Ketua MA jadi Guru Besar Unair
A
A
A
SURABAYA - Guru besar Universitas Airlangga (Unair) bertambah. Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali resmi dikukuhkan. Pengukuhan juga dihadiri Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK), dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW).
Karena seluruh proses pengukuhan dilakukan Rektorat dan Senat tanpa sepengetahuan calon guru besar, ini mengagetkan Hatta Ali. Kekagetan tersebut diungkapkan Hatta Ali saat ditemui di gedung manajemen Unair, di Kampus C. Hatta Ali tidak mengira dirinya menjadi guru besar. Bahkan akan dipanggil profesor. ”Padahal saya masih asing dipanggil prof (profesor),” ujarnya.
Hatta Ali yang didampingi Rektor Unair Fasich Apt merasa mendapat apresiasi luar biasa seiring penetapan dirinya sebagai guru besar Bidang Ilmu Hukum ke-13 di Unair. Masih lantaran rasa kagetnya, Hatta Ali sempat bertanya ke Rektor Unair tentang alasan pengangkatan dirinya.
”Saya pernah bertanya kepada Rektor dan Ketua Senat tentang penilaian kepada saya untuk dipercaya menjadi guru besar. Rektor menilai saya memiliki ‘tacit knowledge’ (keilmuan yang memiliki jangkauan ke masa depan) yang bermanfaat untuk masyarakat,” papar Hatta Ali, menirukan rektor. Banyak pertimbangan atas penghargaan itu. Hatta Ali merupakan alumnus S-1 FH Unair (1977).
”Saya juga sempat mengucapkan terima kasih kepada Mohammad Nuh (Mendikbud saat itu) dengan SK Guru Besar yang diterima pada 1 Oktober 2014. Pak Nuh justru mengucapkan terima kasih sehingga saya kaget, lalu saya tanya, kenapa terbalik? Beliau menjawab perguruan tinggi selama ini penuh dengan teori sehingga kering,” paparnya lagi.
Lebih dari itu, Nuh juga mengatakan Hatta Ali bukan saja sebagai praktisi, tapi juga doktor yang diyakini akan memberi warna pada perguruan tinggi. Ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan tinggi diharapkan akan menjadi komprehensif akibat perpaduan teori dan praktik. Keharusan penyampaian materi atau teori pengukuhan sempat pula ditanyakan Hatta Ali ke Nuh saat itu.
Lagilagi Nuh menegaskan teori sudah banyak di perguruan tinggi. Sekadar diketahui, SK Guru Besar sudah keluar pada Oktober 2014, tapi prosesi pengukuhan baru dapat dilaksanakan pada Januari 2015. ”Saya menyampaikan orasi ilmiah tentang reformasi peradilan yang telah saya lakukan. Di antaranya hakim yang selama ini memiliki dua atasan, yakni Kehakiman dan MA pun saya satukan,” kata Hatta Ali.
Urusan administrasi atau manajerial dari seorang hakim, selama ini berada di Kehakiman. Namun teknis yuridis berada di MA. ”Jadi, perut di Kehakiman tapi otak di MA. Lalu saya satukan sehingga independensi hakim terjaga,” ucapnya.
Terobosan lain, transparansi peradilan melalui SK Ketua MA 14/2007. Ini membuat para pencari keadilan tidak perlu ke PN atau MA untuk tahu perkembangan perkaranya. Semua bisa ditelusuri lewat laman (website). Upaya ini membuat tumpukan kasus sebanyak 20.000 pada 10 tahun lalu menjadi 4.000 kasus.
”Saya juga mematok waktu tiga bulan untuk penyelesaian perkara di MA dan siapa yang melanggar akan dijatuhi sanksi,” kata Hatta Ali.
Soeprayitno
Karena seluruh proses pengukuhan dilakukan Rektorat dan Senat tanpa sepengetahuan calon guru besar, ini mengagetkan Hatta Ali. Kekagetan tersebut diungkapkan Hatta Ali saat ditemui di gedung manajemen Unair, di Kampus C. Hatta Ali tidak mengira dirinya menjadi guru besar. Bahkan akan dipanggil profesor. ”Padahal saya masih asing dipanggil prof (profesor),” ujarnya.
Hatta Ali yang didampingi Rektor Unair Fasich Apt merasa mendapat apresiasi luar biasa seiring penetapan dirinya sebagai guru besar Bidang Ilmu Hukum ke-13 di Unair. Masih lantaran rasa kagetnya, Hatta Ali sempat bertanya ke Rektor Unair tentang alasan pengangkatan dirinya.
”Saya pernah bertanya kepada Rektor dan Ketua Senat tentang penilaian kepada saya untuk dipercaya menjadi guru besar. Rektor menilai saya memiliki ‘tacit knowledge’ (keilmuan yang memiliki jangkauan ke masa depan) yang bermanfaat untuk masyarakat,” papar Hatta Ali, menirukan rektor. Banyak pertimbangan atas penghargaan itu. Hatta Ali merupakan alumnus S-1 FH Unair (1977).
”Saya juga sempat mengucapkan terima kasih kepada Mohammad Nuh (Mendikbud saat itu) dengan SK Guru Besar yang diterima pada 1 Oktober 2014. Pak Nuh justru mengucapkan terima kasih sehingga saya kaget, lalu saya tanya, kenapa terbalik? Beliau menjawab perguruan tinggi selama ini penuh dengan teori sehingga kering,” paparnya lagi.
Lebih dari itu, Nuh juga mengatakan Hatta Ali bukan saja sebagai praktisi, tapi juga doktor yang diyakini akan memberi warna pada perguruan tinggi. Ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan tinggi diharapkan akan menjadi komprehensif akibat perpaduan teori dan praktik. Keharusan penyampaian materi atau teori pengukuhan sempat pula ditanyakan Hatta Ali ke Nuh saat itu.
Lagilagi Nuh menegaskan teori sudah banyak di perguruan tinggi. Sekadar diketahui, SK Guru Besar sudah keluar pada Oktober 2014, tapi prosesi pengukuhan baru dapat dilaksanakan pada Januari 2015. ”Saya menyampaikan orasi ilmiah tentang reformasi peradilan yang telah saya lakukan. Di antaranya hakim yang selama ini memiliki dua atasan, yakni Kehakiman dan MA pun saya satukan,” kata Hatta Ali.
Urusan administrasi atau manajerial dari seorang hakim, selama ini berada di Kehakiman. Namun teknis yuridis berada di MA. ”Jadi, perut di Kehakiman tapi otak di MA. Lalu saya satukan sehingga independensi hakim terjaga,” ucapnya.
Terobosan lain, transparansi peradilan melalui SK Ketua MA 14/2007. Ini membuat para pencari keadilan tidak perlu ke PN atau MA untuk tahu perkembangan perkaranya. Semua bisa ditelusuri lewat laman (website). Upaya ini membuat tumpukan kasus sebanyak 20.000 pada 10 tahun lalu menjadi 4.000 kasus.
”Saya juga mematok waktu tiga bulan untuk penyelesaian perkara di MA dan siapa yang melanggar akan dijatuhi sanksi,” kata Hatta Ali.
Soeprayitno
(ars)