Kawasan DAS Brantas Perlu Sentuhan Inovatif
A
A
A
TULUNGAGUNG - Saat hutan belantara dibabat dan menyisakan setapak ruas jalan, saat itu pula kebudayaan Sungai Brantas perlahan ditinggalkan.
Segala aktivitas ekonomi, sosial, pertukaran, sekaligus percampuran kebudayaan yang bermuara lahirnya peradaban di sepanjang sungai praktis ditanggalkan. Sebuah sandaran (dermaga) jung (perahu) perlu dikembalikan. Sandaran yang berfondasi batu kali berundak dengan topangan tiang pancang yang tidak mudah berantakan. Tidak semata menyempurnakan jalur perahu penyeberangan.
Kehadiran dermaga akan menginspirasi pesona sungai wisata. Dermaga juga mampu menyedot perhatian para sampan nelayan pencari ikan, termasuk para penikmat secangkir kopi sekaligus “pemburu” pemandangan pinggir kali. “Selain itu, juga berfungsi sebagai pemecah kemacetan yang kini menjadi persoalan lalu lintas darat,” tutur Ketua lembaga Kajian Sejarah Sosial dan Budaya (KS2B) Tulungagung Triyono kepada KORAN SINDO JATIM .
Pada aspek sosial-ekonomi, dermaga akan memunculkan fungsi ganda sebagai jalur transportasi penyeberangan sekaligus “bandar” kecil tempat persinggungan banyak orang. Situasi Brantas dengan dermaga sebagai jalur utama niaga dan perkembangan budaya itu pernah ada mulai era Kerajaan Matarm Kuno, Kediri, Singasari, hingga Majapahit.
Kejayaan itu, kata Triyono, tidak tertutup kemungkinan dapat dibangkitkan. Untuk menyokong renaisans (kebangkitan) itu, menurut dia, kawasan sekitar (DAS) Brantas perlu dihidupkan. DAS bukan sekadar lahan tidur kesepian. Pada umumnya seperti saat ini, hanya menjadi lahan sporadis pertanian rumput gajah makanan ternak atau ilalang liar warga setempat.
Lapak-lapak kuliner dan aktivitas terkait perlu diperkaya dan dipertajam. Tidak perlu khawatir, sebab Sungai Brantas bukan Bengawan Solo yang selalu dicemaskan setiap musim hujan datang. “Beda dengan Bengawan Solo. Brantas nyaris tidak pernah mendatangkan ancaman banjir bagi permukiman penduduk. Walaupun itu kepada kampung terdekat,” katanya.
Daya tarik akan terhindar dari sergapan rasa bosan asalkan dibumbui pertunjukan seni kebudayaan. Para seniman berkumpul, berpentas, berekspresi, sekaligus berunjuk gigi seputar kesenian lembah Brantas. Konsep peramaiannya serupa pasar dadakan perkotaan yang muncul di setiap tanggal merah atau libur hari besar keagamaan.
“Sebab untuk mempertahankan keramaian di Brantas diperlukan penyokong atau pengikat keramaian yang berada di sekitar daerah aliran sungainya,” kata Triyono. Sebut saja tarian jaranan kuda lumping, reog kendang, dan jathilan. Tiupan terompet dan irama tepukan kendang yang dilarung angin akan menghasut siapa saja yang mendengar.
Setidaknya pada sisi seni dan budaya tradisi yang mulai terlupa, unsur pelestariannya akan mengena. Tidak berlebihan bila gubernur jenderal penjajah berkebangsaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1811-1816), menyebut dalam catatan History of Java bahwa Brantas dan Bengawan Solo merupakan sungai terbesar dan terpenting di Jawa. Terutama sebagai urat nadi perdagangan sekaligus perkembangan kebudayaan.
Sejarah telah mencatat. Selain stabilitas kerajaan yang terganggu akan pralaya alam Gunung Merapi, menurut Triyono, Brantas juga menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan mengapa di abad IX dan X pemangku tahta tertinggi Kerajaan Mataram Kuno Raja Sindok hijrah ke pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Solichan Arif
Segala aktivitas ekonomi, sosial, pertukaran, sekaligus percampuran kebudayaan yang bermuara lahirnya peradaban di sepanjang sungai praktis ditanggalkan. Sebuah sandaran (dermaga) jung (perahu) perlu dikembalikan. Sandaran yang berfondasi batu kali berundak dengan topangan tiang pancang yang tidak mudah berantakan. Tidak semata menyempurnakan jalur perahu penyeberangan.
Kehadiran dermaga akan menginspirasi pesona sungai wisata. Dermaga juga mampu menyedot perhatian para sampan nelayan pencari ikan, termasuk para penikmat secangkir kopi sekaligus “pemburu” pemandangan pinggir kali. “Selain itu, juga berfungsi sebagai pemecah kemacetan yang kini menjadi persoalan lalu lintas darat,” tutur Ketua lembaga Kajian Sejarah Sosial dan Budaya (KS2B) Tulungagung Triyono kepada KORAN SINDO JATIM .
Pada aspek sosial-ekonomi, dermaga akan memunculkan fungsi ganda sebagai jalur transportasi penyeberangan sekaligus “bandar” kecil tempat persinggungan banyak orang. Situasi Brantas dengan dermaga sebagai jalur utama niaga dan perkembangan budaya itu pernah ada mulai era Kerajaan Matarm Kuno, Kediri, Singasari, hingga Majapahit.
Kejayaan itu, kata Triyono, tidak tertutup kemungkinan dapat dibangkitkan. Untuk menyokong renaisans (kebangkitan) itu, menurut dia, kawasan sekitar (DAS) Brantas perlu dihidupkan. DAS bukan sekadar lahan tidur kesepian. Pada umumnya seperti saat ini, hanya menjadi lahan sporadis pertanian rumput gajah makanan ternak atau ilalang liar warga setempat.
Lapak-lapak kuliner dan aktivitas terkait perlu diperkaya dan dipertajam. Tidak perlu khawatir, sebab Sungai Brantas bukan Bengawan Solo yang selalu dicemaskan setiap musim hujan datang. “Beda dengan Bengawan Solo. Brantas nyaris tidak pernah mendatangkan ancaman banjir bagi permukiman penduduk. Walaupun itu kepada kampung terdekat,” katanya.
Daya tarik akan terhindar dari sergapan rasa bosan asalkan dibumbui pertunjukan seni kebudayaan. Para seniman berkumpul, berpentas, berekspresi, sekaligus berunjuk gigi seputar kesenian lembah Brantas. Konsep peramaiannya serupa pasar dadakan perkotaan yang muncul di setiap tanggal merah atau libur hari besar keagamaan.
“Sebab untuk mempertahankan keramaian di Brantas diperlukan penyokong atau pengikat keramaian yang berada di sekitar daerah aliran sungainya,” kata Triyono. Sebut saja tarian jaranan kuda lumping, reog kendang, dan jathilan. Tiupan terompet dan irama tepukan kendang yang dilarung angin akan menghasut siapa saja yang mendengar.
Setidaknya pada sisi seni dan budaya tradisi yang mulai terlupa, unsur pelestariannya akan mengena. Tidak berlebihan bila gubernur jenderal penjajah berkebangsaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1811-1816), menyebut dalam catatan History of Java bahwa Brantas dan Bengawan Solo merupakan sungai terbesar dan terpenting di Jawa. Terutama sebagai urat nadi perdagangan sekaligus perkembangan kebudayaan.
Sejarah telah mencatat. Selain stabilitas kerajaan yang terganggu akan pralaya alam Gunung Merapi, menurut Triyono, Brantas juga menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan mengapa di abad IX dan X pemangku tahta tertinggi Kerajaan Mataram Kuno Raja Sindok hijrah ke pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Solichan Arif
(ftr)