Bung Karno Doyan Ikan Asin, Sayur Asam, dan Sambal
A
A
A
Di balik kebesaran namanya, ternyata Presiden RI pertama, Ir Soekarno, merupakan sosok yang sangat sederhana. Hidupnya, jauh dari kesan glamour dan kemewahan.
Kali ini, Cerita Pagi akan mengupas beberapa hal tentang makanan, minuman, dan gaya berpakaian Bung Karno dalam kesehariannya.
Kalau makan di istana misalnya, dia hanya menggunakan tangan, tidak memakai sendok dan garpu. Ini kebiasaannya yang dilakukan sejak dulu, terutama jika makan bersama keluarga.
Nasinya pun hanya satu mangkok kecil. Yang paling digemari sayur lodeh, sayur asam, dan telur mata sapi. Selain itu, ikan asin goreng dan sambal.
Sambalnya pun harus tetap berada di cobek. Dia tidak suka, jika sambalnya ditaruh di piring kecil (tatakan). Benar-benar menu rakyat biasa. Dia juga penyuka kopi tubruk, sayur daun singkong, sawo, dan pisang.
Kalau pagi, suka minum kopi tubruk. Resepnya, satu cangkir diisi dengan satu sendok kopi dan satu setengah sendok gula.
Sarapannya, tempe goreng atau roti bakar dan dua sendok teh madu tawon, telur ayam mata sapi. Setelah selesai makan, Bung Karno selalu merokok satu batang rokok States Express (“555″).
Suatu hari, seusai jalan-jalan di Istana Merdeka, Bung Karno mengajak Letnan Soetikno, salah seorang pembantu ajudan presiden, dan Mangil, ikut makan pagi. Menunya sangat sederhana. Bung Karno makan satu mangkok kecil nasi, sayur daun singkong, sambal, dan ikan asin goreng.
Buahnya sawo dan pisang. Dia akan pakai tangan, sedang Letnan Soetikno dan Mangil pakai sendok dan garpu. Minumnya hanya teh. Sambalnya ditaruh di cobek, lengkap dengan muntu (ulegannya).
Kalau minum manis, Bung Karno tidak mau pakai gula, tapi sakarin. Dia juga suka makan sate ayam di Pantai Tanjung Priok bersama putra-putrinya.
Kalau pergi ke rumah makan, terutama RM Tungkong di Menteng (sekarang namanya RM Cahaya Kota), Bung Karno senang mi goreng, nasi goreng, ayam goreng, atau sate ayam.
Bagaimana soal pakaian? Bung Karno paling teliti. Kalau ada wartawan atau kawannya berpakaian kurang rapi, atau dasi miring, langsung dia betulkan.
Dia sendiri kalau berpakaian sangat rapi. Dalam sehari-hari, pakaiannya juga sederhana. Kalau ada yang robek, diperintahkan menjahitnya kembali dan terus dipakai lagi.
Apalagi kalau pakaian yang sangat disukai, meskipun sudah robek dan terlihat ada jahitannya, tetap dipakai. Termasuk sandal, lebih senang memakai yang sudah lama, hampir rusak.
Bung Karno juga paling gemar dengan kursi rotan yang sudah lama dipakai. Alasannya, kursi rotan lama akan mengikuti bentuk tubuh pemakainya. Jadi, lebih enak diduduki.
Bagi sebagian orang, berbusana mungkin lebih ditujukan untuk memenuhi etika kesopanan. Tolak ukurnya adalah; sopankah busana yang saya pakai ? Namun, hal itu tidak berlaku bagi Bung Karno.
Bagi dia, busana bukan hanya tuntutan sebuah kesopanan, tetapi lebih jauh dari itu, dalam busana dan cara menggunakannya banyak mengandung nilai seni.
Dalam berbusana Bung Karno sangat teliti, baik warna, model sampai pada bahan yang akan digunakan. Begitu juga, dalam kerapihan, serta keserasian berbusana, perhatian Bung Karno bukan hanya tertuju pada busana yang digunakannya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Dia juga mempunyai tukang jahit langganan. Namanya The, seorang Tionghoa warga negara Indonesia. The ini mempunyai usaha jahit bernama Smart di Jalan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bung Karno seorang kutu buku. Tak mengherankan, waktu luang yang ada digunakannya untuk membaca. Bila dia sedang duduk sendirian di kursi, di atas meja dekat kursi tersebut, harus ada tumpukan koran atau buku bacaan.
Pada 1950-an, sewaktu baru pindah ke Yogyakarta, anggota DKP bertugas mengambil koran pagi-pagi sekali, supaya tidak terlambat dibaca Bung Karno. Di kemudian hari, pengiriman koran-koran cukup baik sehingga anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) cukup memeriksa jumlah koran supaya tidak kurang.
Kalau kurang, Bung Karno pasti menanyakan. Juga buletin dari kantor berita, seperti Antara. Koran yang dibaca Bung Karno, antara lain, Merdeka, Suluh Indonesia, Duta Masyarakat, Pedoman, Indonesia Raya, Sinpo.
Pagi-pagi sekali, surat kabar tersebut harus sudah ada di atas meja Bung Karno. Dia juga membaca Kompas dan Sinar Harapan.
Bila Bung Karno sedang pergi ke kamar kecil, dan waktu sebelum ke kamar kecil sedang membaca surat kabar atau buku, bacaan ini dibawa juga ke kamar kecil tersebut.
Terkadang, Bung Karno tinggal di Bandung. Biasanya, Bung Karno menginap di Kantor Gubernuran Bandung.
Suatu pagi, ketika habis sarapan, Bung Karno bercerita dan bertanya,’’Mengapa istri para polisi selalu cantik-cantik?’’ tanya Bung Karno tiba-tiba. Semua yang mendengarkan tidak ada yang menjawab. Termasuk Mangil.
Sejurus kemudian, Bung Karno bercerita. ’’Sebabnya, polisi itu sering keluyuran keluar masuk kampung dan desa. Dia bisa melihat wanita-wanita cantik dan bisa memilih yang paling cantik. Lalu dia lamar,’’ ujar Bung Karno.
Dia juga bertanya, ’’Mengapa polisi dibenci anjing?’’ Lagi-lagi, tak ada yang bisa menjawab. Bung Karno kemudian bercerita; yang dibenci anjing sebetulnya bukan polisi Indonesia, tetapi polisi di zaman Belanda. Dulu, di zaman penjajahan, kalau polisi melihat anjing berkeliaran di jalan-jalan, dan anjing ini tidak diberangus mulutnya, polisi ini akan menembak anjing tersebut.
Ekor anjing ini kemudian dipotong sebagai bukti. Untuk setiap ekor anjing yang ditangkap, ada uang premi-nya. Semakin banyak membawa ekor anjing, semakin besar uang premi yang akan diterima.
’’Maka dari itu, di zaman Belanda, kalau ada anjing melihat polisi, ia akan menggonggong keras-keras. Maksudnya, memberi tahu rekan-rekannya kalau ada bahaya,’’ cerita Bung Karno. Hadirin pun tersenyum.
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com (diolah dari berbagai sumber)
Kali ini, Cerita Pagi akan mengupas beberapa hal tentang makanan, minuman, dan gaya berpakaian Bung Karno dalam kesehariannya.
Kalau makan di istana misalnya, dia hanya menggunakan tangan, tidak memakai sendok dan garpu. Ini kebiasaannya yang dilakukan sejak dulu, terutama jika makan bersama keluarga.
Nasinya pun hanya satu mangkok kecil. Yang paling digemari sayur lodeh, sayur asam, dan telur mata sapi. Selain itu, ikan asin goreng dan sambal.
Sambalnya pun harus tetap berada di cobek. Dia tidak suka, jika sambalnya ditaruh di piring kecil (tatakan). Benar-benar menu rakyat biasa. Dia juga penyuka kopi tubruk, sayur daun singkong, sawo, dan pisang.
Kalau pagi, suka minum kopi tubruk. Resepnya, satu cangkir diisi dengan satu sendok kopi dan satu setengah sendok gula.
Sarapannya, tempe goreng atau roti bakar dan dua sendok teh madu tawon, telur ayam mata sapi. Setelah selesai makan, Bung Karno selalu merokok satu batang rokok States Express (“555″).
Suatu hari, seusai jalan-jalan di Istana Merdeka, Bung Karno mengajak Letnan Soetikno, salah seorang pembantu ajudan presiden, dan Mangil, ikut makan pagi. Menunya sangat sederhana. Bung Karno makan satu mangkok kecil nasi, sayur daun singkong, sambal, dan ikan asin goreng.
Buahnya sawo dan pisang. Dia akan pakai tangan, sedang Letnan Soetikno dan Mangil pakai sendok dan garpu. Minumnya hanya teh. Sambalnya ditaruh di cobek, lengkap dengan muntu (ulegannya).
Kalau minum manis, Bung Karno tidak mau pakai gula, tapi sakarin. Dia juga suka makan sate ayam di Pantai Tanjung Priok bersama putra-putrinya.
Kalau pergi ke rumah makan, terutama RM Tungkong di Menteng (sekarang namanya RM Cahaya Kota), Bung Karno senang mi goreng, nasi goreng, ayam goreng, atau sate ayam.
Bagaimana soal pakaian? Bung Karno paling teliti. Kalau ada wartawan atau kawannya berpakaian kurang rapi, atau dasi miring, langsung dia betulkan.
Dia sendiri kalau berpakaian sangat rapi. Dalam sehari-hari, pakaiannya juga sederhana. Kalau ada yang robek, diperintahkan menjahitnya kembali dan terus dipakai lagi.
Apalagi kalau pakaian yang sangat disukai, meskipun sudah robek dan terlihat ada jahitannya, tetap dipakai. Termasuk sandal, lebih senang memakai yang sudah lama, hampir rusak.
Bung Karno juga paling gemar dengan kursi rotan yang sudah lama dipakai. Alasannya, kursi rotan lama akan mengikuti bentuk tubuh pemakainya. Jadi, lebih enak diduduki.
Bagi sebagian orang, berbusana mungkin lebih ditujukan untuk memenuhi etika kesopanan. Tolak ukurnya adalah; sopankah busana yang saya pakai ? Namun, hal itu tidak berlaku bagi Bung Karno.
Bagi dia, busana bukan hanya tuntutan sebuah kesopanan, tetapi lebih jauh dari itu, dalam busana dan cara menggunakannya banyak mengandung nilai seni.
Dalam berbusana Bung Karno sangat teliti, baik warna, model sampai pada bahan yang akan digunakan. Begitu juga, dalam kerapihan, serta keserasian berbusana, perhatian Bung Karno bukan hanya tertuju pada busana yang digunakannya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Dia juga mempunyai tukang jahit langganan. Namanya The, seorang Tionghoa warga negara Indonesia. The ini mempunyai usaha jahit bernama Smart di Jalan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bung Karno seorang kutu buku. Tak mengherankan, waktu luang yang ada digunakannya untuk membaca. Bila dia sedang duduk sendirian di kursi, di atas meja dekat kursi tersebut, harus ada tumpukan koran atau buku bacaan.
Pada 1950-an, sewaktu baru pindah ke Yogyakarta, anggota DKP bertugas mengambil koran pagi-pagi sekali, supaya tidak terlambat dibaca Bung Karno. Di kemudian hari, pengiriman koran-koran cukup baik sehingga anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) cukup memeriksa jumlah koran supaya tidak kurang.
Kalau kurang, Bung Karno pasti menanyakan. Juga buletin dari kantor berita, seperti Antara. Koran yang dibaca Bung Karno, antara lain, Merdeka, Suluh Indonesia, Duta Masyarakat, Pedoman, Indonesia Raya, Sinpo.
Pagi-pagi sekali, surat kabar tersebut harus sudah ada di atas meja Bung Karno. Dia juga membaca Kompas dan Sinar Harapan.
Bila Bung Karno sedang pergi ke kamar kecil, dan waktu sebelum ke kamar kecil sedang membaca surat kabar atau buku, bacaan ini dibawa juga ke kamar kecil tersebut.
Terkadang, Bung Karno tinggal di Bandung. Biasanya, Bung Karno menginap di Kantor Gubernuran Bandung.
Suatu pagi, ketika habis sarapan, Bung Karno bercerita dan bertanya,’’Mengapa istri para polisi selalu cantik-cantik?’’ tanya Bung Karno tiba-tiba. Semua yang mendengarkan tidak ada yang menjawab. Termasuk Mangil.
Sejurus kemudian, Bung Karno bercerita. ’’Sebabnya, polisi itu sering keluyuran keluar masuk kampung dan desa. Dia bisa melihat wanita-wanita cantik dan bisa memilih yang paling cantik. Lalu dia lamar,’’ ujar Bung Karno.
Dia juga bertanya, ’’Mengapa polisi dibenci anjing?’’ Lagi-lagi, tak ada yang bisa menjawab. Bung Karno kemudian bercerita; yang dibenci anjing sebetulnya bukan polisi Indonesia, tetapi polisi di zaman Belanda. Dulu, di zaman penjajahan, kalau polisi melihat anjing berkeliaran di jalan-jalan, dan anjing ini tidak diberangus mulutnya, polisi ini akan menembak anjing tersebut.
Ekor anjing ini kemudian dipotong sebagai bukti. Untuk setiap ekor anjing yang ditangkap, ada uang premi-nya. Semakin banyak membawa ekor anjing, semakin besar uang premi yang akan diterima.
’’Maka dari itu, di zaman Belanda, kalau ada anjing melihat polisi, ia akan menggonggong keras-keras. Maksudnya, memberi tahu rekan-rekannya kalau ada bahaya,’’ cerita Bung Karno. Hadirin pun tersenyum.
Sumber : http://penasoekarno.wordpress.com (diolah dari berbagai sumber)
(lis)