tidak pernah mengeluarkan izin pendirian minimarket baru di Surabaya.
”Tapi berdasarkan catatan kami pula, pada 2014 minimarket yang baru berdiri di Surabaya sangat banyak,” ujarnya. Karena itu, Agus kemudian mempertanyakan kenapa semakin banyak minimarket di Surabaya. ”Bagaimana izinnya tidak ada, tapi pertumbuhannya semakin pesat,” katanya. Ketua Komisi Pelayanan Publik (KPP) Nuning Rodiyah menyoroti tentang buruknya pelayanan yang diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
”Misalnya, kalau ada orang yang sakit dan minta obat, dikasihnya malah obat generik yang murah,” ujarnya. Akibat pelayanan buruk itu, masyarakat kemudian meremehkan kinerja dari instansi pemerintahan. ”Contohnya, kalau ada orang yang mau berobat ke puskesmas, pasti ada yang meragukan nanti bisa sembuh atau tidak,” kata Nuning.
Karena itu, Nuning mendesak Pemkot Surabaya segera memperbaiki pelayanan publik. ”Caranya dengan memperbarui paradigma, baik sumber daya manusianya maupun sistemnya, bahwa saat ini pelayanan publik prima harus menjadi prioritas,” ucapnya. Berdasarkan hasil investigasi ORI Jawa Timur selama November-Desember 2014, kelurahan dan kecamatan itu tidak mempunyai standar pelayanan publik yang jelas terkait waktu, biaya, dan syarat pengurusan izin.
Bahkan, tak jarang pula ada yang melakukan praktik pungutan liar (pungli). Satu di antaranya seperti terjadi di Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) beberapa waktu lalu. Soal pelayanan perizinan tidak ada kelurahan dan kecamatan yang menyediakan informasi alur pelayanan, ruang pengaduan, dan standar pelayanan. Ketidaktersedianya informasi ini berpotensi menimbulkan pungli, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi.
Contohnya, di Kecamatan Gubeng, Kelurahan Bangkingan, dan Kelurahan Kaliasin, yang membuka perizinan dengan meminta uang Rp500.000-Rp1 juta dengan bahasa ”sepantasnya”. Dalam pengurusan surat keterangan domisili usaha, ada 6.545 surat izin usaha perdagangan yang diterbitkan hingga Oktober 2014. Artinya, terdapat potensi pungutan liar sekitar Rp 3,3 miliar hingga Rp 6,5 miliar.
Ada juga kelurahan atau kecamatan yang mengalihkan pemohon kepada pihak lain lebih dulu, seperti Satuan Polisi Pamong Praja. Bahkan, kelurahan dan kecamatan juga saling klaim wilayah kekuasaan. Ombudsman memandang ada kelalaian Pemerintah Kota Surabaya sehingga kelurahan dan kecamatan tidak menerapkan standar pelayanan publik.
Tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi di seluruh kecamatan dan kelurahan se-Surabaya. Selama ini standar pelayanan hanya tercantum di satuan kerja perangkat daerah. Padahal Pemerintah Kota Surabaya kini tengah gencar menyiapkan layanan publik secara online , namun standar pelayanan masih belum jelas. Ombudsman menilai kelurahan dan kecamatan belum siap menerapkan pelayanan tersebut.
Ihya ulumuddin
Indikasinya banyak satuan kerja perangkat daerah (SKPD) masuk zona merah. Misalnya, buruk dalam pelayanan dan rawan pungutan liar (pungli). Berdasarkan hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Jawa Timur, beberapa layanan seperti pengurusan perizinan dan pendataan penduduk di kecamatan masih lama dan berbelit- belit. Bahkan, tak jarang ada pula yang melakukan praktik pungli.
Satu satunya di Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Selain layanan publik, ORI juga menyoroti banyaknya minimarket tak berizin di Surabaya. Bahkan, ORI menduga sebagian besar minimarket itu berdiri ilegal. Ketua ORI Jatim Agus Widyarta mengungkapkan, berdasarkan temuannya pada 2014 lalu, Pemkot Surabaya tidak pernah mengeluarkan izin pendirian minimarket baru di Surabaya.
”Tapi berdasarkan catatan kami pula, pada 2014 minimarket yang baru berdiri di Surabaya sangat banyak,” ujarnya. Karena itu, Agus kemudian mempertanyakan kenapa semakin banyak minimarket di Surabaya. ”Bagaimana izinnya tidak ada, tapi pertumbuhannya semakin pesat,” katanya. Ketua Komisi Pelayanan Publik (KPP) Nuning Rodiyah menyoroti tentang buruknya pelayanan yang diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
”Misalnya, kalau ada orang yang sakit dan minta obat, dikasihnya malah obat generik yang murah,” ujarnya. Akibat pelayanan buruk itu, masyarakat kemudian meremehkan kinerja dari instansi pemerintahan. ”Contohnya, kalau ada orang yang mau berobat ke puskesmas, pasti ada yang meragukan nanti bisa sembuh atau tidak,” kata Nuning.
Karena itu, Nuning mendesak Pemkot Surabaya segera memperbaiki pelayanan publik. ”Caranya dengan memperbarui paradigma, baik sumber daya manusianya maupun sistemnya, bahwa saat ini pelayanan publik prima harus menjadi prioritas,” ucapnya. Berdasarkan hasil investigasi ORI Jawa Timur selama November-Desember 2014, kelurahan dan kecamatan itu tidak mempunyai standar pelayanan publik yang jelas terkait waktu, biaya, dan syarat pengurusan izin.
Bahkan, tak jarang pula ada yang melakukan praktik pungutan liar (pungli). Satu di antaranya seperti terjadi di Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) beberapa waktu lalu. Soal pelayanan perizinan tidak ada kelurahan dan kecamatan yang menyediakan informasi alur pelayanan, ruang pengaduan, dan standar pelayanan. Ketidaktersedianya informasi ini berpotensi menimbulkan pungli, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi.
Contohnya, di Kecamatan Gubeng, Kelurahan Bangkingan, dan Kelurahan Kaliasin, yang membuka perizinan dengan meminta uang Rp500.000-Rp1 juta dengan bahasa ”sepantasnya”. Dalam pengurusan surat keterangan domisili usaha, ada 6.545 surat izin usaha perdagangan yang diterbitkan hingga Oktober 2014. Artinya, terdapat potensi pungutan liar sekitar Rp 3,3 miliar hingga Rp 6,5 miliar.
Ada juga kelurahan atau kecamatan yang mengalihkan pemohon kepada pihak lain lebih dulu, seperti Satuan Polisi Pamong Praja. Bahkan, kelurahan dan kecamatan juga saling klaim wilayah kekuasaan. Ombudsman memandang ada kelalaian Pemerintah Kota Surabaya sehingga kelurahan dan kecamatan tidak menerapkan standar pelayanan publik.
Tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi di seluruh kecamatan dan kelurahan se-Surabaya. Selama ini standar pelayanan hanya tercantum di satuan kerja perangkat daerah. Padahal Pemerintah Kota Surabaya kini tengah gencar menyiapkan layanan publik secara online , namun standar pelayanan masih belum jelas. Ombudsman menilai kelurahan dan kecamatan belum siap menerapkan pelayanan tersebut.
Ihya ulumuddin
(bbg)