Cerita Stiker No Sex

Minggu, 28 Desember 2014 - 12:39 WIB
Cerita Stiker No Sex
Cerita Stiker No Sex
A A A
HAL paling fenomenal yang terjadi di Kota Surabaya sepanjang 2014 ini mungkin salah satunya penutupan Lokalisasi Dolly.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, di tengah pro-kontra, dengan berani mendeklarasikan penutupan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara tersebut. Namun, prostitusi ternyata memang tidak sekadar persoalan tempat, tapi jauh lebih rumit daripada itu.

Sekitar dua pekan lalu, masih pada Desember 2014, SINDO berjumpa lagi dengan kawan lama. Dulu dia seorang yang pendiam.

Dia sering menjadi bahan gojlokgojlokan di antara kami. Kini dia sudah menjadi seorang yang lumayan kaya. Sebut saja namanya Jaka, berprofesi sebagai marketing. Uangnya sudah berlebih untuk sekadar mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari. ”Aku kemarin (beberapa hari lalu) diajak rekanan bisnisku pergi ke panti pijat,” dia memulai cerita salah satu pengalaman barunya.

Dia mengaku selama ini memang belum pernah pergi ke tempat pijat. Paling-paling hanya memanggil tukang pijat tradisional ke rumah. ”Tempatnya lumayan bagus dan berkelas,” lanjutnya sambil menyebut nama sebuah tempat pijat di kawasan Jalan HR Muhammad. Jaka mengaku sebenarnya tidak suka pergi ke tempat semacam itu. Dia tidak suka menghambur-hamburkan uang.

”Tapi karena ditraktir, aku jadi tak bisa mengelak lagi,” katanya. Dia pun masuk ke tempat tersebut dengan agak deg-degan . Apalagi saat rekan bisnisnya itu langsung nyelonong ke ruangan untuk bersiap dipijat, Jaka agak bingung juga. Singkat cerita, dia sudah berada di ruang siap untuk dipijat. Sambil menikmati pijatan, Jaka juga memerhatikan sekitarnya.

Di tembok ruangan tersebut terpasang stiker bertuliskan No Sex . Jaka mulai berkurang groginya karena yakin ia tidak salah masuk tempat pijat plus-plus. Seiring waktu berjalan, Jaka semakin menikmati pijatan tangan perempuan yang menyentuh tubuhnya. Namun, beberapa saat kemudian, Jaka mulai grogi lagi.

”Yang pijat itu mulai merayu,” ungkapnya. Tentu saja cara memijatnya sudah mulai berbeda seolah bersiap menyajikan yang plus-plus. Jaka semakin keki saat perempuan yang memijat mengetahui kalau dirinya baru pertama kali pergi ke tempat semacam itu. ”Dia (pemijat) bisa tahu kalau grogi karena pertama kali ke panti pijat. Dia bilang tahu karena tubuhku dingin,” tutur Jaka.

Jaka pun berusaha menghindar dengan bertanya tentang stiker No Sex yang tertempel di dinding. ”Lha ngono lho, mbak-e bilang , itu hanya syarat saja. Kalau mau minta yang plus-plus tetap bisa dilayani,” tuturnya. Menurut pengakuan Jaka, untuk mendapatkan layanan pemuas nafsu itu, dia harus menambah lagi uang tips mencapai Rp500.000. ”Aku jelas menolak. Buang-buang uang hanya untuk begituan,” kata Jaka yang sudah beristri ini.

Semenjak kejadian itu, Jaka mengaku sudah kapok pergi ke panti pijat, meski diajak rekan bisnisnya. Apa pun namanya, menurut Jaka, kemungkinan pemberian layanan plus-plus akan selalu ada. ”Ternyata benar, banyak prostitusi terselubung di kota ini,” katanya. Jaka memang bukan orang yang akrab dengan dunia hitam. Seperti kebanyakan orang, mungkin akan heran jika mengetahui sendiri kenyataan betapa prostitusi tidak akan pernah bisa dihilangkan.

Sejarah memang ada yang mencatat bahwa prostitusi sudah ada sejak dahulu kala. Semua pernah membahas penyebab seseorang bisa terjebak menjadi pelacur hingga karib dengan dunia prostitusi sangat kompleks. Namun, akan menjadi lebih sangat rumit ketika prostitusi sudah menjadi komoditas dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi.

Orang tidak peduli lagi dengan moralitas. Insaf bukan kata pilihan karena seorang pelacur akan berhenti jika sudah tidak memiliki nilai jual lagi. Karena itu, kemudian wajar penutupan Dolly banyak juga yang menganggap bukan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan prostitusi. Ini tanpa mengesampingkan bahwa penutupan Dolly tetap memiliki ba-nyak dampak positif dan pro-kontra akan selalu ada.

Norma-norma sosial jelas mengharamkan keberadaan prostitusi, bahkan sudah ada undang-undang mengenai praktik prostitusi. Prostitusi ditinjau dari segi yuridis yang terdapat dalam KUHP, yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan (Pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggan bagi pelacur (Pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (Pasal 297 KUHP).

Polisi juga telah berkali-kali menggerebek tempat-tempat prostitusi terselubung. Namun, penegakan hukum tersebut belum mampu memberikan efek jera. Faktanya seperti ditemui Jaka, praktik mesum itu bisa bersembunyi dengan aman hanya karena ada stiker No Sex .

Subsistem Kemasyarakatan

Semua orang yang berakal waras pasti tidak akan setuju dengan praktik prostitusi. Demikian pula dengan orang-orang (baca: pakar) yang dulu tidak setuju dengan penutupan Dolly. Mereka yang kontra pasti sama pendapat dengan yang pro tentang prostitusi. Yang membedakan mungkin cara penyelesaiannya saja.

Kekhawatiran bahwa prostitusi menjadi menyebar setelah Dolly ditutup ternyata ada benarnya. Pakar beranggapan penutupan Dolly sangat diskriminatif. Ini juga lantaran sejumlah tempat yang menyediakan layanan pemuas nafsu dengan kedok panti-panti pijat masih banyak dan itu kebanyakan diperuntukkan kalangan ekonomi menengah ke atas.

Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menerangkan, kawasan Dolly (juga demikian halnya lokalisasi lain) merupakan sebuah sub-sistem kemasyarakatan yang berfungsi secara sosial untuk menyeimbangkan kesinambungan masyarakat dalam menghadapi sejumlah dina-mika seksualitas saat ini. Setidaknya kawasan itu menjadi elemen untuk pelampiasan biologis yang menghindari dari sejumlah tindak kekerasan seksual.

Dolly boleh saja ditutup atau ditertibkan, tetapi harus dengan pendekatan yang matang dan sudah dapat mereda rasa protes dari masyarakat sekitar. Namun, jika masih terdapat protes, setidaknya sosialisasi dari pemerintah kota berarti masih kurang mendalam. ”Jika upaya penutupan itu untuk menyelamatkan anakanak kawasan tersebut, tidak perlu menutup lokalisasi,” tandas Bagong.

Dia menerangkan, berdasarkan riset akademisi Unair, resistensi religius masyarakat di kawasan tersebut cukup kuat. Hanya, yang berkepentingan dalam mengembangkan industri seksual tetap saja eksis tanpa mempengaruhi moralitas masyarakat lain.

Sedangkan, jika mengadaptasi pendapat dari Robert King Merton, sosiolog aliran modern dari Universitas Harvard, penutupan Dolly bisa mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak dimaksudkan dan tidak disa-dari). Fungsi manifes dari penutupan Dolly tersebut di antaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku keji yang meresahkan banyak masyarakat.

Mengurangi penderita penyakit yang mematikan, yakni HIV/AIDS, sebagai salah satu perintah Tuhan untuk memerangi kemaksiatan. Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly di antaranya memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, ilegalitas seks semakin bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita HIV/AIDS sulit ditangani, mematikan pendapatan warga sekitar Dolly, seperti tukang parkir dan warung kopi.

Jadi, di Surabaya memang sudah tak ada lagi Lokalisasi Dolly, tapi kalau layanan plusplus masih ada. Hati-hati terjebak kenikmatan semu di dalamnya.

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7240 seconds (0.1#10.140)