Pemerintah Diminta Kaji UUD 45
A
A
A
SURABAYA - Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) mendesak Presiden Joko Widodo secepatnya memotori kajian atas Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Tuntutan ini merupakan hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) LVRI 2014 di Surabaya, kemarin. Mukernas diikuti 120 pengurus DPD LVRI dari 34 provinsi. “Mukernas LVRI memutuskan supaya UUD 1945 dikaji ulang. Para veteran menyadari bahwa UUD 1945 yang asli menjadi tumpuan veteran dikotakkotakkan, penuh sorak-sorai demokrasi liberal, jauh dari demokrasi Pancasila,” kata Ketua Umum DPP LVRI Rais Abin, kemarin.
Menurutnya, penggagas reformasi sulit dimaafkan, terutama terkait perubahan batang tubuh UUD 45. Pelaksanaan reformasi jauh dari pembukaan UUD 45. “Yang menyedihkan pandangan mereka terhadap MPR. MPR sebagai lembaga tertinggi yang menjamin keberwakilan anak bangsa menjadi panggung sandiwara yang diwakili DPR dan DPD,” kata veteran jenderal bintang tiga ini.
Pada sisi lain, pelaksanaan reformasi dan amandemen atas UUD 45 hingga empat kali membuat tidak terlaksananya bicameral atau dua kamar menyebabkan (lembaga) DPD menjadi sarana pemborosan (anggaran) yang dibiarkan.
“Mereka (penggagas reformasi dan pengusung amandemen UUD 45) berhasil merendahkan MPR. MPR sekarang diisi politisi tergabung dalam DPR dan DPD. Mereka mengabaikan pendiri bangsa yang menegaskan bahwa MPR adalah penjelmaan elemen bangsa, wakil bangsa. Pandangan Bung Hatta, MPR terdiri atas partai politik, wakil daerah, dan utusan golongan,” katanya.
MPR yang menjadi tempat bagi anggota DPR dan DPD, kata Rais Abin, menjadikan anak bangsa yang alergi politik sulit masuk. Pada satu sisi, politik sebatas menjadi alat mencapai kekuasaan. Tertutup kesempatan pejuang untuk menyampaikan pengalaman ini.
“Pemerintahan Joko Widodo dan tokoh nasionalis harus menyadari ketimpangan reformasi dan menyetujui kajian ulang perubahan UUD 45 yang sudah diamandemenkan empat kali. Hati veteran terusik dan menuntut kaji ulang UUD 45,” uajrnya.
Kajian UUD 45, kata dia, juga dilatarbelakangi kekecewaan terhadap perkembangan keadaan. Lingkungan menjauhkan dari sejarah perjuangan bangsa. “Kami berhadapan pada angkatan penerus yang bisa saja kami salahkan. Mereka produk lingkungan. Lingkungan datangnya dari reformasi yang tidak tepat arahnya. Reformasi yang semula untuk penyehatan pemerintahan, pengaturan bangsa, justru diarahkan pada pengacakan UUD 45,” ujarnya.
Rais menilai, reformasi membawa dampak positif dan negatif. Sisi baiknya, yakni keberadaan pembatasan periode presiden dan terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK). Sisi negatifnya adalah DPR dan DPD disamaratakan dengan MPR. Wakil Ketua Umum DPP LVRI Sukotjo Tjokroadmodjo mengapresiasi dihidupkannya kembali Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa).
Aktifnya menwa bisa kembali menghidupkan semangat bela negara di lembaga pendidikan tinggi. Bahkan Sukotjo juga setuju jika ada wajib militer (wamil).
Soeprayitno
Tuntutan ini merupakan hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) LVRI 2014 di Surabaya, kemarin. Mukernas diikuti 120 pengurus DPD LVRI dari 34 provinsi. “Mukernas LVRI memutuskan supaya UUD 1945 dikaji ulang. Para veteran menyadari bahwa UUD 1945 yang asli menjadi tumpuan veteran dikotakkotakkan, penuh sorak-sorai demokrasi liberal, jauh dari demokrasi Pancasila,” kata Ketua Umum DPP LVRI Rais Abin, kemarin.
Menurutnya, penggagas reformasi sulit dimaafkan, terutama terkait perubahan batang tubuh UUD 45. Pelaksanaan reformasi jauh dari pembukaan UUD 45. “Yang menyedihkan pandangan mereka terhadap MPR. MPR sebagai lembaga tertinggi yang menjamin keberwakilan anak bangsa menjadi panggung sandiwara yang diwakili DPR dan DPD,” kata veteran jenderal bintang tiga ini.
Pada sisi lain, pelaksanaan reformasi dan amandemen atas UUD 45 hingga empat kali membuat tidak terlaksananya bicameral atau dua kamar menyebabkan (lembaga) DPD menjadi sarana pemborosan (anggaran) yang dibiarkan.
“Mereka (penggagas reformasi dan pengusung amandemen UUD 45) berhasil merendahkan MPR. MPR sekarang diisi politisi tergabung dalam DPR dan DPD. Mereka mengabaikan pendiri bangsa yang menegaskan bahwa MPR adalah penjelmaan elemen bangsa, wakil bangsa. Pandangan Bung Hatta, MPR terdiri atas partai politik, wakil daerah, dan utusan golongan,” katanya.
MPR yang menjadi tempat bagi anggota DPR dan DPD, kata Rais Abin, menjadikan anak bangsa yang alergi politik sulit masuk. Pada satu sisi, politik sebatas menjadi alat mencapai kekuasaan. Tertutup kesempatan pejuang untuk menyampaikan pengalaman ini.
“Pemerintahan Joko Widodo dan tokoh nasionalis harus menyadari ketimpangan reformasi dan menyetujui kajian ulang perubahan UUD 45 yang sudah diamandemenkan empat kali. Hati veteran terusik dan menuntut kaji ulang UUD 45,” uajrnya.
Kajian UUD 45, kata dia, juga dilatarbelakangi kekecewaan terhadap perkembangan keadaan. Lingkungan menjauhkan dari sejarah perjuangan bangsa. “Kami berhadapan pada angkatan penerus yang bisa saja kami salahkan. Mereka produk lingkungan. Lingkungan datangnya dari reformasi yang tidak tepat arahnya. Reformasi yang semula untuk penyehatan pemerintahan, pengaturan bangsa, justru diarahkan pada pengacakan UUD 45,” ujarnya.
Rais menilai, reformasi membawa dampak positif dan negatif. Sisi baiknya, yakni keberadaan pembatasan periode presiden dan terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK). Sisi negatifnya adalah DPR dan DPD disamaratakan dengan MPR. Wakil Ketua Umum DPP LVRI Sukotjo Tjokroadmodjo mengapresiasi dihidupkannya kembali Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa).
Aktifnya menwa bisa kembali menghidupkan semangat bela negara di lembaga pendidikan tinggi. Bahkan Sukotjo juga setuju jika ada wajib militer (wamil).
Soeprayitno
(ftr)