Opu Daeng Menambon, Penyebar Islam di Mempawah

Senin, 15 Desember 2014 - 05:00 WIB
Opu Daeng Menambon, Penyebar Islam di Mempawah
Opu Daeng Menambon, Penyebar Islam di Mempawah
A A A
PENYEBARAN Islam di Mempawah, Kalimantan Barat, tidak bisa dilepaskan dari sosok Opu Daeng Menambon. Siapa dia?

Cerita Pagi kali ini mengangkat sosok Opu Daeng Menambon, seorang Raja Mempawah yang dikenal humanis dan menghargai keberagaman. Berikut cerita singkatnya.

Opu Daeng Menambon
, ada juga yang menyebut Opu Daeng Menambun atau Opu Daeng Manambon, berasal dari Kesultanan Luwu, Bugis, di Sulawesi Selatan (Sulsel).

Opu Daeng Menambon lahir 1695 M. Ayahnya bernama Opu Tendriburang Dilaga. Opu Tendriburang memiliki lima anak, termasuk Opu Daeng Menambon. Kelima anaknya itu diajak berkelana ke tanah Melayu.

Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anaknya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal penyebaran agama Islam.

Singkat cerita, Opu Daeng Menambon datang ke Kalimantan. Kedatangannya atas permintaan Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin. Sultan Muhammad Zainuddin meminta pertolongan Opu Daeng Menambon untuk merebut kembali takhta Kesultanan Matan yang diambil paksa Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainuddin.

Atas bantuan Opu Daeng Menambon, takhta Sultan Muhammad Zainuddin diselamatkan. Opu Daeng Menambon lalu dinikahkan dengan Ratu Kesumba, putri Sultan Muhammad Zainuddin. Setelah menikah, Opu Daeng Menambon kembali ke Kesultanan Johor.

Tak lama setelah Opu Daeng Menambon pergi, pergolakan kembali terjadi di Kesultanan Matan. Penyebabnya, anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi takhta Kesultanan Matan jika ayah mereka wafat.

Untuk mengatasi perselisihan itu, Sultan Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu Daeng Menambon. Opu Daeng Menambon pun kembali ke Tanjungpura.

Perselisihan di Kesultanan Matan berhasil diselesaikan Opu Daeng Menambon dengan cara damai. Atas jasanya tersebut, Opu Daeng Menambon dianugerahi gelar kehormaran Pangeran Mas Surya Negara.

Tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerusnya adalah Gusti Kesuma Bandan, yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin.

Di Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada 1737 M. Karena Panembahan Senggaok tidak memiliki putra, takhta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang juga cucu Panembahan Senggaok dari Putri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin.

Tahun 1738, Sultan Muhammad Muazzuddin mangkat. Dia digantikan putranya, Gusti Bendung atau Pageran Ratu Agung yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin.

Pada 1740, kekuasaan Mempawah yang semula dirangkap bersama takhta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambon. Opu Daeng Menambon memindahkan pusat pemerintahan dari Senggaok ke Sebukit Rama.

Pada era Opu Daeng Menambon inilah, Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Opu Daeng Menambon memadukan hukum-hukum adat lama dengan hukum syara yang bersumber pada ajaran agama Islam.

Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambon semakin kental berkat peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Yaman Selatan.

Dia diangkat menjadi imam besar Mempawah. Dia juga diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.

Pada tahun 1761 M, ada juga yang menyebut 1763 M, Opu Daeng Menambon yang berhasil menyatukan berbagai etnis seperti Bugis, Dayak, Melayu, China, dan Jawa, wafat. Dia dimakamkan di Sebukit Rama.

Makam Opu Daeng Menambon di Kompleks Sebukit Rama, Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, menyimpan banyak keunikan. Keunikan ini dapat dilihat pada lukisan, warna, dan bentuk pusara sang raja.

Perpaduan warna hijau dan warna kuning menjadi simbol kedamaian dan keagungan yang menaungi pusara yang terbuat dari batu marmer ini. Tulisan pada batu nisan bertuliskan "Opu Daeng Menambon Ibnu Bin Tandre Borong Daeng Rilaga".

Makam yang berada di atas bukit ini memberikan nuansa keteduhan, ditambah banyaknya rerimbunan pohon di area makam, sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi peziarah yang sengaja datang ke lokasi makam Raja Mempawah tersebut.

Atas inisiatif masyarakat setempat, makam raja ini dibuat senyaman mungkin, antara lain dengan dibangunnya sebuah surau lengkap dengan sebuah kubah di atas makam.

Menurut Gusti Amar, juru kunci makam sekaligus keturunan ketujuh Opu Daeng Menambon, dahulu makam ini hanya berbentuk segi empat. Namun, atas inisiatif warga, makam raja dibuat seperti surau.

"Ini merupakan inisiatif dari warga setempat untuk memperindah makam raja Opu Daeng Menambon, sehingga mempermudah dan memberikan rasa nyaman bagi para peziarah yang berkunjung ke sini," ujar Gusti Amar.

Selain terdapat makam Opu Daeng Menambon, di bagian dalam bangunan kompleks makam ini juga terdapat replika kapal pesiar yang terbuat dari bambu dan kayu. Konon, kedatangan Opu Daeng Menambon dan keempat saudaranya ke Kalimantan Barat adalah menggunakan perahu layar khas Bugis (pinisi).

Selain itu, terdapat juga lukisan segitiga bergambar ayam jago. Di bawah lukisan ayam jago tersebut terdapat tulisan berwarna hijau yang ditulis dalam bahasa Bugis "Maradeka To Wajoe Adenami Napopuang" yang artinya "Hanya negeri yang abadi yang si empunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuankan".

Menurut sang juri kunci makam, terkandung makna mendalam di setiap warna dan gambar pada lukisan tersebut. Kuning bermakna keimanan, hitam memiliki arti Islam, warna merah berarti ma'rifat, dan warna putih bermakna rahasia Allah SWT. Sementara, ayam jago melambangkan keperkasaan.

Sumber: Wikipedia dan melayuonline.com.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9118 seconds (0.1#10.140)