Kisah Jaka Tingkir dan Pusaka Kiai Bajulgiling (Bagian 2/Habis)

Sabtu, 17 Januari 2015 - 05:00 WIB
Kisah Jaka Tingkir dan...
Kisah Jaka Tingkir dan Pusaka Kiai Bajulgiling (Bagian 2/Habis)
A A A
Di wilayah Demak keampuhan azimat pemberian Kiai Buyut Banyubiru berupa ikat pinggang Kiai Bajulgiling diterapkannya kembali.

Seekor kerbau liar (banteng) dibuat Jaka Tingkir menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para prajurit di Demak pun tidak dapat menghalau kerbau tersebut bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah.

Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya.

Para prajurit Demak terkagum dengan aksi Jaka Tingkir yang mampu menaklukan banteng buas. Raja Demak Sultan Trenggono mengampuni perbuatan Jaka Tingkir tempo hari dan memaafkannya.

Kemudian Jaka Tingkir diangkat sebagai pemimpin laskar tamtama, dan kemudian akhirnya dia menikah dengan putri ke-5 raja yaitu Ratu Mas Cempaka dan menjadi Bupati Pajang dengan gelar Adipati Adiwijaya.

Sepeninggal Trenggono tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Aryo Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549.

Aryo Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu dia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Solo.

Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi utusan itu gagal karena dia memiliki kekebalan dari azimat Ki Bajulgiling.

Namun setelah mengalahkan utusan Aryo Penangsang justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Aryo Penangsang.

Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mentaok/Mataram sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik.

Sehingga Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Aryo Penangsang setelah menusukkan Tombak Kiai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.

Lalu oleh Adiwijaya diberikan tanah perdikan Mataram kepada keluarga Ki Ageng Pemanahan.

Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.

Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama Bupati Surabaya.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena dia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.

Lalu beberapa tahun kemudian Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang telah diberikannya tanah perdikan di Alas Mentaok mulai melakukan pemberontakan terhadap Pajang.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya).

Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus.

Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Karena konon Sutawijaya mendapat bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul sang penguasa Laut Selatan.

Dengan sekoyong-konyong Gunung Merapi meletus akibatnya ratusan laskar Pajang tewas terkena letusan gunung tersebut.

Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan Adiwijaya, terseret dalam kekacauan itu.

Sehingga pasukannya dapat dipukul mundur oleh pasukan Mataram dan dengan terpaksa Adiwijaya melarikan diri.

Adiwijaya pun ingin berdoa di Makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja Pajang ini bahkan tidak mampu membukanya sehingga dia berlutut saja di luar dan membuka ikat pinggang Kiai Bajulgiling.

Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja.

Hal ini amat mengguncangkan jiwa Adiwijaya. Pada malam hari dia tertidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.

Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi ikat pinggang Bajulgiling tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembakat. Sehingga gajah yang menjadi tunggangannya menjadi liar dan membuat Adiwijaya terjatuh.

Setelah itu dia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.

Beberapa abdi dalem yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kiai Buyut Banyubiru di pinggang sang raja.

Mereka ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan pintu makam Sunan Tembayat.

Hilangnya ikat pinggang Bajulgiling terdengar oleh telik sandi Mataram. Lalu sesampainya di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman yang menyerang dengan memukul dada Adiwijaya.

Karena tidak lagi mengenakan ikat pinggang Ki Bajulgiling membuat sakit sang Raja Pajang ini bertambah parah.

Namun dalam keadaan sakit Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir.

Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.

Adiwijaya akhirnya meninggal dunia pada tahun 1582. Dia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya

Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kiai Bajulgiling yang bertuah itu.

Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam.

Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.

Demikianlah cerita pagi mengenai legenda dan cerita rakyat dari Jaka Tingkir kali ini semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca.

Semua kebenaran hanya milik Allah SWT, Wallahu'alam bissawab.

Sumber: wikipedia dan majalah misteri (diolah dari berbagai sumber)

(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1403 seconds (0.1#10.140)