Canggihnya Peralatan Tak Menjamin Hasil
A
A
A
SURABAYA - Peralatan fotografi yang canggih, lengkap, dan mahal, tak menjamin hasil jepretan menjanjikan. Penguasaan penentuan angle pun sama, tidak bisa jadi garansi. Fisik yang prima lebih pas menjadi kuncinya. Terutama mereka yang selama ini jepratjepret di outdoor , hutan, gunung, laut, atau daratan. Tanpa ketangguhan jasmani, mereka bisa saja tremmor saat pegang kamera.
Apa yang terjadi? Dipastikan obyek tidak fokus. Meski demikian, bukan berarti foto indoor tak memerlukan ketangguhan fisik fotografernya. Tetap sama, lantaran berat kamera dan lensanya bisa mencapai lima kilo dan bahkan lebih. Belum lagi menuju lokasi hunting , fotografer memanggul tas yang di dalamnya juga ada laptop dan lainnya.
Praktis beban yang dibawa bertambah. Sadar akan tuntutan profesionalitas ke depan, militerisme fotografi pun perlu diterapkan. Ini yang terlihat dari pelaksanaan pendidikan kilat-pendidikan dasar (Diklat- Dikdas) Fotografi bagi mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Communication Photography Club (UKM Ciphoc) Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, kemarin.
Bak di camp militer, caloncalon fotografer itu berjalan merunduk, jongkok, bahkan merayap. Hutan mini di areal kampus di Jalan Nginden Semolo menjadi tempatnya. “Seorang fotografer yang menenteng tas yang isinya peralatan sepintas terlihat asyik, keren. Tapi belum tentu hasil jepretannya maksimal. Bisa saya ketangguhan fisiknya kurang sehingga berpengaruh ke hasil,” kata Habibur Rohman, salah seorang pewarta foto di Surabaya.
Habib yang tergabung dalam Perwarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya ini mengingatkan calon angkatan muda UKM Ciphoc 2014 ini bahwa situasi dan kondisi saat memotret bisa berbeda-beda.
Ali Masduki, anggota PFI lain yang juga salah satu instruktur diklat-dikdas menambahkan, fotografer bisa menghasilkan karya tak sesuai harapan. “Misalkan fotografer mendaki gunung. Setelah sampai puncak, ternyata kelelahan dan tak optimal membidik obyek. Tentu ini menjadi sia-sia,” tukas Ali.
Karena itu, fotografer Harian Seputar Indonesia (SINDO ) Biro Jatim ini mengingatkan ke mahasiswa peserta diklat-dikdas bahwa militerisme fotografi bukan bentuk perploncoan. “Namun lebih untuk menggembleng fisik peserta. Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni (Mapalas) Unitomo juga pernah menggembleng fisik peserta diklat-dikdas sebelumnya,” tuturnya.
Ketua Umum UKM Ciphoc Unitomo Robertus Risky Pradianto Kumaniren, senang melihat antusias calon angkatan muda. “Ini rutin kami adakan setahun sekali. Kami ingin anggota UKM Ciphoc ke depannya menjadi fotografer dengan karya-karya luar biasa, kerap menjuarai lomba seperti yang sudah ada,” tuturnya.
Firnanda Alta, mahasiswi semester I, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik mengaku senang bisa langsung mendapat materi fotografer dari praktisi di beberapa media. “Senang. Meski setelah merayap dan menerobos rerimbunan pepohonan di kampus bikin badan gatal-gatal,” tutur Firnanda.
Mahasiswa berjilbab ini terlihat tanpa canggung mengikuti instruksi pemateri. “Ini bisa jadi sarana uji mental dan fisik,” ucapnya bangga. Ketua PFI Surabaya Johanes Totok Sumarno berharap, diklat-dikdas fotografi yang ada bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh peserta.
“Sekolah fotografi selama ini mahal. Karena itu jangan siasiakan. Banyak praktisi hadir, berbagi wawasan, pengalaman, dan teknik pemotretan,” kata Totok Gondrong, sapaannya.
Soeprayitno
Apa yang terjadi? Dipastikan obyek tidak fokus. Meski demikian, bukan berarti foto indoor tak memerlukan ketangguhan fisik fotografernya. Tetap sama, lantaran berat kamera dan lensanya bisa mencapai lima kilo dan bahkan lebih. Belum lagi menuju lokasi hunting , fotografer memanggul tas yang di dalamnya juga ada laptop dan lainnya.
Praktis beban yang dibawa bertambah. Sadar akan tuntutan profesionalitas ke depan, militerisme fotografi pun perlu diterapkan. Ini yang terlihat dari pelaksanaan pendidikan kilat-pendidikan dasar (Diklat- Dikdas) Fotografi bagi mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Communication Photography Club (UKM Ciphoc) Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, kemarin.
Bak di camp militer, caloncalon fotografer itu berjalan merunduk, jongkok, bahkan merayap. Hutan mini di areal kampus di Jalan Nginden Semolo menjadi tempatnya. “Seorang fotografer yang menenteng tas yang isinya peralatan sepintas terlihat asyik, keren. Tapi belum tentu hasil jepretannya maksimal. Bisa saya ketangguhan fisiknya kurang sehingga berpengaruh ke hasil,” kata Habibur Rohman, salah seorang pewarta foto di Surabaya.
Habib yang tergabung dalam Perwarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya ini mengingatkan calon angkatan muda UKM Ciphoc 2014 ini bahwa situasi dan kondisi saat memotret bisa berbeda-beda.
Ali Masduki, anggota PFI lain yang juga salah satu instruktur diklat-dikdas menambahkan, fotografer bisa menghasilkan karya tak sesuai harapan. “Misalkan fotografer mendaki gunung. Setelah sampai puncak, ternyata kelelahan dan tak optimal membidik obyek. Tentu ini menjadi sia-sia,” tukas Ali.
Karena itu, fotografer Harian Seputar Indonesia (SINDO ) Biro Jatim ini mengingatkan ke mahasiswa peserta diklat-dikdas bahwa militerisme fotografi bukan bentuk perploncoan. “Namun lebih untuk menggembleng fisik peserta. Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni (Mapalas) Unitomo juga pernah menggembleng fisik peserta diklat-dikdas sebelumnya,” tuturnya.
Ketua Umum UKM Ciphoc Unitomo Robertus Risky Pradianto Kumaniren, senang melihat antusias calon angkatan muda. “Ini rutin kami adakan setahun sekali. Kami ingin anggota UKM Ciphoc ke depannya menjadi fotografer dengan karya-karya luar biasa, kerap menjuarai lomba seperti yang sudah ada,” tuturnya.
Firnanda Alta, mahasiswi semester I, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik mengaku senang bisa langsung mendapat materi fotografer dari praktisi di beberapa media. “Senang. Meski setelah merayap dan menerobos rerimbunan pepohonan di kampus bikin badan gatal-gatal,” tutur Firnanda.
Mahasiswa berjilbab ini terlihat tanpa canggung mengikuti instruksi pemateri. “Ini bisa jadi sarana uji mental dan fisik,” ucapnya bangga. Ketua PFI Surabaya Johanes Totok Sumarno berharap, diklat-dikdas fotografi yang ada bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh peserta.
“Sekolah fotografi selama ini mahal. Karena itu jangan siasiakan. Banyak praktisi hadir, berbagi wawasan, pengalaman, dan teknik pemotretan,” kata Totok Gondrong, sapaannya.
Soeprayitno
(ftr)