Interpretasi Para Remaja atas Sarip Tambak Oso

Minggu, 14 Desember 2014 - 12:30 WIB
Interpretasi Para Remaja atas Sarip Tambak Oso
Interpretasi Para Remaja atas Sarip Tambak Oso
A A A
Para remaja memaikan ludruk Sarip Tambak Oso di cak Durasim, Jumat (12/12) malam kemarin. Dalam lakon ini, Sarip diceritakan hidup, bukan mati.

Pentas ludruk dengan cerita Sarip Tambak Oso memang sering digelar. Cerita satu ini memang menjadi cerita rakyat khas Jawa Timuran. Uniknya, pentas ludruk Tambak Oso kali ini dimainkan ludruk remaja yang anggotanya rata-rata masih muda. Mereka terdiri atas pelajar dan mahasiswa.

Bertempat di Gedung Pertunjukan Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, seperti biasa pergelaran Sarip Tambak Oso selalu didahului penampilan Tari Remo dan kidungan. Sayangnya, kemarin sang penari tidak menampilkan kidungan yang juga menjadi ciri khas ludruk.

Sarip Tambak Oso sebenarnya adalah cerita rakyat yang mengisahkan perjuangan pemuda asal Madura dalam melawan kesewenangan penjajah Belanda yang dibumbui konflik sosial masyarakat. Meski secara garis besar cerita Sarip Tambak Oso selalu sama, yakni perjuangan sang pendekar kampung yang pada akhirnya mati diterjang peluru serdadu Belanda, kisah akhir cerita yang dipentaskan semalam, Sarip justru masih hidup dan berhasil menikam tewas serdadu Belanda dengan belatinya.

Selain itu, Sarip yang biasanya diceritakan bisa hidup kembali karena mendengar teriakan dari ibunya, dalam pentas ludruk remaja, ibu Sarip meninggal. Sambil menggendong jasad sang ibu yang tertembak peluru serdadu Belanda, Sarip berteriak lantang, “Hei bangsa Walanda, jangan bertindak sewenang-wenang terhadap bangsaku.

Ini Sarip. Hadapilah!” Sepanjang cerita Sarip Tambak Oso memang terlihat ketegangan di wajah penonton, tetapi semua berubah kala babak lawakkan atau dagelan mulai muncul. Mengingat pemain semua ludruk remaja ini bukan berasal dari kalangan pemain ludruk profesional, maka untuk bagian ini kadang terlihat klise, tetapi tetap memunculkan gelak tawa dari penonton.

Bahkan, penonton dibuat tertawa ketika ada bagian yang seharusnya tidak masuk dalam cerita, tetapi muncul di panggung, yakni saat di panggung terlihat (dalam keremangan lampu) pemain yang berjalan sendiri, padahal sudah selesai. Pementasan yang disutradarai Hengky Kusuma ini berlangsung selama satu jam dan dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dr Jarianto.

Melalui sambutannya, dia menyampaikan program pementasan ludruk kali ini dimaksudkan agar ludruk dapat menjadi kegemaran anak muda. Harus ada gerakan sosial, sebuah kebersamaan dari banyak pihak untuk mengembangkan ludruk. “Karena itu, sebaiknya tiap tahun harus ada festival ludruk,” katanya.

Pentas kali ini juga bermaksud menyajikan sesuatu yang baru. Jadi, pentas semalam sengaja menghadirkan pemain perguruan silat, khusus adegan laga. Walaupun secara keseluruhan bisa dibilang cukup menarik, mengingat pemain ludruknya juga bukan kalangan profesional, Jarianto tetap berharap dalam pementasan harus tetap optimal.

Mamik Wijayanti
Surabaya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5412 seconds (0.1#10.140)