Pedofilia Masih Menjadi Ancaman
A
A
A
SURABAYA - Kasus pedofilia masih menjadi ancaman anak baru gede (ABG) di Surabaya. Penuturan Maria S, salah seorang guru bimbingan dan konseling salah satu SMK swasta, menguatkan indikasi tersebut.
Maria membeber fakta mencengangkan tentang salah satu mantan murid di sekolahnya yang diduga kuat menjadi korban kekerasan seksual. Ini disampaikan Maria di sela-sela seminar psikologi abnormal bertema “Child Abuse-My Pleasure, Your Pain” kemarin.
“Ada mantan murid saya menjadi korban kekerasan seksual. Saat saya sampaikan materi terkait kekerasan, murid laki-laki itu menangis. Bahkan, dia mengatakan jika perempuan akan memeluk saya,” kata Maria.
Perempuan berjilbab ini sempat mengorek tentang apa yang terjadi terhadap siswanya itu. Ternyata yang bersangkutan tidak mau berterus terang. Siswa ini sempat melontarkan niatnya bunuh diri, tapi dukungan mental terus diberikan Maria, termasuk mengajaknya ke masjid untuk diberi wejangan-wejangan. “Saya berikan muhasabah di Masjid Agung. Saya tanamkan ke dia agar bisa memahami jati diri, bersyukur karena tidak cacat fisik,” paparnya.
Maria menegaskan laki-laki yang pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh sejenis cenderung homoseksual. Artinya, mencintai sejenis dan teman bergaulnya pun ratarata laki-laki. Selain didasari trauma masa lalu, korban kekerasan seks yang cenderung “melambai” juga dipengaruhi teman bergaul yang menganut perilaku seks menyimpang.
“Sayang, murid itu tidak mau menyebutkan nama pelaku walaupun sudah saya tanya,” kata Maria. Psikiater Konsultasi RSUD dr Soetomo Surabaya sekaligus Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Nalini Muhdi Agung menyebut kekerasan seksual pada anak menjadi momok orang tua.
Kasus kekerasan seksual yang sempat menjerat salah satu sekolah internasional di Jakarta merupakan satu dari sekian banyak kasus serupa yang menjadikan anak di bawah umur sebagai sasarannya. “Biasanya berawal dari rayuan, bujukan, bahkan pendekatan persuasi kepada calon korban. Inilah modusmodus yang biasanya dilakukan oleh pelaku,” ujar Nalini.
Pelaku kekerasan seksual biasanya melakukan perbuatannya tersebut bukan semata karena hasrat seksual, tapi lebih untuk menunjukkan dominasinya dan mengalami kelainan seksual yang menyimpang. Orang tua harus mewaspadai perubahan perilaku anak.
Misalnya, anak-anak menjadi murung, sulit berkonsentrasi, susah mengekspresikan diri, sangat berwaspada, sering datang terlambat ke sekolah, serta perubahan-perubahan perilaku lainnya. Perubahan ini harus dipahami dan ditindaklanjuti orang tua untuk berupaya menggali cerita perihal penyebab perubahan. “Mengapa kekerasan seksual pada anak merupakan momok bagi setiap orang tua dan anakanak?,” kata Nalini.
Menurutnya, kekerasan seksual anak memiliki implikasi seumur hidup bagi para korban. “Jika luka fisik lebih mudah disembuhkan, namun trauma mentalemosional memiliki dampak jangka panjang,” paparnya.
Nalini mengingatkan, dalam kasus kekerasan seksual jangan pernah menyalahkan korban. Korban tidak pernah salah. Dari sini dapat di lihat bahwa dalam kekerasan seksual apa pun jenisnya masih ada diskriminasi terhadap korban-korbannya. “Oleh karena itu, pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga yang dapat menampung suara-suara dari para korban.
Menurut data statistik, satu di antara empat anak perempuan dan satu dari lima orang anak laki-laki ternyata pernah mengalami kekerasan seksual di bawah usia 18 tahun,” ungkapnya. Perilaku kekerasan seksual bukan hanya terjadi di luar rumah. Di lingkungan keluarga juga ada peluang untuk melakukan hal tersebut.
Bahkan, 75% pemerkosa adalah anggota keluarga atau orang yang telah dikenal dengan baik. Merupakan sebuah budaya di negara ini jika seorang anak harus “manut” kepada orang tuanya. Ketika anak menolak suatu hal maka sering dianggap anak sudah mulai berani kepada orang tua. “Inilah yang harus diperhatikan, orang tua harus pandai mengamati hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” tandasnya.
Pelaku kekerasan seksual disebut Nalini mengalami gangguan jiwa dalam hal dorongan seksual yang tidak lazim. “Seseorang yang termasuk dalam kategori ini biasanya memiliki hasrat dan fantasi seksual yang besar terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun,” ujarnya.
Menurut dia, pelaku pedofilia 95% merupakan heteroseksual, sedangkan 60% korban pedofilia adalah anak laki-laki. Pelaku pedofilia biasanya memiliki riwayat kekerasan seksual di masa lalu.
Soeprayitno
Maria membeber fakta mencengangkan tentang salah satu mantan murid di sekolahnya yang diduga kuat menjadi korban kekerasan seksual. Ini disampaikan Maria di sela-sela seminar psikologi abnormal bertema “Child Abuse-My Pleasure, Your Pain” kemarin.
“Ada mantan murid saya menjadi korban kekerasan seksual. Saat saya sampaikan materi terkait kekerasan, murid laki-laki itu menangis. Bahkan, dia mengatakan jika perempuan akan memeluk saya,” kata Maria.
Perempuan berjilbab ini sempat mengorek tentang apa yang terjadi terhadap siswanya itu. Ternyata yang bersangkutan tidak mau berterus terang. Siswa ini sempat melontarkan niatnya bunuh diri, tapi dukungan mental terus diberikan Maria, termasuk mengajaknya ke masjid untuk diberi wejangan-wejangan. “Saya berikan muhasabah di Masjid Agung. Saya tanamkan ke dia agar bisa memahami jati diri, bersyukur karena tidak cacat fisik,” paparnya.
Maria menegaskan laki-laki yang pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh sejenis cenderung homoseksual. Artinya, mencintai sejenis dan teman bergaulnya pun ratarata laki-laki. Selain didasari trauma masa lalu, korban kekerasan seks yang cenderung “melambai” juga dipengaruhi teman bergaul yang menganut perilaku seks menyimpang.
“Sayang, murid itu tidak mau menyebutkan nama pelaku walaupun sudah saya tanya,” kata Maria. Psikiater Konsultasi RSUD dr Soetomo Surabaya sekaligus Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Nalini Muhdi Agung menyebut kekerasan seksual pada anak menjadi momok orang tua.
Kasus kekerasan seksual yang sempat menjerat salah satu sekolah internasional di Jakarta merupakan satu dari sekian banyak kasus serupa yang menjadikan anak di bawah umur sebagai sasarannya. “Biasanya berawal dari rayuan, bujukan, bahkan pendekatan persuasi kepada calon korban. Inilah modusmodus yang biasanya dilakukan oleh pelaku,” ujar Nalini.
Pelaku kekerasan seksual biasanya melakukan perbuatannya tersebut bukan semata karena hasrat seksual, tapi lebih untuk menunjukkan dominasinya dan mengalami kelainan seksual yang menyimpang. Orang tua harus mewaspadai perubahan perilaku anak.
Misalnya, anak-anak menjadi murung, sulit berkonsentrasi, susah mengekspresikan diri, sangat berwaspada, sering datang terlambat ke sekolah, serta perubahan-perubahan perilaku lainnya. Perubahan ini harus dipahami dan ditindaklanjuti orang tua untuk berupaya menggali cerita perihal penyebab perubahan. “Mengapa kekerasan seksual pada anak merupakan momok bagi setiap orang tua dan anakanak?,” kata Nalini.
Menurutnya, kekerasan seksual anak memiliki implikasi seumur hidup bagi para korban. “Jika luka fisik lebih mudah disembuhkan, namun trauma mentalemosional memiliki dampak jangka panjang,” paparnya.
Nalini mengingatkan, dalam kasus kekerasan seksual jangan pernah menyalahkan korban. Korban tidak pernah salah. Dari sini dapat di lihat bahwa dalam kekerasan seksual apa pun jenisnya masih ada diskriminasi terhadap korban-korbannya. “Oleh karena itu, pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga yang dapat menampung suara-suara dari para korban.
Menurut data statistik, satu di antara empat anak perempuan dan satu dari lima orang anak laki-laki ternyata pernah mengalami kekerasan seksual di bawah usia 18 tahun,” ungkapnya. Perilaku kekerasan seksual bukan hanya terjadi di luar rumah. Di lingkungan keluarga juga ada peluang untuk melakukan hal tersebut.
Bahkan, 75% pemerkosa adalah anggota keluarga atau orang yang telah dikenal dengan baik. Merupakan sebuah budaya di negara ini jika seorang anak harus “manut” kepada orang tuanya. Ketika anak menolak suatu hal maka sering dianggap anak sudah mulai berani kepada orang tua. “Inilah yang harus diperhatikan, orang tua harus pandai mengamati hal ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” tandasnya.
Pelaku kekerasan seksual disebut Nalini mengalami gangguan jiwa dalam hal dorongan seksual yang tidak lazim. “Seseorang yang termasuk dalam kategori ini biasanya memiliki hasrat dan fantasi seksual yang besar terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun,” ujarnya.
Menurut dia, pelaku pedofilia 95% merupakan heteroseksual, sedangkan 60% korban pedofilia adalah anak laki-laki. Pelaku pedofilia biasanya memiliki riwayat kekerasan seksual di masa lalu.
Soeprayitno
(ftr)