Senja di Panggung Parikeno
A
A
A
Kemiskinan bukan takdir yang datang begitu saja tanpa bisa diajak bicara. Para seniman seni tradisional ludruk mencoba untuk terus menantang kemiskinan itu di atas panggung pertunjukan. Dari jalanan, mereka berteriak menertawakan nasib dan perilaku tak wajar dari nalar manusia.
Piring biyen tipis-tipis, piring saiki saka porselen. Maling biyen nggawa linggis, maling saiki nggawa pulpen (piring dahulu tipis-tipis, piring sekarang dari porselen. Pencuri dahulu pakai linggis, pencuri sekarang pakai pena).
Kidungan Jula-Juli Guyon Parikenodagelan Ludruk Irama Budaya masih menghiasi langit. Menceritakan kondisi negeri ini yang semakin banyak koruptor dalam guyonan rakyat, menempel erat dan membekas di hati rakyat kecil. Kidungan itu tertulis di selasela dinding. Menerobos ruang waktu yang terus menjadikan ludruk sebagai seni tradisional yang belum usang.
Mengenal Surabaya yang keras dan heroik harus mengenal ludruk yang terus dinamis dalam perjalanan waktu yang panjang dan melelahkan. Siang belum juga berlalu. Tiga pria masih mondar-mandir di depan kamar. Dua lainnya duduk termenung di atas kursi plastik tepat di depan serambi gedung pertunjukan.
Dalam kegelisahan itu, otak mereka harus memikirkan angka-angka uang yang harus didapat sebelum malam Minggu saat pertunjukan ludruk. Hanya pohon-pohon pole yang tumbuh subur di depan penampungan seniman ludruk yang memberikan ketenangan siang itu. Dalam hitungan hari, mereka harus bisa mengumpulkan uang minimal Rp400.000 untuk membeli bedak, alat rias, perkakas, dan beberapa kain.
Anggota ludruk Irama Budaya belum semuanya kumpul. Total ada 50 seniman ludruk yang tetap setia di jalur kebudayaan tradisional. Mereka masih berkutat mencari nafkah di luar jalur ludruk. Ada yang menjual koran, berdagang asongan di stasiun, juru parkir di Pasar Wonokromo, sampai tukang batu di pinggiran Surabaya. Menjelang senja, mendung sudah menyelimuti langit Surabaya.
Deden Irawan yang tadinya tenang mulai gelisah. Matanya terus memberikan tatapan kosong pada orang yang melintas di depan gedung pertunjukan ludruk di Taman Remaja Surabaya. Sejak pagi, dia belum merasakan sesuap nasi lewat di lambungnya. Demikian juga dengan istri dan anaknya yang memilih tiduran di kamar.
Kehidupan baginya seperti peruntungan. Nasib baik terkadang datang dengan tak terduga. Tapi yang pasti, setiap bulan penghasilannya dari ludruk hanya Rp40.000. Tiap tampil, dia mendapat feeRp10.000. “Kalau tak punya uang itu sudah biasa, tapi kesedihan kami akan terus terjadi kalau pertunjukan gagal dilakukan,” ujar Deden yang juga Ketua Ludruk Irama Budaya.
Setiap hari, Deden bersama istrinya menjalani hidup apa adanya. Periuk nasi yang ada di bagian ujung kamar dengan cat warna hitam itu belum juga ada isinya. Ruangan 3x4 meter itu menjadi singgahan baru bagi seniman ludruk Irama Budaya setelah bertahun-tahun bermukim di kawasan Pulo Wonokromo yang legendaris.
Perjalanan mereka pun sudah 27 tahun berada di jalan dan panggung kesenian sejak 10 November 1987. Di kamar yang sempit itu, Deden banyak berpikir tentang pola kehidupan dan gerak perubahan zaman. Hanya ada kasur yang menempel di lantai serta radio butut yang jadi teman setia dalam menghabiskan hari.
Kehidupan yang dijalani seperti lakon ludruk yang tiap malam Minggu selalu dilakukan. Nasib rakyat yang getir, sengsara, dan selalu kalah. Tiap selesai pertunjukan, para seniman ludruk memang menerima bayaran Rp10.000. Uang itu didapat dari karcis penonton yang ditarif Rp5.000 per orang. Gaji yang diterima seminggu sekali itu tentu tak cukup untuk membeli beras 1 kg.
Itu pun kadang harus tekor karena biaya pertunjukan lebih besar daripada penonton yang datang. Kalau lagi ramai, penonton yang datang bisa mencapai 200 orang. Tapi kalau lagi sepi bisa ditonton hanya lima orang saja. “Berapa pun orang yang datang, kami harus tetap tampil. Karena itu, banyak tekornya daripada untung,” katanya.
Murahnya tiket itu tentu tak membantu perekonomian para seniman ludruk, mereka masih tetap hidup apa adanya. Kerja serabutan pun dilakukan untuk menutupi celah kekurangan hidup. “Kalau mau kaya yajadi koruptor saja. Cepat kaya, cepat juga masuk penjaranya,” ucap pria yang sehari-hari mengadu nasib sebagai kuli bangunan itu.
Setiap pertunjukan ludruk, tak pernah membuat orang bosan. Mereka selalu menyajikan cerita rakyat dan masa kekinian yang dibungkus dalam setiap adegan. Kesenian rakyat selalu mempunyai cara untuk ”menusuk” lakon sosial politik dengan guyon Parikeno, candaan satiris yang membuat orang tertawa di tengah kepahitan panggung kehidupan yang nyata.
Ludruk juga bisa menjadi ruang untuk meluapkan kemarahan, kesedihan, dan tentu kegembiraan. Tak ada yang ditutupi dalam memberikan kritik maupun kisah keburukan. Ludruk tetap orisinal, pertunjukan jalanan yang terus melontarkan teladan, kisah perjuangan, keseimbangan hidup, dan kejujuran. Ia melanjutkan, perjalanan ludruk begitu panjang.
Saat fajar terjadi ketika penonton ludruk yang merupakan kesenian asli Jawa Timur sejak 1960–- 1980 sangat digandrungi masyarakat dan berbagai kalangan, termasuk orang kantor yang necis. Namun sejak tahun 90-an sampai sekarang kondisinya berubah, sudah masuk masa senja yang redup.
Penonton banyak datang dari menengah ke bawah seperti buruh pabrik, asongan, tambal ban, tukang parkir, kuli bangunan, tukang becak, pedagang kaki lima, dan tukang sol sepatu. Dalam lakon panggung, cerita perjuangan seperti Branjang Kawat, Si Pitung, Sawunggaling, Sarip Tambakoso, dan Sakerah masih menjadi idola. Kegigihan perjuangan rakyat Indonesia saat melawan penjajah dengan semangat perjuangan memberikan teladan bagi banyak orang.
Egaliter dan Milik Rakyat Jelata
Kupat aja digawe bubur, nek gak bubur rasane sepa. Dadi pejabat kudu sing jujur, nek gak jujur dadi intipe neraka(ketupat jangan dibuat menjadi bubur, kalau dibuat bubur rasanya hambar. Menjadi pejabat harus jujur, kalau tak jujur jadi keraknya neraka). Ludruk tak pernah menjadi penjilat.
Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan korupsi. Melalui panggung rakyat, ludruk ingin menyampaikan kegelisahan dan kebosanan rakyat pada penguasa yang korup. Karena itu, ludruk memiliki penonton fanatik. Mereka selalu hadir dan setia menunggu sampai larut malam untuk mengikuti rangkaian pertunjukan.
Duduk tertawa dan sesekali memberikan sahutan pada tokoh yang digemari. Mereka bergembira dan lupa terhadap nasib buruk hari ini yang dialami. Purwito, tukang becak asli Jombang duduk di kursi paling depan saat ludruk Irama Budaya mulai tampil. Ia tak pernah absen untuk datang ke pertunjukan ludruk yang digelar seminggu sekali.
Kocek Rp5.000 dikeluarkan dari kantong celananya. Meskipun hari ini pendapatannya tak banyak, ia masih rela mengeluarkan uang untuk menenangkan hatinya setelah seharian mengayuh becak di kawasan Kapas Krampung. “Sepi, nggakada yang diangkut (penumpang). Nanti setelah nontonludruk juga lupa kalau hari ini nggakdapat uang,” katanya sambil tersenyum.
Kerinduan pada ludruk memang tak bisa dipisahkan. Baginya, bagian yang paling disukai adalah pertunjukan yang tetap merakyat dan tak berlagak elit seperti orang kebanyakan saat ini. Karena itu, Purwito hanya bisa terdiam dan larut dalam buaian ketika kidungan yang menampilkan karakter egalitarian dan blak-blakan arek Suroboyo tak pernah mengajarkan kebiasaan mbendhol mburi(bersiasat menyembunyikan isi hati).
Lain halnya dengan Tarji. Tukang tambal ban yang biasanya beroperasi di Gubeng itu merasa ludruk sebagai keluarga. Banyak contoh dan cerita tentang kehidupan yang bisa didapat. Contoh tentang kesabaran, keberanian, kepemimpinan, sampai sifat amanah ada pada berbagai adegan dan dialog ludruk. “Nontontelevisi berbeda dengan ludruk. Nilainya tak terbatas dan banyak makna yang bisa dipetik,” katanya.
Kemajuan teknologi perlahan mulai menggeser peranan ludruk. Sebelumnya, banyak kisah sosial yang diangkat dari panggung ludruk untuk masyarakat. Sehingga butuh gerakan sosial yang menyeluruh untuk mengembalikan kejayaan ludruk di pentas nasional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Jarianto mengatakan, saat ini perlu gerakan sosial untuk mengembangkan kesenian tradisional, termasuk ludruk. Karena itu, harus ada kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. “Minimal tiap tahun harus ada festival ludruk yang bisa menampung semua kreativitas masyarakat. Generasi muda juga perlu untuk ikut berkembang dan mengenal lebih dalam,” katanya.
Selain itu, lakon ludruk juga harus bisa dikenal anak-anak. Karena itu ada perubahan tafsir baru lakon Sarip Tambak Oso atau Sakerah. Banyaknya program pementasan diharapkan bisa mendongkrak ludruk untuk bisa digemari oleh anak muda.
Aan Haryono
Piring biyen tipis-tipis, piring saiki saka porselen. Maling biyen nggawa linggis, maling saiki nggawa pulpen (piring dahulu tipis-tipis, piring sekarang dari porselen. Pencuri dahulu pakai linggis, pencuri sekarang pakai pena).
Kidungan Jula-Juli Guyon Parikenodagelan Ludruk Irama Budaya masih menghiasi langit. Menceritakan kondisi negeri ini yang semakin banyak koruptor dalam guyonan rakyat, menempel erat dan membekas di hati rakyat kecil. Kidungan itu tertulis di selasela dinding. Menerobos ruang waktu yang terus menjadikan ludruk sebagai seni tradisional yang belum usang.
Mengenal Surabaya yang keras dan heroik harus mengenal ludruk yang terus dinamis dalam perjalanan waktu yang panjang dan melelahkan. Siang belum juga berlalu. Tiga pria masih mondar-mandir di depan kamar. Dua lainnya duduk termenung di atas kursi plastik tepat di depan serambi gedung pertunjukan.
Dalam kegelisahan itu, otak mereka harus memikirkan angka-angka uang yang harus didapat sebelum malam Minggu saat pertunjukan ludruk. Hanya pohon-pohon pole yang tumbuh subur di depan penampungan seniman ludruk yang memberikan ketenangan siang itu. Dalam hitungan hari, mereka harus bisa mengumpulkan uang minimal Rp400.000 untuk membeli bedak, alat rias, perkakas, dan beberapa kain.
Anggota ludruk Irama Budaya belum semuanya kumpul. Total ada 50 seniman ludruk yang tetap setia di jalur kebudayaan tradisional. Mereka masih berkutat mencari nafkah di luar jalur ludruk. Ada yang menjual koran, berdagang asongan di stasiun, juru parkir di Pasar Wonokromo, sampai tukang batu di pinggiran Surabaya. Menjelang senja, mendung sudah menyelimuti langit Surabaya.
Deden Irawan yang tadinya tenang mulai gelisah. Matanya terus memberikan tatapan kosong pada orang yang melintas di depan gedung pertunjukan ludruk di Taman Remaja Surabaya. Sejak pagi, dia belum merasakan sesuap nasi lewat di lambungnya. Demikian juga dengan istri dan anaknya yang memilih tiduran di kamar.
Kehidupan baginya seperti peruntungan. Nasib baik terkadang datang dengan tak terduga. Tapi yang pasti, setiap bulan penghasilannya dari ludruk hanya Rp40.000. Tiap tampil, dia mendapat feeRp10.000. “Kalau tak punya uang itu sudah biasa, tapi kesedihan kami akan terus terjadi kalau pertunjukan gagal dilakukan,” ujar Deden yang juga Ketua Ludruk Irama Budaya.
Setiap hari, Deden bersama istrinya menjalani hidup apa adanya. Periuk nasi yang ada di bagian ujung kamar dengan cat warna hitam itu belum juga ada isinya. Ruangan 3x4 meter itu menjadi singgahan baru bagi seniman ludruk Irama Budaya setelah bertahun-tahun bermukim di kawasan Pulo Wonokromo yang legendaris.
Perjalanan mereka pun sudah 27 tahun berada di jalan dan panggung kesenian sejak 10 November 1987. Di kamar yang sempit itu, Deden banyak berpikir tentang pola kehidupan dan gerak perubahan zaman. Hanya ada kasur yang menempel di lantai serta radio butut yang jadi teman setia dalam menghabiskan hari.
Kehidupan yang dijalani seperti lakon ludruk yang tiap malam Minggu selalu dilakukan. Nasib rakyat yang getir, sengsara, dan selalu kalah. Tiap selesai pertunjukan, para seniman ludruk memang menerima bayaran Rp10.000. Uang itu didapat dari karcis penonton yang ditarif Rp5.000 per orang. Gaji yang diterima seminggu sekali itu tentu tak cukup untuk membeli beras 1 kg.
Itu pun kadang harus tekor karena biaya pertunjukan lebih besar daripada penonton yang datang. Kalau lagi ramai, penonton yang datang bisa mencapai 200 orang. Tapi kalau lagi sepi bisa ditonton hanya lima orang saja. “Berapa pun orang yang datang, kami harus tetap tampil. Karena itu, banyak tekornya daripada untung,” katanya.
Murahnya tiket itu tentu tak membantu perekonomian para seniman ludruk, mereka masih tetap hidup apa adanya. Kerja serabutan pun dilakukan untuk menutupi celah kekurangan hidup. “Kalau mau kaya yajadi koruptor saja. Cepat kaya, cepat juga masuk penjaranya,” ucap pria yang sehari-hari mengadu nasib sebagai kuli bangunan itu.
Setiap pertunjukan ludruk, tak pernah membuat orang bosan. Mereka selalu menyajikan cerita rakyat dan masa kekinian yang dibungkus dalam setiap adegan. Kesenian rakyat selalu mempunyai cara untuk ”menusuk” lakon sosial politik dengan guyon Parikeno, candaan satiris yang membuat orang tertawa di tengah kepahitan panggung kehidupan yang nyata.
Ludruk juga bisa menjadi ruang untuk meluapkan kemarahan, kesedihan, dan tentu kegembiraan. Tak ada yang ditutupi dalam memberikan kritik maupun kisah keburukan. Ludruk tetap orisinal, pertunjukan jalanan yang terus melontarkan teladan, kisah perjuangan, keseimbangan hidup, dan kejujuran. Ia melanjutkan, perjalanan ludruk begitu panjang.
Saat fajar terjadi ketika penonton ludruk yang merupakan kesenian asli Jawa Timur sejak 1960–- 1980 sangat digandrungi masyarakat dan berbagai kalangan, termasuk orang kantor yang necis. Namun sejak tahun 90-an sampai sekarang kondisinya berubah, sudah masuk masa senja yang redup.
Penonton banyak datang dari menengah ke bawah seperti buruh pabrik, asongan, tambal ban, tukang parkir, kuli bangunan, tukang becak, pedagang kaki lima, dan tukang sol sepatu. Dalam lakon panggung, cerita perjuangan seperti Branjang Kawat, Si Pitung, Sawunggaling, Sarip Tambakoso, dan Sakerah masih menjadi idola. Kegigihan perjuangan rakyat Indonesia saat melawan penjajah dengan semangat perjuangan memberikan teladan bagi banyak orang.
Egaliter dan Milik Rakyat Jelata
Kupat aja digawe bubur, nek gak bubur rasane sepa. Dadi pejabat kudu sing jujur, nek gak jujur dadi intipe neraka(ketupat jangan dibuat menjadi bubur, kalau dibuat bubur rasanya hambar. Menjadi pejabat harus jujur, kalau tak jujur jadi keraknya neraka). Ludruk tak pernah menjadi penjilat.
Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan korupsi. Melalui panggung rakyat, ludruk ingin menyampaikan kegelisahan dan kebosanan rakyat pada penguasa yang korup. Karena itu, ludruk memiliki penonton fanatik. Mereka selalu hadir dan setia menunggu sampai larut malam untuk mengikuti rangkaian pertunjukan.
Duduk tertawa dan sesekali memberikan sahutan pada tokoh yang digemari. Mereka bergembira dan lupa terhadap nasib buruk hari ini yang dialami. Purwito, tukang becak asli Jombang duduk di kursi paling depan saat ludruk Irama Budaya mulai tampil. Ia tak pernah absen untuk datang ke pertunjukan ludruk yang digelar seminggu sekali.
Kocek Rp5.000 dikeluarkan dari kantong celananya. Meskipun hari ini pendapatannya tak banyak, ia masih rela mengeluarkan uang untuk menenangkan hatinya setelah seharian mengayuh becak di kawasan Kapas Krampung. “Sepi, nggakada yang diangkut (penumpang). Nanti setelah nontonludruk juga lupa kalau hari ini nggakdapat uang,” katanya sambil tersenyum.
Kerinduan pada ludruk memang tak bisa dipisahkan. Baginya, bagian yang paling disukai adalah pertunjukan yang tetap merakyat dan tak berlagak elit seperti orang kebanyakan saat ini. Karena itu, Purwito hanya bisa terdiam dan larut dalam buaian ketika kidungan yang menampilkan karakter egalitarian dan blak-blakan arek Suroboyo tak pernah mengajarkan kebiasaan mbendhol mburi(bersiasat menyembunyikan isi hati).
Lain halnya dengan Tarji. Tukang tambal ban yang biasanya beroperasi di Gubeng itu merasa ludruk sebagai keluarga. Banyak contoh dan cerita tentang kehidupan yang bisa didapat. Contoh tentang kesabaran, keberanian, kepemimpinan, sampai sifat amanah ada pada berbagai adegan dan dialog ludruk. “Nontontelevisi berbeda dengan ludruk. Nilainya tak terbatas dan banyak makna yang bisa dipetik,” katanya.
Kemajuan teknologi perlahan mulai menggeser peranan ludruk. Sebelumnya, banyak kisah sosial yang diangkat dari panggung ludruk untuk masyarakat. Sehingga butuh gerakan sosial yang menyeluruh untuk mengembalikan kejayaan ludruk di pentas nasional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Jarianto mengatakan, saat ini perlu gerakan sosial untuk mengembangkan kesenian tradisional, termasuk ludruk. Karena itu, harus ada kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. “Minimal tiap tahun harus ada festival ludruk yang bisa menampung semua kreativitas masyarakat. Generasi muda juga perlu untuk ikut berkembang dan mengenal lebih dalam,” katanya.
Selain itu, lakon ludruk juga harus bisa dikenal anak-anak. Karena itu ada perubahan tafsir baru lakon Sarip Tambak Oso atau Sakerah. Banyaknya program pementasan diharapkan bisa mendongkrak ludruk untuk bisa digemari oleh anak muda.
Aan Haryono
(ftr)