Korban Tolak Penanggulan Lumpur
A
A
A
SIDOARJO - Janji pemerintah segera melunasi ganti rugi tidak begitu saja diterima korban lumpur Lapindo. Ratusan korban lumpur kembali berunjuk rasa di tanggul lumpur titik 42, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, kemarin.
Mereka menolak aktivitas penanggulan yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Para korban menolak keras penanggulan, terutama aktivitas penanganan lumpur di titik 42. Sebab, kawasan tersebut masih menjadi hak korban lumpur sebelum pembayaran ganti rugi dilunasi. Kolam lumpur di titik 42 dipakai BPLS untuk mengalirkan lumpur ke Sungai Porong.
Bahkan, di tanggul ini pula sejak dulu dipakai BPLS untuk mengalirkan lumpur. Dalam aksinya, warga korban lumpur di lokasi juga memasang bendera hitam dengan ukuran yang sangat besar. Bendera itu sebagai tanda duka setelah menderita selama delapan tahun terakhir. Mereka kemudian berkumpul di tanggul sambil berorasi.
Juwito, salah satu korban lumpur, mengatakan warga tidak bisa mengizinkan aktivitas BPLS karena belum ada kejelasan pembayaran ganti rugi. Menurutnya, warga sebenarnya mengerti jika kondisi tanggul kritis. Namun, aksi ini terpaksa dilakukan sebagai bentuk penekanan kepada pemerintah agar lebih memerhatikan penderitaan warga. “Tanah ini masih milik warga korban lumpur, selesaikan lebih dahulu ganti rugi kami,” ujarnya.
Saat ini BPLS sudah mengalirkan lumpur ke Sungai Porong melalui titik 25. Namun, untuk tanggul di titik 42 kondisinya tidak kritis dan kenyataannya BPLS masih ngotot beraktivitas di kawasan itu. “BPLS harus menghentikan segala aktivitasnya di tanggul titik 42,” kata korban lumpur lainnya.
Korban lumpur mengaku tidak akan percaya pada janjijanji, baik Lapindo maupun pemerintah, yang akan membayar ganti rugi, meskipun saat ini warga mendengar jika pelunasan ganti rugi akan ditanggung pemerintah. Sebelum ada payung hukum dan dibuktikan dengan anggaran, korban lumpur tetap akan melarang aktivitas penanggulan.
“Pokoknya ganti rugi kami harus segera dilunasi, baru BPLS boleh beraktivitas di tanggul,” pungkas Juwito. Aksi demo melarang BPLS memperkuat tanggul sebenarnya sudah sering dilakukan korban lumpur. Namun, sejak kondisi lumpur kritis, warga memberi sedikit kelonggaran untuk membuang lumpur ke Sungai Porong.
BPLS mengalirkan lumpur ke Sungai Porong dan memperkuat tanggul dengan pengawalan Polres Sidoarjo. “Kalau lumpur tidak dialirkan, dikhawatirkan tanggul akan jebol lagi,” ujar Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo.
BPLS mengalami dilema, di satu sisi jika tidak mengalirkan lumpur dan memperkuat tanggul akan jebol, di sisi lain korban lumpur menuntut pelunasan pembayaran, baru setelah itu boleh memperkuat tanggul.
Saat ini pembayaran ganti rugi korban lumpur yang belum dilunasi Rp781 miliar. Sebelumnya sudah ada keputusan jika pelunasan akan diambil alih pemerintah. Kenyataannya sampai saat ini belum ada kejelasan pembayaran.
Abdul Rouf
Mereka menolak aktivitas penanggulan yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Para korban menolak keras penanggulan, terutama aktivitas penanganan lumpur di titik 42. Sebab, kawasan tersebut masih menjadi hak korban lumpur sebelum pembayaran ganti rugi dilunasi. Kolam lumpur di titik 42 dipakai BPLS untuk mengalirkan lumpur ke Sungai Porong.
Bahkan, di tanggul ini pula sejak dulu dipakai BPLS untuk mengalirkan lumpur. Dalam aksinya, warga korban lumpur di lokasi juga memasang bendera hitam dengan ukuran yang sangat besar. Bendera itu sebagai tanda duka setelah menderita selama delapan tahun terakhir. Mereka kemudian berkumpul di tanggul sambil berorasi.
Juwito, salah satu korban lumpur, mengatakan warga tidak bisa mengizinkan aktivitas BPLS karena belum ada kejelasan pembayaran ganti rugi. Menurutnya, warga sebenarnya mengerti jika kondisi tanggul kritis. Namun, aksi ini terpaksa dilakukan sebagai bentuk penekanan kepada pemerintah agar lebih memerhatikan penderitaan warga. “Tanah ini masih milik warga korban lumpur, selesaikan lebih dahulu ganti rugi kami,” ujarnya.
Saat ini BPLS sudah mengalirkan lumpur ke Sungai Porong melalui titik 25. Namun, untuk tanggul di titik 42 kondisinya tidak kritis dan kenyataannya BPLS masih ngotot beraktivitas di kawasan itu. “BPLS harus menghentikan segala aktivitasnya di tanggul titik 42,” kata korban lumpur lainnya.
Korban lumpur mengaku tidak akan percaya pada janjijanji, baik Lapindo maupun pemerintah, yang akan membayar ganti rugi, meskipun saat ini warga mendengar jika pelunasan ganti rugi akan ditanggung pemerintah. Sebelum ada payung hukum dan dibuktikan dengan anggaran, korban lumpur tetap akan melarang aktivitas penanggulan.
“Pokoknya ganti rugi kami harus segera dilunasi, baru BPLS boleh beraktivitas di tanggul,” pungkas Juwito. Aksi demo melarang BPLS memperkuat tanggul sebenarnya sudah sering dilakukan korban lumpur. Namun, sejak kondisi lumpur kritis, warga memberi sedikit kelonggaran untuk membuang lumpur ke Sungai Porong.
BPLS mengalirkan lumpur ke Sungai Porong dan memperkuat tanggul dengan pengawalan Polres Sidoarjo. “Kalau lumpur tidak dialirkan, dikhawatirkan tanggul akan jebol lagi,” ujar Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo.
BPLS mengalami dilema, di satu sisi jika tidak mengalirkan lumpur dan memperkuat tanggul akan jebol, di sisi lain korban lumpur menuntut pelunasan pembayaran, baru setelah itu boleh memperkuat tanggul.
Saat ini pembayaran ganti rugi korban lumpur yang belum dilunasi Rp781 miliar. Sebelumnya sudah ada keputusan jika pelunasan akan diambil alih pemerintah. Kenyataannya sampai saat ini belum ada kejelasan pembayaran.
Abdul Rouf
(ftr)