Padukan Sungai dengan Peradaban Sutra
A
A
A
TULUNGAGUNG - Brantas yang berukuran lebar, berkelok melingkar dengan tepian landai datar, serta berair bening, dikenal memiliki arus tenang menyenangkan.
Sebagai jalur perdagangan ke seluruh nusantara maupun internasional, kedudukan Brantas sangat vital. Mataram Kuno yang memusatkan kerajaannya di kawasan pedalaman tidak bisa lepas dari jalur transportasi sungai ini. Dengan air yang mengalir tenang, hasil bumi pertanian, perkebunan, dan peternakan, dengan mudah dipasarkan ke kawasan pesisir lautan.
Begitu juga dengan penghuni Kampung Pekojan di tepi pantai, termasuk para pedagang Cina, juga membutuhkan jalur sungai untuk bertemu para pembeli di pedalaman. ”Transaksi perdagangan dengan warga luar kerajaan dapat diistilahkan sebagai ekspor impor. Jalur air atau konsep maritim lebih memudahkan dibandingkan dengan jalur sutra yang saat itu masih berupa hutan belukar belantara,” kata Triyono.
Dengan menumpang jung , para pedagang datang dari pulau- pulau di luar Jawa dan kerajaan- kerajaan di luar nusantara. Mereka tidak hanya membawa barang yang hendak dijual, tetapi mengusung kebudayaan.
Kemeriahan lalu lintas perniagaan di Sungai Brantas dijelaskan dalam torehan Prasasti Kamalagyan yang bertarikh tahun 959 saka atau 1037 masehi (Pasar Di Jawa Masa Mataram Kuna : hal 48-49). Warga pedalaman (Mataram Kuno) menawarkan beras, sayuran, palawija, buah-buahan, serta benda kerajinan yang menjadi produk agraris.
Terutama padi dan beras pada masa Mataram Kuno menjadi komoditi tulang punggung ekonomi kerajaan. Sementara warga pesisir pantai membalas dengan garam, terasi, dan berbagai jenis ikan laut segar maupun yang diawetkan.
Pada era Kerajaan Kahuripan, Raja Airlangga (1009-1042) keturunan Raja Sindok (Mataram Kuno) membuat pertahanan peradaban Brantas.
bersambung
Solichan Arif
Sebagai jalur perdagangan ke seluruh nusantara maupun internasional, kedudukan Brantas sangat vital. Mataram Kuno yang memusatkan kerajaannya di kawasan pedalaman tidak bisa lepas dari jalur transportasi sungai ini. Dengan air yang mengalir tenang, hasil bumi pertanian, perkebunan, dan peternakan, dengan mudah dipasarkan ke kawasan pesisir lautan.
Begitu juga dengan penghuni Kampung Pekojan di tepi pantai, termasuk para pedagang Cina, juga membutuhkan jalur sungai untuk bertemu para pembeli di pedalaman. ”Transaksi perdagangan dengan warga luar kerajaan dapat diistilahkan sebagai ekspor impor. Jalur air atau konsep maritim lebih memudahkan dibandingkan dengan jalur sutra yang saat itu masih berupa hutan belukar belantara,” kata Triyono.
Dengan menumpang jung , para pedagang datang dari pulau- pulau di luar Jawa dan kerajaan- kerajaan di luar nusantara. Mereka tidak hanya membawa barang yang hendak dijual, tetapi mengusung kebudayaan.
Kemeriahan lalu lintas perniagaan di Sungai Brantas dijelaskan dalam torehan Prasasti Kamalagyan yang bertarikh tahun 959 saka atau 1037 masehi (Pasar Di Jawa Masa Mataram Kuna : hal 48-49). Warga pedalaman (Mataram Kuno) menawarkan beras, sayuran, palawija, buah-buahan, serta benda kerajinan yang menjadi produk agraris.
Terutama padi dan beras pada masa Mataram Kuno menjadi komoditi tulang punggung ekonomi kerajaan. Sementara warga pesisir pantai membalas dengan garam, terasi, dan berbagai jenis ikan laut segar maupun yang diawetkan.
Pada era Kerajaan Kahuripan, Raja Airlangga (1009-1042) keturunan Raja Sindok (Mataram Kuno) membuat pertahanan peradaban Brantas.
bersambung
Solichan Arif
(ftr)