Menjaga Cagar Budaya Bumi Sedulang Setudung
A
A
A
KABUPATEN Banyuasin memiliki beragam budaya, adat istiadat dan benda peninggalan sejarah yang harus dilestarikan. Supaya generasi muda mengetahui dan memahami seni dan budaya asli Bumi Sedulang Setudung.
Sekian banyak seni dan budaya yang masih tersimpan salah satunya adalah rumah adat Marga Pangkalan Balai, yang terletak di Jalan Rioseli, Kelurahan Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III. Rumah ini merupakan peninggalan Depati Abdul Madjid yang dibangun pada tahun 1901.
Hazairin Zabidi, keturunan ke- 20 dari Depati Abdul Madjid mengungkapkan, pada tahun 2006 lalu di awal pemerintahan Bupati Amiruddin Inoed, Pemkab Banyuasin pernah menjanjikan rumah yang telah berusia 113 tahun ini ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Bahkan, pada tahun 2008 lalu sudah dibuat rencana anggaran biaya (RAB) untuk memperbaikinya. Namun, hingga saat ini janji itu tak kunjung terealisasi.
“Kami sangat berharap Pemkab Banyuasin dapat membantu menjaga dan melestarikan rumah adat Marga di Banyuasin, termasuk rumah ini dengan menetapkannya sebagai cagar budaya. Jika tidak, kami khawatir kondisinya akan rusak seperti dua rumah adat lainnya seperti milik Marga Suak Tapeh, Marga Supat (Sungai Lilin) dan Marga Muara Telang,” papar anak ketiga dari Pesirah Zabidi Madjid.
Mantan Kades Pangkalan Balai periode 1984-1993 ini menjelaskan, rumah adat Marga Pangkalan Balai seluas 16x40 meter yang memiliki lima kamar itu menyimpan sejumlah koleksi bersejarah mulai dari keris, tombak, guci, lemari, brangkas besi dan lainnya yang berusia ratusan tahun. Pada zaman pemerintahan Depati Abduil Madjid, rumah itu juga digunakan sebagai kantor, tempat pertemuan adat dan musyawarah.
Bahkan sejumlah pejabat tinggi pernah menginap di sana, mulai dari Wakil Presiden RI Adam Malik, Bupati Muba Arifin Jalil, Amir Hamzah, Sulistiono maupun Gubernur Sumsel Sainan Sagiman dan Ramli Hasan Basri. Bukan hanya pejabat, bentuknya yang unik dan bersejarah mengundang sejumlah wisatawan dari berbagai daerah datang dan melihat langsung rumah tersebut dengan berbagai koleksinya.
“Sejak dibangun tahun 1901, rumah belum pernah dirombak dan tetap mempertahankan bentuk asli sesuai permintaan dari Depati Abdul Madjid. Kalaupun ada, itu hanya renovasi kecil yakni mengganti bagian lantai yang rusak karena termakan usia dan atap bagian depan pada tahun 1992 lalu. Selebihnya bangunan lama,” jelas mantan Ketua Dewan Kesenian, Kabupaten Banyuasin.
Hazairin menambahkan, pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan agar rumah beserta isinya ditetapkan sebagai benda cagar budaya sehingga dapat menerima dana untuk perawatan. Menurutnya, dibutuhkan banyak biaya untuk menjaga dan mengurus barang-barang peninggalan sejarah di sana.
“Kami pernah disarankan oleh Sekda dan Wabup Banyuasin agar dibentuk yayasan khusus supaya rumah cagar budaya bisa mendapatkan dana bantuan perawatan. Tapi belum bisa dilaksanakan, karena masih menunggu petunjuk dari pemkab. Seluruh keluarga kami mendukung apabila rumah ini dijadikan cagar budaya demi keletarian sejarah,” ungkapnya.
Indra Hadi, anak ke tujuh dari keturunan ke-20 Depati Abdul Madjid menambahkan, keinginan menjadikan rumah adat Marga Pangkalan Balai sebagai cagar budaya sekaligus ikon Banyuasin bukan hanya berasal dari keluarganya semata, tetapi juga dari tokoh adat dan sesepuh.
“Karena saat ini ada pihak –pihak yang justru menginginkan rumah limas dijadikan sebagai rumah adat Banyuasin. Padahal itu merupakan ciri khas Palembang. Kalau begitu, kitajustruakan kehilanganjatidiri sendiri. Apalagi dari tigarumahadat marga peninggalan zaman dulu, tinggal rumah ini yang masih berdiri kokoh dan menjadi daya tarikwisatawan lokal maupun asing untuk datang dan melihat salah satu rumah asli peninggalansejarah,” pungkasnya.
Yopie cipta raharja
Sekian banyak seni dan budaya yang masih tersimpan salah satunya adalah rumah adat Marga Pangkalan Balai, yang terletak di Jalan Rioseli, Kelurahan Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III. Rumah ini merupakan peninggalan Depati Abdul Madjid yang dibangun pada tahun 1901.
Hazairin Zabidi, keturunan ke- 20 dari Depati Abdul Madjid mengungkapkan, pada tahun 2006 lalu di awal pemerintahan Bupati Amiruddin Inoed, Pemkab Banyuasin pernah menjanjikan rumah yang telah berusia 113 tahun ini ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Bahkan, pada tahun 2008 lalu sudah dibuat rencana anggaran biaya (RAB) untuk memperbaikinya. Namun, hingga saat ini janji itu tak kunjung terealisasi.
“Kami sangat berharap Pemkab Banyuasin dapat membantu menjaga dan melestarikan rumah adat Marga di Banyuasin, termasuk rumah ini dengan menetapkannya sebagai cagar budaya. Jika tidak, kami khawatir kondisinya akan rusak seperti dua rumah adat lainnya seperti milik Marga Suak Tapeh, Marga Supat (Sungai Lilin) dan Marga Muara Telang,” papar anak ketiga dari Pesirah Zabidi Madjid.
Mantan Kades Pangkalan Balai periode 1984-1993 ini menjelaskan, rumah adat Marga Pangkalan Balai seluas 16x40 meter yang memiliki lima kamar itu menyimpan sejumlah koleksi bersejarah mulai dari keris, tombak, guci, lemari, brangkas besi dan lainnya yang berusia ratusan tahun. Pada zaman pemerintahan Depati Abduil Madjid, rumah itu juga digunakan sebagai kantor, tempat pertemuan adat dan musyawarah.
Bahkan sejumlah pejabat tinggi pernah menginap di sana, mulai dari Wakil Presiden RI Adam Malik, Bupati Muba Arifin Jalil, Amir Hamzah, Sulistiono maupun Gubernur Sumsel Sainan Sagiman dan Ramli Hasan Basri. Bukan hanya pejabat, bentuknya yang unik dan bersejarah mengundang sejumlah wisatawan dari berbagai daerah datang dan melihat langsung rumah tersebut dengan berbagai koleksinya.
“Sejak dibangun tahun 1901, rumah belum pernah dirombak dan tetap mempertahankan bentuk asli sesuai permintaan dari Depati Abdul Madjid. Kalaupun ada, itu hanya renovasi kecil yakni mengganti bagian lantai yang rusak karena termakan usia dan atap bagian depan pada tahun 1992 lalu. Selebihnya bangunan lama,” jelas mantan Ketua Dewan Kesenian, Kabupaten Banyuasin.
Hazairin menambahkan, pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan agar rumah beserta isinya ditetapkan sebagai benda cagar budaya sehingga dapat menerima dana untuk perawatan. Menurutnya, dibutuhkan banyak biaya untuk menjaga dan mengurus barang-barang peninggalan sejarah di sana.
“Kami pernah disarankan oleh Sekda dan Wabup Banyuasin agar dibentuk yayasan khusus supaya rumah cagar budaya bisa mendapatkan dana bantuan perawatan. Tapi belum bisa dilaksanakan, karena masih menunggu petunjuk dari pemkab. Seluruh keluarga kami mendukung apabila rumah ini dijadikan cagar budaya demi keletarian sejarah,” ungkapnya.
Indra Hadi, anak ke tujuh dari keturunan ke-20 Depati Abdul Madjid menambahkan, keinginan menjadikan rumah adat Marga Pangkalan Balai sebagai cagar budaya sekaligus ikon Banyuasin bukan hanya berasal dari keluarganya semata, tetapi juga dari tokoh adat dan sesepuh.
“Karena saat ini ada pihak –pihak yang justru menginginkan rumah limas dijadikan sebagai rumah adat Banyuasin. Padahal itu merupakan ciri khas Palembang. Kalau begitu, kitajustruakan kehilanganjatidiri sendiri. Apalagi dari tigarumahadat marga peninggalan zaman dulu, tinggal rumah ini yang masih berdiri kokoh dan menjadi daya tarikwisatawan lokal maupun asing untuk datang dan melihat salah satu rumah asli peninggalansejarah,” pungkasnya.
Yopie cipta raharja
(ars)